Karena itulah, anak-anak kita diberi nama dengan nama para Nabi, nama para washi dan wali. Agar kita berlaku baik kepada mereka. Kita berlindung pada Allah Ta’ala dari menyakiti, membentak, dan memukul ia yang pada namanya tersemat nama Baginda Nabi Saw, Sayyidah Azzahra sa, dan para Imam yang suci. Itulah mengapa, bila putra kita bernama para teladan suci, panggil mereka dengan nama teladan suci itu.
Dalam daftar absen, nama Baginda Saw bahkan disingkat. Kadang ‘Muh.’saja, bahkan kadang ‘M.’ saja. Karena itu saya panggil Muhammad Bhagas, bukan Bhagas saja.
Kedua, dalam Majmu’ah Warram 358, ada riwayat berikut ini:
أدب صغار أهل بیتک بلسانک علی الصلاه و الطهور، فاذا بلغوا عشر سنین، فاضرب و لا تجاوز ثلاثا
Bimbing adab anak-anak kecil di keluargamu dengan lisanmu agar mereka shalat dan (mengenal) kesucian. Dan kalau mereka sampai berusia sepuluh tahun, maka pukullah. Tapi jangan melewati tiga kali.
Menariknya, kata ‘pukul’ tidak harus selalu berarti memukul fisik. Itu pun tidak boleh melebihi tiga kali. Tiga pukulan, atau tiga kejadian?
Dalam ayat tentang ‘memukul’ istri, Imam Ridha as menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah ‘pukulan tak berbekas.’ Bagaimana bentuknya? Kata ‘dharaba’ juga bermakna mengabaikan. Mendiamkan dan tidak mengajaknya bicara. Dalam riwayat yang lain, bila ada hadits yang tak sesuai dengan Al-Quran, fadhribuuhu ilal jidaar. Pukulkan ia ke tembok. Tentu maksudnya bukan memukulkan lembaran hadits itu ke tembok, tapi: tinggalkan hadits itu. Jangan pedulikan ia.
Ketiga, riwayat tentang batasan usia ‘memukul’ itu bervariasi: ada tujuh, delapan, sembilan, bahkan enambelas. Bila dikaitkan dengan riwayat lain dari Imam Ja’far Shadiq as: mengingatkan anak itu terkait dengan pemahamannya tentang agama. Artinya, mungkin penyebutan ‘angka usia’ yang berbeda itu terkait dengan berbedanya pencapaian pemahaman anak-anak dalam keberagamaan mereka. Ada yang sampai cepat, ada yang lebih lambat. Bukankah demikian pula dalam pendidikan? Tidak semua menguasai materi yang sama bersamaan? Dan ‘pukulan’ diberikan sesuai kadar ‘pemahaman’. Bila orangtua tidak punya cara lain (setelah dengan adab dan lisan tadi), ia diizinkan untuk ‘memukul’ (perhatikan tanda kutip di antaranya). Singkatnya, dari banyak riwayat, memukul itu diperkenankan untuk mencegah anak-anak kita dari penyimpangan.
Artinya, upaya keras harus dilakukam agar anak kita tidak tersesat. Dan bila memukul fisik justru menjauhkan anak-anak kita dari kebenaran, maka memukul fisik itu terlarang karena ia menjauhkan anak-anak kita dari tujuan yang sebenarnya. Kita tidak pernah tahu, bila kita memukul fisik, apakah mendekatkan anak-anak pada kebenaran atau malah menjauhkan mereka. Seorang sahabat datang pada Imam Ja’far as dan bertanya tentang ‘memukul’ itu. Imam as menjawab: “Jangan lebih dari enam kali. Dan seperti (kau pukul dia), begitu pula kau tampakkan kelembutan dan sayangmu kepadanya.” Lihat, bagaimana Imam as menunjukkan kifarat dari perbuatan orangtua pada anak-anaknya. Kalau ‘terlanjur’ memukul, raih kembali kepercayaan anak-anak itu dengan kasih sayangmu pada mereka. Ini jauh lebih sulit.
