Pasar itu harus kita perhitungkan, tetapi jangan menggunakan selera pasar. Gunakanlah istilah pendekatan terhadap mustami’ atau menggunakan bahasa kaumnya. Kalau kita berdakwah dengan menggunakan bahasa kaum yang didakwahi, artinya kita berdakwah dengan jelas dapat dipahami kaumnya. Kita berdakwah bukan untuk memenuhi keinginan konsumen seperti kita menjual barang.
Saya pernah mendapat nasihat dari seorang mubaligh yang saya hormati ketika dia mengetahui nama saya dicoret di berbagai tempat. Mubaligh itu datang ke rumah saya mungkin karena cinta kasihnya kepada saya. Dia berkata: “kita ini, da’i, harus seperti sopir angkutan kota. Kalau kata penumpang stop, kita harus berhenti. Dengan demikian, kendaraan kita ini akan penuh dengan penumpang. Tetapi, Anda ini saya lihat mau berjalan sendiri, tidak menghendaki kehendak penumpang.” Lalu, saya jawab: “itu karena saya memilih mempunyai mobil sendiri daripada angkutan kota.” Mungkin mubalig itu berpikir bahwa saya harus memenuhi selera pasar, tetapi dengan kata lain saya harus berbicara dengan bahasa kaumnya. Yang saya pahami dari perkataan berbicara bahasa kaumnya itu bahwa saya harus berdakwah dengan memperhatikan kondisi dan keadaan para pendengar saya. Dengan pengamatan yang cermat saya harus mengetahui karakteristik pendengar, bukan menyesuaikan pesannya dengan keinginan pendengar.
Dakwah itu sebetulnya harus menyampaikan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh orang banyak. Kalau mengikuti selera pasar artinya kalau kita berdakwah di tempat orang-orang jahat, mereka ingin kejahatannya dibenarkan. Kalau berdakwah di kalangan para koruptor, mereka ingin kita membacakan hadis-hadis yang membenarkan korupsi mereka. Di sini da’i tidak mempengaruhi pendengar, tetapi da’i-lah yang dipengaruhi. ***
Jalaluddin Rakhmat, Menjawab Soal-soal Islam Kontemporer. Bandung: Mizan, 1999; halaman 199-200.