Saya mengingat Pak Jalal dulu adalah orang yang sangat tegas dalam membasmi “TBC (takhayul, bidah, dan khurafat)”. Sekarang saya melihat Pak Jalal yang lain. Saya bertanya-tanya apakah ini merupakan kemajuan atau kemunduran.
Tentang transfer pahala, saya ingin membandingkan pernyataan Pak Jalal dengan ayat Alquran dan hadis yang menyatakan bahwa setiap manusia masing-masing bertanggung jawab atas perbuatannya ketika di dunia.
Ada seorang psiakiter asal Tunisia yang melarikan diri ke Amerika. Dia menulis buku tentang hubungan antara sakit jiwa dengan penggunaan bahasa. Menurut dia, pengunaaan bahasa yang bisa menyebabkan sakit jiwa adalah konsep-konsepnya tetap, sedangkan yang direpresentasikan oleh konsep itu telah berubah.
Saya tetap Jalaluddin Rakhmat (JR). JR 30 tahun yang lalu adalah JR saat ini. Konsepnya tetap JR, sehingga orang yang pernah bertemu JR tahun pada tahun 2003 akan menyimpan memori tentang JR saat itu. Misalnya saat itu JR adalah peneliti yang positivis, kuantitatif—itulah saya bertahun-tahun yang lalu. Tahun 1990-an saya aktif di berbagai organisasi, dan sangat tidak percaya pada adanya transfer pahala, misalnya. Sekarang ini saya berpendapat sebaliknya. Apakah itu perkembangan atau kemunduran saya tidak tahu.
Jika mau sehat, kita jangan melihat konteks dengan makna yang sama di setiap zaman. Yang hari ini saya sampaikan adalah pendapat saya tahun di 2013. Tak perlu berdebat tentang apa yang pernah saya yakini tahun-tahun sebelumnya. Jika dulu saya menentang Pancasila, sekarang saya percaya bahwa hanya Pancasila bisa menyelamatkan bangsa ini. Ketika kita dicabik-cabik oleh fanatisme dan sektarianisme, Pancasila bisa jadi pemersatu.
Oleh beberapa rekan, saya dicap sebagai alien, karena yang sekarang saya sampaikan bertentangan dengan apa yang saya sampaikan beberapa belas tahun yang lalu, termasuk tentang Pancasila. Kepada mereka, saya hanya berkata, jika Pancasila bertentangan dengan Islam, please sebutkan satu saja nilai dalam pancasila yang bertentangan dengan Islam. Ketuhanan yang Maha Esa jelas berkaitan dengan tauhid. Sila kedua, apakah Islam mendukung kebinatangan yang zalim dan biadab? Dan seterusnya hingga sila kelima. Apakah ada yang bertentangan dengan Pancasila?
Artinya, semoga pandangan saya sekarang ini lebih maju daripada pemikiran saya sebelumnya. Sekarang saya yakin bahwa esensi dari ajaran agama kita adalah kasih sayang, dan tujuan pendidikan selayaknya tidak lagi mengejar standar kuantifikasi.
Cara pandang saya terhadap agama mengalami perubahan, dan memang tidak semua orang sepakat, tidak semua orang menghendakinya. Saat ini saya sedang menyelesaikan desertasi, untuk program doktoral ilmu agama. Desertasi saya itu sempat diprotes besar-besaran oleh teman-teman saya dari kalangan tertentu, sampai mereka menghalalkan darah saya. Saya dipandang sebagai penyebar kesesatan. Pihak universitas menyatakan bahwa seorang kandidat doktor tidak bisa dibatalkan karana tekanan masyarakat.
Karena merasa tidak puas, mereka berdemo ke kantor gubernur. Pihak kantor gubernur menyatakan bahwa mereka tidak mengurusi kandidat doktoral di universitas. Ketika mereka mendatangi kantor DPRD I untuk menyuarakan protes yang sama, pihak DPRD I menjawab bahwa mereka tidak tidak akan mencampuri urusan dalam negeri universitas.
