Menurut Rosihon, Al-Thabathaba’i dalam perkembangan tafsir batini di kalangan Syi’ah modern, memiliki keunikan tersendiri. Yang membedakan Al-Thabathaba’i dengan tokoh-tokoh Syi’ah sebelumnya adalah keterbukaannya terhadap pendapat tokoh-tokoh Sunni, seperti Jalaluddin Asy-Syuyuti dengan kitabnya Al-Durr Al-Mantsur dan beberapa kitab Sunni lainnya yang dijadikan sebagai rujukan dalam kitab Tafsir Al-Mizan.
“Teori yang dirumuskan Al-Thabathaba’i adalah seputar ontologi yang meliputi definisi, argumentasi, nisbahnya dengan makna lahir al-Quran, syarat, dan ayat-ayat yang ditafsirkan secara batini serta seputar epistemologi tafsir batini yang menyangkut peranan takwil dan pemegang otoritas,” jelasnya.
Rosihon, yang juga pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat, menyebutkan ada sekira 200 riwayat dalam Tafsir Al-Mizan yang disandarkan kepada para Imam Ahlulbait. Menariknya, jika setiap riwayat oleh Al-Thabathaba’i dikritisi dengan ilmu hadis, tetapi untuk riwayat dari para Imam Ahlulbait dimuat tanpa ada komentar maupun kritik. Inilah yang menjadi keheranan dari Prof Rosihon yang belum terjawab sampai lulus dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Narasumber kedua, yang rencananya Dr Jalaluddin Rakhmat kemudian digantikan putranya: Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat, memberikan tanggapan atas paparan Prof Rosihon.
Menurut Ustadz Miftah, Al-Thabathaba’i ini memang terbuka terhadap pendapat lain dan tidak fanatik terhadap suatu pendapat serta merujuk kepada mufassir lain sebagai pembanding.
“Dalam penafsirannya,” kata Ustadz Miftah, “Al-Thabathaba’i sangat memperhatikan satu konteks dengan konteks lainnya, mengaitkan satu kasus dengan kasus lainnya, satu kalimat dengan kalimat lainnya, satu ayat dengan ayat lainnya, bahkan satu huruf dengan huruf lainnya yang terkait di dalam al-Quran. Sebagai contoh, dalam sebuah ayat yang akan ditafsirkan, Al-Thabathaba’i mengaitkan ayat tersebut dengan ayat-ayat lain di dalam al-Quran sebelum masuk ke dalam penafsiran al-riwa’i, yang bahkan dalam penafsiran al-riwa’i itu mengutip riwayat dari mufassir Sunni dahulu sebelum riwayat Syi’ah dari para Imam.”
Terkait dengan pertanyaan Prof Rosihon, Ustadz Miftah menyatakan bila suatu hari nanti belajar kembali di Iran akan ditanyakan kepada ulama. Sebab itu juga yang menjadi keheranannya.
Karena sudah tiba waktu berbuka puasa, Ustadz Miftah saat mengakhiri pembicaraan dengan gurauan bahwa makna dari nama Rosihon Anwar, yaitu pengukuh Imam Ahlulbait. Tentu itu hanya sekadar penafsiran, sebab pemilik nama Rosihon Anwar, menyatakan namanya disandarkan kepada wartawan senior di Indonesia yang hidup pada zaman Jepang, Orde Baru, dan Orde Baru.
Sebelum berakhir acara, panitia memberikan kenangan-kenangan untuk Prof Rosihon Anwar yang diberikan oleh Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat. Acara Diseminasi LPII bulan Juni ini ditutup dengan doa, shalat maghrib berjamaah, dan makan malam yang diberikan gratis untuk peserta. (Ainy)