Fenomena tersebut makin mencuat dengan rendahnya minat masyarakat dalam tradisi intelektual, yaitu membaca atau literasi. Masyarakat Islam Indonesia tidak lagi kritis dalam menerima pesan-pesan keagamaan, menerima saja meski tidak diketahui dengan benar dan tidak jelas otoritas orang yang menyampaikannya.
Karena itu, menurut Prof Ahmad Tafsir selaku narasumber dan guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung bahwa kegiatan ilmiah yang menghadirkan pencerahan dan membuka khazanah pemikiran umat Islam perlu dibangkitkan kembali.
"Minimal satu bulan sekali ada kajian seperti ini di Muthahhari, pasti akan berdampak pada keterbukaan pemikiran," pesan Prof Tafsir.
Senada dengan itu, Prof Afif Muhammad yang juga narasumber dari UIN SGD Bandung menyampaikan kini dalam dunia digital belum tampil para ulama dan cendekiawan Muslim yang ahli. Karenanya yang muncul dan tampil kemudian dirujuk orang sebagai acuan dalam agama adalah orang-orang yang bukan ahli dan tidak memiliki otoritas ilmu serta sanad keilmuannya pun tidak jelas. Hal lainnya bahwa dengan adanya internet ini sebagian orang Indonesia masih malas melakukan konfirmasi ulang pada tiap pernyataan, opini, bahkan dalil-dalil yang dijadikan pendapat dari para tokoh agama yang tampil secara digital.
"Internet sekarang ini punya ruang yang besar bagi kita untuk belajar agama dengan baik dan benar. Kita bisa konsultasi dengan pakar seperti Pak Quraish Shihab, tetapi tidak dimanfaatkan dengan benar. Malah tertarik dengan orang yang dari segi keilmuan tidak jelas. Kita bisa membaca ribuan kitab dan jurnal ilmiah, tetapi tidak diambil sisi positif dari internet ini. Karena itu, tradisi intelektual kita lemah," keluh Prof Afif.
Selanjutnya KH Miftah Rakhmat, selaku narasumber ketiga. Menurut Kyai Miftah bahwa tradisi intelektual yang kini mengalami "kematian" karena orang sudah tidak mau untuk mencari kebenaran. Orang merasa cukup dengan keyakinan dan pendapat dari orang terkenal, sehingga sikap fanatik dan anti perbedaan mazhab di tengah masyarakat makin menguat. Orang yang sudah tercemari kefanatikan saat muncul kritik pada keyakinannya bukan melakukan peninjauan ulang, alih-alih malah menyatakan sesat dan disebut bentuk penodaan agama.
Lebih jauh Kyai Miftah mengatakan orang-orang kini menilai mazhab atau paham agama, tidak lagi pada ajaran dan pemahaman orang bermazhab tersebut, tetapi percaya dengan pendapat tokoh yang anti dengan mazhab tersebut.
"Seharusnya memahami paham agama, memahami mazhab orang lain yang beda dengan keyakinan kita harus dipahami sesuai dengan pemahaman orang yang ikut agama atau mazhab tersebut," kata Kyai Miftah.
Lebih jauh putra Allahyarham KH Jalaluddin Rakhmat ini menegaskan pentingnya kembali menghidupkan tradisi intelektual Islam di Indonesia sebagai bentuk dari amanatul aql dan fungsi ilmu sebagai cahaya yang memancar, yang pancaran ilmu tersebut selayaknya menjadi manfaat dan solusi atas kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan tercipta sikap toleransi atas perbedaan mazhab di tengah masyarakat.
Paparan ketiga narasumber pada webinar LPII ini mengerucut pada pentingnya untuk terus mendorong masyarakat agar membaca, mengkaji, dan berdiskusi secara ilmiah dan terbuka terkait dengan masalah keagamaan dan kebangsaan. Para narasumber juga menyebut sosok Jalaluddin Rakhmat sebagai icon intelektual Islam di Indonesia yang membuka khazanah Islam. Pada era akhir orde baru dan orde reformasi Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) bersama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), Amien Rais, Mukhtar Latief, Muhammad Quraish Shihab, dan tokoh intelektual Islam lainnya sempat menjadi acuan dalam pendapat keagamaan di Indonesia. Dialog kritis di antara para tokoh Islam dari berbagai ormas keagamaan dan latar belakang pendidikan kerap mewarnai dinamika Islam Indonesia. Dengan hadirnya sosok intelektual seperti Kang Jalal, Caknur, Gus Dur, dan lainnya menunjukkan geliat Islam Indonesia menuju kemajuan. Namun, ternyata pasca sosok icon intelektual tersebut bukannya mengalami kemajuan dari segi pemikiran dan toleransi beragama, malah mengalami kematian tradisi intelektual.
Webinar dengan pola hybrid ini mendapat respons yang baik dari audiens, baik yang hadir offline terbatas maupun online. Hal ini tampak pada chat room YouTube JRTV dan penanggap offline yang memberikan komentar serta pertanyaan yang kemudian ditanggapi oleh ketiga narasumber.
Diakhir acara, panitia dari LPII dan JRTV menyampaikan agenda ilmiah dari Muthahhari ini akan terus dilakukan tiap bulan dalam bentuk diseminasi karya ilmiah berupa disertasi dan thesis serta buku-buku yang berdasarkan riset akademik. Dikatakan juga tiap akhir pekan, sabtu malam minggu, LPII menggelar kajian Tafsir surah Al-Waqiah dan kajian buku secara online melalui zoom meeting tertutup. *** (as)