
Sosok dan pemikiran Murtadha Muthahhari penting dibahas karena pemikirannya mengarah pada persatuan, mengusung prinsip keterbukaan dan pluralis, dan memiliki keilmuan Islam dari khazanah Ahlus Sunnah, Syiah, dan memahami perkembangan intelektual Barat. Bahkan kritis dengan filsafat Barat.
Beberapa pemikiran Muthahhari yang tercantum dalam buku-buku sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan menjadi bacaan kalangan mahasiswa Muslim di berbagai universitas. Bahkan menjadi bahan riset ilmiah berupa skripsi, tesis, dan disertasi di beberapa universitas, termasuk di UIN SGD Bandung. Selamat membaca! [Redaksi]

DR. JALALUDDIN RAKHMAT: Yayasan Muthahhari tidak didirikan untuk menyebarkan Syi'ah dan sampai sekarang lembaga ini tidak menyebarkan Syi'ah. Di situ ada SMU (kini sudah berdiri SD, SMP di Kota dan Kabupaten Bandung, serta Madrasah--redaksi). Mereka belajar fikih empat mazhab (Syafi'i, Hambali, Maliki, Hanafi). Mereka tidak mempelajari fikih Syi'ah secara khusus. Dari Muthahhari juga keluar Jurnal al-Hikmah, yang banyak menerjemahkan pikirian-pikiran Syi'ah. Tetapi sekali lagi hanya bersifat pemikiran saja, fikihnya tidak ada. Belakangan al-Hikmah sedikit menampilkan pemikiran Syi'ah. Malah lebih banyak menampilkan pemikiran-pemikiran kalangan orientalis. Sehingga Yayasan Muthahhari, dengan melihat isi al-Hikmah seperti itu, layaklah disebut sebagai "agen zionisme Barat." Jadi mungkin lebih layak Muthahhari ketimbang Paramadina atau Ulumul Qur'an. Jadi itu yang pertama: Muthahhari tidak didirikan untuk menjadi markas Syi'ah.
Lalu, kalau begitu, mengapa diambil nama Muthahhari? Itu karena tiga pertimbangan. Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir Syi'ah yang sangat non sektarian, yang sangat terbuka. Ia sangat apresiatif terhadap pemikiran Sunni. Ia tidak pernah menyerang Sunni. Ia lebih banyak belajar dari Sunni. Karena itu kita ambil tokoh Muthahhari sebagai tokoh yang bersikap non sektarian, terbuka terhadap berbagai pemikiran, bukan karena Syi'ahnya. Kedua, Muthahhari itu adalah orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional, tapi setidak-tidaknya cukup well informed tentang khazanah pemikiran Barat. Ia menjembatani dikotomi antara intelektual dan ulama. Kita pilih ia, antara lain karena pertimbangan itu, bukan karena Syi'ah. Karena misi Yayasan Muthahhari yang kedua adalah menjembatani antara intelektual dan ulama. Di Indonesia ini banyak cendekiawan yang menulis tentang Islam, tetapi tidak punya dasar dan tradisi Islam tradisional, sebagaimana juga banyak ulama Islam tradisional yang tidak mempunyai wawasan kemodernan. Muthahhari mencerminkan keduanya.
Kalau itu alasannya, mengapa tidak dipilih Cak Nur saja yang lebih lokal? Toh iapun menggabungkan kedua tradisi itu. Ia juga nonsektarian, terbuka kepada berbagai pemikiran. Ia juga mewakili dua tradisi: Islam dan Barat.
DR. JALALUDDIN RAKHMAT: Mengapa Cak Nur tidak dipilih? Itu karena ada pertimbangan ketiga, yakni Muthahhari itu menggabungkan aktivisme dan intelektualisme. Selain seorang intelektual, pemimpin, dan penulis, ia juga aktivis. Seorang aktivis itu adalah seseorang yang punya misi untuk melakukan perubahan sosial dan misi-misi yang sangat konkret. Cak Nur, menurut saya, lebih banyak intelektualismenya ketimbang aktivisnya. Jadi kita ambil Muthahhari.
Lalu, di mana posisi Muthahhari dalam penyebaran Syi'ah, atau di kalangan komunitas Syi'ah yang lain?
DR. JALALUDDIN RAKHMAT: Dalam penglihatan saya, Muthahhari tidak mempunyai nama yang begitu baik di kalangan Syi'ah, khususnya yang gelombang ketiga. Tetapi ia masih tetap punya banyak massa yang bercorak gelombang kedua itu, yaitu orang-orang Syi'ah tertentu yang lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat intelektual dan tidak bersifat fiqhiyyah. Muthahhari juga masih punya dukungan di kalangan mahasiswa, di kelompok-kelompok terdidik, karena dulu para pendukung Yayasan ini banyak yang berasal dari ITB dan Unpad. Mereka sekarang telah lulus jadi sarjana dan tersebar di berbagai tempat, tanpa membawa nama Syi'ah. Tetapi di kalangan Syi'ah yang belakangan, yang gelombang ketiga itu, Muthahhari tidak begitu oke. Bahkan, ada sekelompok Syi'ah di Jakarta yang mengecam Muthahhari dan mengganggapnya sebagai Syi'ah yang 'murtad,' di luar kelompok mereka.***
SUMBER buku JALALUDDIN RAKHMAT, Catatan Kang Jalal; Visi Media, Politik, Dan Pendidikan (halaman 433-460). Penerbit: PT Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan Kedua April 1998.