Allâhumma shalli ‘alâ Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Rasulullah Saw satu hari bertanya pada sahabatnya, "Wahai Haritsah, bagaimana keadaanmu pagi ini?" Haritsah menjawab, "َِAku terbangun dengan keimanan yang sebenarnya."
Baginda Nabi Saw mengingatkan, "Wahai Haritsah, bagi setiap sesuatu ada hakikat kebenarannya. Apakah itu, hakikat iman? Apakah keimanan yang sebenarnya?" Haritsah menjawab, "Aku mengetahui kedudukan diriku dan dunia ini. Maka malam-malamku terjaga, dan dalam kehausan aku berpuasa. Seakan-akan aku melihat jelas 'Arasy Tuhan. Seakan-akan, aku melihat dengan jelas surga Tuhan."

Konon—dan kalau sudah dimulai dengan konon bisa jadi hanya kabar burung saja, Fariduddin Attar adalah seorang pemilik toko wewangian di zamannya. Karena itulah ia digelari Attar, ahli wewangian. Attar juga adalah seorang ahli farmasi, ahli kimia. Tokonya makmur. Ia terkenal di seantero negeri. Hingga satu peristiwa mengubahnya. Inilah cerita konon itu.
Satu hari, seseorang masuk ke tokonya dan bertanya:
Dengan seluruh pengetahuanmu tentang obat-obatan, tahukah kau kapan kau meninggal dunia?
Attar menjawab, tentu tidak.
Aku tahu, kata tamu pengunjung itu.
Kapan? Tanya Attar.
Sekarang juga.
Lalu ia berbaring di lantai toko dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Peristiwa itu mengubah Attar. Ia tinggalkan tokonya, dan ia hidup menjadi seorang sufi.
Muutuu qabla an tamuutu, demikian frase terkenal dalam tasawuf. Matilah kalian sebelum kalian mati. Sebagian mengartikannya sebagai mematikan hawa nafsu. Lalu, bila hawa nafsu sudah dimatikan apa yang akan terjadi? Apa yang menggerakan kesempurnaan insani? Apa hakikatnya mati? Apa yang dimaksudkan dengan kalimat Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, “Manusia itu tertidur. Ketika mati, mereka terbangun.”
Ya, manusia tertidur. Manusia sering pula mengira bila ia takkan pernah mengetahui kapan kematian menjemputnya. “...dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati...” (QS. Luqman [31]:34). Kata yang digunakan adalah ‘tadri’ mengetahui. Apa arti ‘tadri’ di sini? Bagaimana dengan kisah-kisah semisal Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib ra? Apakah para sahabat Sayyidina Husain tidak mengetahui di bumi mana mereka akan gugur? Bagaimana memaknai kisah Maytsam al-Tammar, Rushaid al-Hajari, atau firasat-firasat orang yang tahu akan kedatangan malakal maut kepadanya. Bagaimana di tengah-tengah kita ada orang yang mempersiapkan kematian, bahkan menjemputnya?
Tasawuf, atau Irfan adalah tirakat suluk mengenal Tuhan. Langkah mengenal Tuhan adalah dengan mengetahui kematian. Karena Dia adalah Mahadzat yang tak tersentuh kematian. “Dan bertawakkallah pada Allah Yang Hidup Yang tidak mati...” (QS. Al-Furqan [25]:58). Perjalanan menuju Tuhan, adalah menuju yang tidak mati. Lalu, apakah yang disebut dengan kematian makhluk?
Pada kajian tasawuf ('irfan) ini juga, kita akan berusaha mempelajari apa yang disebut dengan sifat, asma, dan af’al Tuhan. Apa yang membedakan di antaranya? Apa yang disebut dengan seorang sufi, arif? Berkenalan dengan tokoh-tokoh irfan dalam sejarah: Ibn Arabi, Suhrawardi, Ibnu Sina, Mulla Shadra, hingga Allamah Bahjah, Syaikh Ali Qadhi, Syaikh Isfahani Nakhudaki dan Anregurutta Ki Ageng Mujarobat Haji Akbar, dan bagaimana mereka menjadikan irfan sebagai persiapan ‘kematian’ mereka.
Kehidupan setelah kematian tidak dimulai pada hembus nafas terakhir. Ia dimulai detik ini juga.
@miftahrakhmat
**************
Setelah Serial Kajian Filsafat sebagai Way of Life, mari menyelami khazanah spiritual Islam dalam seri kedua kajian TASAWUF ('IRFAN) sebagai Way of Dying, bersama Ustadz Miftah F. Rakhmat. Kajian ini akan dilaksanakan setiap Jum'at sore jam 15.30-17.30 wib di Kota Bandung, selama 12 kali pertemuan. Pendaftaran hanya secara online melalui link berikut ini : https://s.id/Irfan-Tasawuf-WoD
Info selengkapnya: 0822-1871-2401 (hanya WA) by Komunitas Islam Madani - IJABI