Selain menemukan dan kemudian membaca kolom Goenawan Mohamad—yang diletakkan di akhir halaman majalah TEMPO—saya juga membaca kolom Putut Widjanarko (PW) di halaman 40 dan 41. Kolom dua halaman PW yang berjudul “Media Sosial yang Beradab” (TEMPO edisi 2-8 Januari 2017) ini menjadi “gong” laporan-utama TEMPO. Laporan-utama TEMPO tersebut berjudul “Wabah Hoax”.
Dalam kolomnya di TEMPO, PW mengutip pernyataan Sherry Turkle, ahli psikologi dan peneliti Internet, yang menjadi kunci keseluruhan materi kolomnya. “Kita mengecek status Facebook atau Twitter, memeriksa WA group—lalu menulis status atau kicauan, dan meng-RT, me-like, atau men-share informasi,” tulis PW.
“Turkle menyebutnya gejala ‘I share, therefore I am’ (aku membagi, maka aku ada)—pelesetan menarik dari kata filsuf Descartes, ‘I think, therefore I am’ (aku berpikir, maka aku ada). Sebagai bagian politik identitas, orang menulis status atau menyebarkan berita—sering kali tak peduli apakah hoax atau rumor—yang meneguhkan ‘ruang gema’ mereka.” Apa itu “ruang gema”?
Tentang “ruang gema”, PW merujuk pendapat Polonski, ahli studi Internet. Polonski mendefinisikan echo chamber (ruang gema) sebagai berikut: “Ketika orang hanya berkomunikasi dengan orang-orang lain yang sudah sepikiran sehingga memperkuat dan memperteguh pikiran-pikiran tersebut.”
Seperti halnya gema, pikiran-pikiran tersebut tersebar berulang-ulang dalam pelbagai variasi dalam sistem “yang tertutup”. Dalam kondisi seperti ini, informasi yang keliru, hoax, dan rumor akhirnya dianggap sebagai kebenaran.
Begitulah dunia kita saat ini—dunia digital bernama media sosial. Membaca kolom PW, saya tersadarkan bahwa melek media digital itu merupakan salah satu 21st century skills. Kecakapan ini tidak mudah diperoleh. Buku dan sekolah sepertinya tidak mengajarkan tentang itu.
Kita harus belajar lewat terjun langsung di media sosial. Syaratnya satu: bagaimana kita dapat memahami Internet untuk kemaslahatan bersama. “Langkah awalnya,” tulis PW, “dimulai dari individu. Itu jika kita memang ingin menciptakan media sosial yang sehat dan beradab.”[]
(Tulisan ini disalin dari catatan Facebook pribadi Hernowo)