Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

Lakpesdam PW NU Jabar dan LPII Bandung Bincang Fiqih Kebangsaan

21/2/2018

0 Comments

 

Sabtu siang, 17 Februari 2018, Aula Muthahhari Bandung padat dan ramai. Lebih dari 300 orang hadir dari berbagai latar belakang. Mulai dari aktivis ormas NU, IJABI, HMI, PMII, Ahmadiyah, mahasiswi dari Yogyakarta dan jamaah Muthahhari.  Di Muthahhari digelar kegiatan dari Lembaga Pembinaan Ilmu-ilmu Islam (LPII) Bandung dan Lembaga Kajian & Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Barat. Kegiatannya berupa Bincang Fiqih Kebangsaan dengan menghadirkan Prof Nadirsyah Hosen dari NU cabang Australia dan Dr Jalaluddin Rakhmat dari (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) IJABI.

Diawali dengan pembacaan Al-Qur'an dan lantunan shalawat oleh Ustadz Cecep dari Pesanten Al-Falah. Kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya dipandu oleh Rizki Hamdani yang merangkap MC. Dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Lakpesdam PW NU Jabar Dr Asep Salahudin dan Dr Muhammad Babul Ulum dari LPII Bandung. Selanjutnya bincang kebangsaan dipandu oleh Wawan Gunawan, M.Ud dari Lakpesdam PW NU Jabar.
 
Kang Wawan dari Lakpesdam PW NU Jabar sebagai moderator memberi kesempatan pertama kepada Gus Nadir. Putra dari ulama ternama KH Ibrahim Hosen ini menguraikan rumusan fiqih dalam Ahlus Sunnah (Sunni) mulai dari definisi, posisi ulama fiqih dan wewenang dalam ijtihad sampai fiqih siyasah.
 
"Nalar fiqih itu tidak mutlak. Fiqih itu wataknya meniscayakan perbedaan pendapat. Dan fiqih siyasah itu sangat dinamis," kata Gus Nadir.
 
Sehingga menurut Gus Nadir, masalah siyasah dalam sejarah tampak dinamis dan berubah-ubah serta tidak ada standar yang paten. Dari sejak wafat Rasulullah Saw sampai Daulah Utsmaniyah bersifat dinamis dari cara memilih pemimpin, bentuk pemerintahan dan pola pembagian kekuasaan. Gus Nadir menyebut wazir baru muncul masa kekuasaan Daulah Abbasiyah. Sedangkan sebelumnya masa Umayyah dan Khulafa Rasyidun belum ada pembagian posisi jabatan dan kekuasaan. Urusan yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan dan administrasi masih di bawah intruksi pucuk pimpinan. Kemudian sekarang ini ada sekelompok umat Islam  yang coba mengusung kembali model kekuasaan dan pemerintahan terdahulu dengan mengajukan khilafah Islamiyyah.
 
Hizbut Tahrir (HT) dengan khilafah menyatakan sebagai solusi buat umat Islam di tengah problematika dunia modern yang sekular. Namun, dalam qanun asasi pemerintahan HT pun terkait dengan pemilihan khilafah didasarkan pada suara terbanyak dan undang-undang HT pun mengalami revisi dari masa pembentukan oleh Taqiyuddin Nabhani sampai yang terkini di bawah pengurus HT yang berpusat di Inggris.
 
Karena itu, dilihat dari pola pemilihan khalifah maka HT masih memakai model kekuasaan yang berlaku di negara-negara Barat.
 
Gus Nadir pun sempat menyinggung kedudukan politik dalam mazhab Syiah yang kemudian oleh Jalaluddin Rakhmat diluruskan.
 
Menurut Kang Jalal, sapaan dari KH Jalaluddin Rakhmat yang menjadi narasumber kedua, bahwa makna imam dalam Syiah berbeda dengan yang berlaku di Sunni. Tidak setiap orang Islam bisa menjadi imam karena posisi tersebut didasarkan dengan nash yang disampaikan oleh Rasulullah saw. "Makna imam dalam Syiah bermakna otoritas agama sebagai pelanjut dari Rasulullah Saw dalam syiar Islam," ujar Kang Jalal. Sehingga setelah Rasulullah Saw wafat, Imam Ali bin Abu Thalib as tidak merebut jabatan Khalifah dari Abu Bakar. Meski tidak memegang jabatan politik, tetapi Imam Ali tetap menjalankan fungsinya sebagai otoritas dalam agama Islam sehingga oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab diposisikan sebagai penasehat. Kang Jalal juga menguraikan dinamika dalam wacana fiqih di kalangan Syi'ah modern.
 
Menurut Kang Jalal bahwa wilayah faqih di Iran bagian dari ijtihad ulama dalam bidang fiqih siyasah. Kini posisi ulama Mujtahid yang menjadi rujukan kaum Muslim Syiah terbagi antara Mujtahid yang diposisikan sebagai rujukan fiqih saja dengan Mujtahid yang diposisikan dalam urusan umum meliputi fiqih dan politik. Tentang ini sampai masih menjadi wacana dan perdebatan di kalangan Syi'ah modern.
 
Diskusi dengan tajuk Argumen Fiqih Kebangsaan ini berlanjut dengan diskusi. Ada tiga respons dari peserta tentang negara Madinah, gerakan pengusung khilafah, dan fatwa ulama di Indonesia. Tanggapan Gus Nadir dan Kang Jalal terhadap tiga audiens tersebut bisa disimak pada rekaman (https://soundcloud.com/misykat-bandung/485-diskusi-prof-nadirsyah-hosen-dengan-kh-dr-jalaluddin-rakhmat).
 
Dua narasumber yang berbeda ormas dan berbeda mazhab ini sepakat dalam kebangsaan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk negara dan pemerintahan yang final di Indonesia.
 
Acara bincang kebangsaan ini berakhir  jam 16.30 yang ditutup dengan doa oleh wakil ketua PW NU Jabar.
 
[as/LPII]


0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.


    Yayasan Muthahhari

    Untuk informasi, silakan klik logo di bawah!

    Klik


    Arsip

    All
    Agama
    Ahlulbait
    Ahmadiyah
    Ajaran
    Al-Mizan
    Alquran
    Arab
    Berita
    Buku
    Empati
    Euis Kartini
    Filsafat
    Fiqih
    Hadis
    Haul
    Haul Ke 1
    Hermeneutika
    Hoax
    IJABI
    Ilmiah
    Imam Mahdi
    Indonesia
    Islam
    Islam Madani
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Kajian Kang Jalal
    Kang Jalal
    Kebangsaan
    Kebudayaan
    Kelas Hadis
    Kelas Tafsir
    Khilafah
    LPII
    Marjaiyyah
    Milad
    Muthahhari
    Pancasila
    Pelajaran
    Pendidikan
    Pluralisme
    Radikalisme
    Ramadhan
    Sejarah
    Sekolah
    Sunni
    Syiah
    Tafsir
    Tasawuf
    Tradisi
    Ulama
    Wiladah

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.