Penafsiran kedua mengatakan bahwa memang betul pada bulan Ramadhan itu setang terbelenggu. Sehingga pada waktu itulah, katanya, manusia dapat mengetahui bahwa kalau dia melakukan kejahatan, bukan disebabkan oleh setan, tetapi disebabkan oleh hawa nafsu yang ada di dalam dirinya. Sekarang ini kalau berbuat jahat, kita masih bisa melemparkan tanggung jawab kepada setan. Seseorang terjerumus karena godaan setan. Jadi, kita melemparkan rekening kepada setan. Pada bulan Ramadhan orang tidak bisa lagi berargumentasi bahwa dirinya tidak berpuasa karena tidak tahan godaan setan. Jadi, bulan Ramadhan itu benar-benar seabagai latihan mengendalikan hawa nafsu.
Kalau Anda seorang peneliti, Anda mengontrol variabel yang memengaruhi sesuatu hal. Nah, ini banyak variabel yang membuat kita melakukan dosa, variabel setan dan variabel hawa nafsu. Pada bulan Ramadhan variabel setan terkontrol sehingga tinggal satu lagi variabel yang berpengaruh, yaitu variabel hawa nafsu. Sehingga pada bulan Ramadhan ini kita bisa mengukur diri sendiri sejauh mana kita dapat mengendalikan hawa nafsu karena kita tidak lagi menuding setan sebagai peserta bersama di dalam kejahatan.
[Jalaluddin Rakhmat, Menjawab Soal-soal Islam Kontemporer. Bandung: Mizan, 1999. Halaman 69-70]