Kasus itu cukup “mengesankan,” sehingga dalam pertemuan asosiasi guru besar se-Indonesia, salah satu tema yang dibahas adalah kebebasan akademis dari tekanan garis keras. Padahal, dulu saya juga orang yang berada di barisan garis keras itu. I used to be part of them.
Jadi, saya sudah meninggalkan kuantifikasi, walaupun tidak mengharamkannya. Tetap ada hal-hal yang memerlukan angka sebagai standar, tetap ada sains yang perlu kuantifikasi.
Dulu ilmu sosial, misalnya di masa Max Weber, tidak peduli dengan kuantifikasi. Saat itu, hanya ilmu alam yang didasarkan pada kuantifikai. Lantas, ilmu sosial ingin “meningkat derajatnya” agar sama dengan ilmu alam, agar diakui sebagai sains. Karenanya, ilmu sosial mulai melakukan kuantifikasi, sehingga terjadilah apa yang sekarang ini terjadi.
Pada saat terjadi Revolusi Prancis, ada seorang pemikir (siapakah namanya?--AF) yang berdemo, menuntut pembebasan tahanan Penjara Bastille yang menahan orang-orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Dia berkata, “Ada beberapa orang yang tidak pernah mengubah pendapat. Mereka adalah orang yang tidak pernah punya pendapat sama sekali. Ada orang yang tidak pernah berpikir, mereka adalah orang yang tak pernah berpikir sama sekali.”
Jadi, saya memilih untuk menjadi orang yang selalu berubah karena saya selalu berpikir.
Tentang keyakinan saya bahwa pahala tetap sampai kepada yang sudha meninggal karena: pertama, hadisnya sahih, diriwayatkan oleh Sahih Muslim pada bab khusus yang membahas masalah ini. Al Nawawi yang melakukan syarah tentang hadis-hadis Muslim mengungkapkan bahwa banyak hadis yang menyebutkan bahwa kita bisa mengalirkan pahala kepada orang yang sudah meninggal dunia, termasuk hadis apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat sesudahnya, dan anak yang shalih yang mendoakannya.
Ada yang mengajukan keberatan dengan mengajuan ayat yang menyatakan bahwa setiap orang hanya akan memetik hasil usahanya sendiri. Setiap orang akan disiksa karena perbuatan buruknya sendiri, dan mendapatkan pahala karena perbuatan baiknya sendiri.
Coba kita perhatikan, Thalhah menghadiahkan tanah untuk ibunya, demi kecintaannya kepada ibunya. Memiliki anak yang mencintai ibunya adalah hasil usaha ibunya juga. Jika ibunya tidak mendidik dia dengan baik, pasti Thalhah tidak akan mencintainya sedemikian rupa.
Sekiranya saya meninggal dan Anda mengirimkan Al-Fatihah untuk saya, sedikit banyak itu karena hasil usaha saya juga. Mungkin saya pernah memberikan ilmu atau inspirasi kepada Anda, dan Anda mengenang apa yang pernah saya sampaikan dengan menghadiahkan Al-Fatihah. Jika saya berakhlak buruk, saya yakin Anda tidak akan menghadiahkan Al-Fatihah untuk saya.
Jadi, ketika ada orang yang menghadiahkan sesuatu kepada seseorang itu pasti karena kebaikan orang itu juga.
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Ayat di atas adalah petikan Surat Al-Maidah: 2. Hendaklah kamu saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaaan, jangan saling bantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Ayat itu bukan hanya untuk manusia yang masih hidup—dalam ushul fiqih, kita tidak bisa mengkhususkan sesuatu kecuali ada kejelasan tentang kekhususannya. Jadi yang dimaksud dalam Alquran adalah orang yang masih hidup atau pun yang mati. Ayat tu berlaku umum. Itulah pendapat saya di tahun 2013. ***
(Naskah ini ditranskrip dari kegiatan ilmiah bersama Dr Jalaluddin Rakhmat di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 26 Maret 2013)