Ada ayat yang berhubungan dengan hadis yang boleh menjamak shalat wajib adalah “Dirikanlan shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” (QS Al-Isra: 78). Dalam ayat ini dikatakan shalat itu dalam tiga waktu, yaitu sesudah tergelincir matahari, waktu malam, dan waktu fajar. Itu menunjukan waktu shalat jamak.
Syaikh At-Tijani[2] pernah shalat di suatu tempat di Irak. Dia shalat di belakang Sayyid Muhammad Baqir Shadr. Sesudah shalat zuhur, ternyata mereka shalat lagi, yaitu shalat ashar. Syaikh At-Tijani ini merasa keberatan, tetapi merasa sayang juga kalau dilewatkan karena bacaannya enak dan terasa khusyuk. Akhirnya, dia ikut juga. Tetapi, di dalam hatinya, dia tetap merasa tidak enak karena harus menjamak shalatnya. Kemudian, At-Tijani dibawanyan ke rumah dan diperlihatkanlah kitab Shahih Al-Bukhari. Kata Syaikh At-Tijani, saya hampir-hampir tidak percaya, apakah benar itu dari kitab Bukhari atau bukan? Lalu, kata beliau, Rasulullah saw tahu bahwa umatnya suatu saat akan banyak disibukkan oleh kehidupan ini. Oleh sebab itu, beliau berikan keleluasan dengan kebolehan menjamak shalat untuk meringankan umatnya.
(Jalaluddin Rakhmat, Menjawab Soal-soal Islam Kontemporer. Bandung: Mizan, 1999)
Catatan Redaksi Al-Tanwir
[1] Untuk lengkapnya silakan baca buku Menjamak Shalat Tanpa Halangan karya Alwi Husein, Lc (Jakarta: Zahra, 2012) dan buku Supersalat: Fikih 5 Salat Fardhu Dalam 3 Waktu karya Muhammad Babul Ulum (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013).
[2] Nama lengkapnya Dr. Muhammad At-Tijani As-Samawi. Seorang ulama dari Tunisia yang banyak menulis buku, di antranya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: Spiritual Traveller (Bandung: Misykat, 2015), Akhirnya Kutemukan Kebenaran (Jakarta: Zahra, 2001), Bersama Orang-orang yang Benar (Jakarta: Zahra, 2012), dan lainnya.