“Wa anta tashuumuu khairullakum”, sebagian orang mengartikan: kalau puasa lebih baik bagi kamu. Kalau sakit hendaknya berbuka, kalau bepergian hendaknya berbuka. Tetapi, kalau tetap berpuasa, tentu itu lebih baik bagi kamu. Jadi, walau pun Anda sakit boleh berbuka. Tetapi kalau berpuasa, tentu itu lebih baik. Kalau Anda bepergian boleh berbuka atau berpuasa, tetapi berpuasa itu lebih baik.
Sebagian mufasir lain berpendapat, “Wa anta tashuumuu” itu sebagai mashdar dengan jumlah. Jadi, sebetulnya “shiyaamukum khairullakum” (puasamu itu kebaikan bagi kamu) menjelaskan (ayat sebelumnya): Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (Qs Al-Baqarah: 183).
Dan shiyam itu mengapa diwajibkan? Karena shiyam itu baik bagi kamu. Khair itu bukan isim tafdhil. Kata khair itu bisa berarti dua. Khair itu bisa berarti lebih baik atau bisa berarti kebaikan. Kalau khair itu artinya lebih baik disebut isim tafdhil. Yang lain mengartikan bahwa khair itu sebagai isim saja, bahkan itu menjadi khabar dan mubtada-nya itu “wa an tashumuu.”
Contoh lain di dalam Al-Quran, yaitu tentang jihad. “Dzaa likum khairullakum in kuntum ta’lamuun. Sesungguhnya (jihad) itu kebaikan bagi kamu jika kamu mengetahui” (QS Ash-Shaff: 11).
Kalau diartikan jihad itu lebih baik bagi kamu, berarti orang boleh jihad, boleh juga tidak. Padahal itu bertentangan dengan maksud ayat Al-Quran ketika menjelaskan kewajiban-kewajiban selalu diujungnya digunakan khairullakum. Misalnya, dalam shalat jumat, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu kebaikan bagimu jika kamu mengetahui (QS Al-Jumu’ah: 9).
Apakah itu berarti shalat Jumat lebih baik bagi kamu. Mau shalat Jumat boleh, tidak pun tidak apa-apa. Jadi, “Wa anta tashuumuu khairullakum” itu artinya puasa itu kewajiban yang baik bagi kamu.
[Jalaluddin Rakhmat, Menjawab Soal-soal Islam Kontemporer. Bandung: Mizan, 1999. Halaman 74-77]