Masih dalam Majmu’ah al-Warram, ada wasiat Baginda Nabi Saw kepada Imam Ali as:
عن النبی (صلی الله علیه و اله) فیما أوصی به أمیرالمؤمنین: «لا تضربن فوق ثلاث فانک ان فعلت فهؤ قصاص یوم القیامه
Jangan kaupukul lebih dari tiga kali. Karena kau akan diqisas di hari kiamat nanti. Siapa bilang anak ‘milik’ kita? Dia dan kita semua milik Tuhan, bukan? Menyakitinya (berarti) menyakiti hamba Tuhan.
Menyakitinya, menempatkannya pada hadits al-Ma’shumin as: “Berhati-hatilah (awas dari) berbuat zalim, pada ia yang tidak punya penolong selain Allah Swt.” Pandanglah wajah anak kita saat menerima pukulan, adakah pada tatapan matanya ada ketidakberdayaan? Ketidakmampuan untuk lari pada siapa pun. Ketiadaan tempat berlindung di mana pun. Di manakah Tuhan? Bersama ia yang melayangkan tamparan atas namaNya, atau bersama ia yang menjerit dalam batin meneriakkan namaNya.
Dalam Tafsir al-Safi, atau Majma’ al-Bayan ada riwayat dari Imam Baqir as tentang ‘memukul’ itu.
Tentang memukul tanpa bekas itu. Imam as menjawab, “Pukul ia dengan siwak.” Dengan sikat gigi. Kecil sekali. Hanya untuk memberinya peringatan. Itu pun mesti segera dibalas dengan ungkap kasih sayang yang setimpal.
Untuk para guru, Imam Ali as bahkan memberikan ancaman. Kurang lebih seperti ini maknanya:
“Kalau kau memukul anak muridmu untuk mendidiknya (ingat: mendidik untuk menyelamatkan dari penyimpangan) jangan lebih dari tiga kali. Karena kau akan diqisas.” Bahkan, pemaknaan terhadap riwayat lain mengesankan: Imam Ali as yang akan menuntut qisasnya. Aduhai, betapa malangnya.
Terakhir, Ayatullah Araki rahimahullah, marja’ pertama yang saya ikuti, dalam Tawdhih al-Masa’il (istifta’at 571) beliau menjelaskan (setelah menguraikan posisinya dalam hukum taklifi dan wadh’i): bila memukul anak itu menyebabkan lebam, merah, atau luka, maka orangtua WAJIB membayar diyah. Dosanya tidak hanya cukup dengan bertaubat, tetapi ada denda yang harus dibayarkan. Sama seperti denda menyakiti orang. Jarang diyah dibicarakan, kecuali ada kezaliman. Diyah juga muncul sebagai pengganti kehilangan bila ada korban, karena kecelakaan atau pembunuhan. Kesimpulan saya, Islam memberi ruang untuk belajar: baik pada anak dan orangtua. Bila harus kehilangan ‘kendali’, karena jalan mengingatkan dengan lisan dan adab yang baik tak mampu kita lakukan, jalan peringatan yang menunjukkan ketegasan boleh kita lakukan.
Dengan syarat-syarat yang sangat sulit: tak meninggalkan bekas, dengan siwak, tak lebih dari tiga kali, dan harus—setelahnya—menggantinya dengan ungkap kasih sayang. Menutup peristiwa itu dengan laku lembut dan penuh kasih. Bahkan, bila melewati batas, meninggalkan bekas...ada kifarat dan diyah yang harus ditunaikan.
Semoga kita semua senantiasa dikuatkan dan diberi kesabaran dalam membimbing anak-anak kita semua. Allahumma jammilhum wa adim jamaalahum. Allahumma zakkihim wa adim zakaahum.
Semoga cukup menjawab, mohon banyak dimaafkan.
Berkurang umur ini bila lambat dalam perkhidmatan.
Mohon doa senantiasa untuk orangtua dan anak-anak kita semua.
Terima kasih.
@miftahrakhmat