Kalau yang dimaksud dengan talfiq seperti itu dan menjadi pegangan dalam beribadah sekehendak kita, itu tidak boleh dilakukan oleh orang seperti kita yang bukan mujtahid.
Berdasarkan alasan apa kita menggabung-gabungkannya? Mungkin alasannya supaya ringan dalam melakukan ibadah. Kalau begitu, kita sudah mengangkat diri sebagai mujtahid dan dasar ijtihadnya adalah hawa nafsu, bukan lagi Al-Quran dan hadis.
Tetapi, kalau yang dimaksud dengan talfiq itu ialah ketika kita berada dalam jamaah mazhab Hanbali, kita shalat seperti mazhab Hanbali. Ketika kita shalat di tengah-tengah jamaah Persis (ormas Persatuan Islam), kita shalat seperti shalat orang Persis.
Ketika kita shalat di tengah-tengah orang NU (ormas Nahdlatul Ulama), kita shalat seperti shalat orang NU (Nahdlatul Ulama). Kalau yang dimaksud dengan talfiq seperti itu bukan saja boleh, tetapi dianjurkan.
Katanya, Imam Khomeini itu, pernah ditanya orang: Apa hukumnya shalat di belakang Ahlussunah? Imam Khomeini menjawab: Shalatnya sah, bahkan sangat dianjurkan shalat bersama (pengikut) Ahlussunah.
Kemudian Imam Khomeini mengutip hadis dari Imam Jafar Ash-Shadiq: “Barang siapa yang shalat di belakang Ahlussunah dalam shaf pertama, dia mendapat pahala seperti shalat di belakang Rasulullah saw. Dan dianjurkan shalat seperti shalatnya Ahlussunah." Talfiq yang seperti itu dianjurkan untuk memelihara silaturahmi.
(Jalaluddin Rakhmat, Menjawab Soal-soal Islam Kontemporer. Bandung: Mizan, 1999. Halaman 158-159)