Ada tiga pertanyaan. Pertama, sebenarnya kondisi Pendidikan Agama Islam (PAI) di Indonesia sekarang ini seperti apa? Kedua, apakah PAI di sekolah sudah bisa menjawab globalisasi yang menghampiri kita. Ketiga, apabila jam pelajaran PAI ditambah, bukan hanya seminggu sekali di kelas, akankah efektif untuk membentuk karakter untuk menjawab globalisasi?
Dalam sebuah diskusi, seorang pembicara berkata bahwa saat ini pendidikan kita sudah terkena sekulerisasi. Saat ini terjadi pemisahan antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran yang lain. Seharusnya pemisahan tersebut tidak perlu dilakukan.
Kepadanya saya sampaikan bahwa ada perbedaan antara pelajaran agama Islam dengan pendidikan agama Islam. Antara agama Islam sebagai ilmu dan agama Islam sebagai pendidikan nilai jelas berbeda. Sebagai disiplin ilmu, agama memang harus terpisah. Itu bukan sekulerisasi. Bayangkan jika mata kuliah mahasiswa UIN (Universitas Islam Negeri) disatukan dengan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia). Yang akan terjadi adalah kekacauan. Sebagai disiplin ilmu, Islam memiliki banyak sekali cabang pengetahuan. Mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara terpisah ditujukan untuk spesialisasi.
Jawaban untuk pertanyaan berikutnya, yang kita perlukan bukan penambahan kurikulum, bukan pula penambahan jam pelajaran. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita memadukan kurikulum yang tampak dan yang tersembunyi. Menurut saya, yang harus ditambah porsinya adalah hidden curriculum.
Haidar Bagir yang mendapatkan pendidikan di Amerika. Suatu ketika, anaknya yang masih SD (sekolah dasar) bertanya tentang syarat sah wudu, berbagai jenis air, hingga rukun wudu. Haidar bertanya-tanya, mengapa pelajaran agama untuk anak sekolah dasar harus sedetail itu. Dia heran, apakah anaknya akan dididik menjadi mujtahid. Menurut Haidar, yang ditanyakan oleh anaknya adalah tugas para ahli fikih. “Ajarkan saja kepada anak saya cara wudu. Praktik langsung. Satu kali pertemuan selesai. Mengapa guru harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk membahas hal sedetail itu?”
Dalam waktu dekat, saya akan diundang oleh Nurcholis Majid Society untuk membahas tentang keruntuhan agama-agama di dunia. Karen Amstrong juga akan hadir. Menurut saya bahwa agama di dunia yang akan jatuh adalah agama yang sektarian, yang mendudukkan nilai-nilai partikular. Agama yang seperti itu akan ditinggalkan di abad globalisasi ini. Sebaliknya, agama yang mengusung nilai-nilai universal akan relevan sampai kapan pun. Agama yang mengajarkan dan menyambungkan kasih sayang sesama manusia akan tetap ada. ***
(Naskah ini ditranskrip dari kegiatan ilmiah bersama Dr Jalaluddin Rakhmat di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 26 Maret 2013)