
Diogenes adalah lawan Plato paling tangguh. Beberapa kali keduanya bertemu. Plato digambarkan selalu kalah. Pada suatu hari Plato sedang memberi kuliah berkaitan dengan teorinya tentang ide, tentang esensi (Arab: mahiyah; Inggris: quiddity). Ia menunjuk ke sebuah cangkir di atas meja. Ada satu cangkir di atas meja. Tetapi sebelum ada cangkir ada konsep “kecangkiran.” Kecangkiran mendahului semua cangkir tertentu.
“Aku melihat cangkir di atas meja, tapi aku tidak melihat kecangkiran”, tiba-tiba Diogenes menginterupsi kuliah. Dengan agak jengkel karena interupsi itu, Plato menukas, “Kamu bisa melihat cangkir karena kamu punya mata. Tetapi (sambil memberi isyarat dengan jarinya, menyentuh kepalanya), kamu tidak punya akal (intellect) untuk memahami kecangkiran.”
Diogenes bangkit dan berjalan menuju meja. Ia memeriksa cangkir, melihat ke dalamnya dan bertanya, “Apakah cangkir ini kosong?” Plato mengangguk. “Di manakah “kekosongan” yang mendahului semua kosong” tanya Diogenes. Plato berfikir sejenak. Tiba-tiba Diogenes mendekati Plato, mengetuk kepala Plato dengan telunjukanya dan berkata, “Kekosongan ada di sini!”.
Keapaan sesuatu (disebut esensi, “the whatness”, quiddity) diperoleh dengan mendefinisikannya. Ali dan Ani adalah orang-orang yang bisa kita lihat. Orang-orang itu konkret. Manusia itu abstrak. Manusia itu konsep, yang tidak bisa kita lihat. Ia hadir dalam benak kita sebagai definisi. Plato mendefinisikan manusia sebagai “binatang berkaki dua yang tidak berbulu”. Diogenes datang ke kelas Plato, sambil membawa ayam yang bulu-bulunya sudah dicabuti. “Inilah manusia menurut Plato,” ujarnya. Konon, sesudah itu Plato menambahkan “dengan kuku-kuku yang lebar dan rata.”
Plato dan Diogenes seakan-akan mewakili dua aliran besar dalam filsafat. Plato melihat filsafat sebagai latihan intelektual untuk memahami obyek filsafat. Pada zaman moderen ajaran Plato itu mencapai puncaknya pada filsafat analitis (juga sebagian filsafat kontinental). Karena canggihnya, filsafat menjadi spesialisasi akademis yang jauh dari kehidupan nyata.
Sekarang ada upaya global untuk mengembalikan lagi filsafat sebagai way of life, tidak persis seperti Diogenes, tentu saja. Filsafat dibahas dalam relevansinya untuk mencari solusi masalah-masalah kemanusiaan. Filsafat dirujuk untuk mencari makna hidup, mengejar kebahagiaan, melepaskan ketakutan, menentukan pilihan antara baik dan buruk.
Kajian filsafat kita ini dimaksudkan untuk menjadi bagian global dari gerakan mengembalikan filsafat kepada akarnya--menurut Pierre Hadot, kepada--la philosophie comme mode de vie, filsafat sebagai way of life; bukan sekadar discours philosophique, wacana falsafi saja. Kita bakal berjumpa bukan hanya dengan Diogenes, tetapi juga Socrates, Plato, Aristoteles, Marcus Aurelius, Cicero, … juga Maimonid, al-Farabi, Ibn Sina, Mula Shadra dalam tradisi filsafat profetik Ibrahimiah… juga Schopenhauer, Kierkegaard, Nietzsche… dan lain-lain di Kajian Filsafat sebagai Way of Life.
Sahabat Anda
Jalaluddin Rakhmat
Ikuti Paket Kajian Filsafat sebagai Way of Life bersama Ustadz Jalal setiap Sabtu sore jam 15.30-17.30 wib di Bandung, yang akan dilaksanakan selama 12 kali pertemuan. Info selengkapnya hubungi WA 0822-1871-2401 by Komunitas Islam Madani – IJABI.