Mazhab Islam pertama yang terdapat di Aceh adalah mazhab Syiah. Hal ini diperkuat dengan beberapa peninggalan Syiah di Aceh. Antara lain Kerajaan Peurlak yang terletak di Aceh timur pada tahun 840 Masehi sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh dan didirikan oleh para pendatang asing yang bermazhab Syiah.
Beberapa peninggalan Syiah di Aceh antara lain: penghormatan terhadap Ahlul Bayt, tradisi asyura, lagu pujian terhadap Ahlul Bayt, dan tari Saman.
Aceh merupakan wilayah nusantara yang memiliki tempat sangat strategis, yaitu di wilayah selat malaka, sehingga wilayah pesisir Aceh menjadi pintu gerbang ketika para pelaut akan memasuki nusantara, bahkan wilayah Aceh dikenal sebagai jalur sutera, karena jalur ini digunakan sebagai jalur perdagangan sutera. Aceh juga merupakan wilayah nusantara yang memiliki sumber daya alam melimpah, sebagai pusat studi dan sebagai pusat perdagangan. Hal inilah yang mengakibatkan banyak bangsa asing yang berdatangan ke wilayah ini.
Pada awalnya bangsa asing yang datang bertujuan untuk berdagang, namun pada akhirnya banyak juga yang melakukan perkawinan dan menyebarkan agama Islam, karena bangsa asing yang datang tersebut selain pedagang muslim, terdapat juga para ulama. Letak Aceh yang sangat strategis ini dapat menjadi indikasi bahwa Aceh adalah wilayah nusantara pertama tempat datangnya agama Islam. Para bangsa asing yang berasal dari Saudi Arabia, Gujarat, India muslim dan Persia datang ke Aceh dan menyebarkan agama Islam dengan berbagai macam cara damai, yaitu melaui perdagangan, perkawinan, kebudayaan dan melalui tradisi yang sudah ada pada masyarakat Aceh.
Sebelum memeluk agama Islam, penduduk Aceh adalah pemeluk agama Hindu. Melalui para pedagang dan ulama Arab, Gujarat dan Persia. Bangsa Aceh menjadi pemeluk agama Islam. Seperti dinyatakan oleh Suhaimi bin Haji Ishak, Islam datang ke Nusantara melalui para pedagang keturunan Arab, Persia dan India Muslim.[1]
Terdapat beberapa teori mengenai pembawa Islam dan waktu datangnya Islam ke Indonesia, teori tersebut antara lain teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia. Pada dasarnya penulis tidak menyangkal ketiga teori tersebut, artinya penulis mengakui bahwa pembawa ajaran Islam ke Indonesia adalah bangsa Arab, Gujarat dan Persia. Namun mengenai waktu datangnya Islam ke Indonesia, penulis setuju dengan teori Persia yang menyatakan bahwa pembawa agama Islam pertama ke Indonesia adalah bangsa Arab, Gujarat dan Persia bermazhab Syiah sebelum abad ke 8.
Hal ini didasarkan adanya kerajaan Peurlak yang terdapat di wilayah Aceh timur dan telah berdiri pada tahun 840 Masehi. Seperti tertulis dalam naskah tua Izhar Al-Haq yang dirujuk oleh Al-Hasyimi, yang menyatakan bahwa pada tahun 789 masehi telah datang sebuah kapal asing dari teluk Kambay (Gujarat) yang membawa para saudagar muslim dari Arab, Persia dan India dibawah pimpinan nakhoda Khalifah.[2]
Mazhab yang pertama kali di Aceh menurut Aboe Bakar Aceh adalah mazhab syiah dan sunni, sedangkan sebagian sejarawan termasuk Hamka menyatakan mazhab pertama di Aceh adalah mazhab sunni. Menurut penulis mazhab pertama yang ada di Aceh adalah mazhab syiah. Hal ini diperkuat oleh bukti sejarah yang menyatakan bahwa kerajaan Islam pertama di Aceh adalah kerajaan Peurlak bermazhab syiah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kerajaan ini terbagi menjadi dua yaitu Peurlak bagian pesisir bermazhab syiah dan Peurlak bagian pedalaman bermazhab sunni.
Bukti lain dari syiah pernah Berjaya di Aceh yaitu adanya budaya dan kesenian Aceh yang berasal dari budaya syiah. Bukti tersebut antara lain adalah adanya perayaan Asyura dengan membuat bubur Asyura. Bubur ini dibuat oleh sebagian besar masyarakat Aceh pada saat tanggal 10 bulan Asyura.
Sedangkan kesenian yang berasal dari budaya syiah antara lain adalah tari saman. Tari saman dalam setiap gerakannya melambangkan kesedihan atas terbunuhnya Imam Husain.
Masuknya Islam ke Indonesia
Islam masuk ke Indonesia pertama kali melalui Aceh, meskipun terjadi perdebatan di antara para sejarawan, tetapi sebagian besar dari sejarawan tersebut mengakui bahwa Aceh merupakan daerah Indonesia pertama yang memeluk agama Islam. Penulis juga meyakini bahwa Aceh adalah daerah pertama masuknya Islam ke Indonesia, hal ini didasarkan pada letak Aceh yang sangat strategis, yaitu di perairan Malaka, sehingga Aceh menjadi gerbang bagi para pelaut yang akan masuk ke wilayah Nusantara.
Islam bukanlah agama pertama yang dipeluk oleh masyarakat Aceh, seperti halnya wilayah Indonesia pada umumnya, penduduk Aceh pun sebelum memeluk agama Islam merupakan pemeluk agama Hindu. Bahkan sebelum memeluk agama Hindu masyarakat Aceh merupakan pengikut aliran animisne, dynamisme dan pemujaan terhadap dewa (Hyang).
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa peninggalan di Aceh yang merupakan peninggalan budaya Hindu, antara lain adalah upacara tepung tawar, kenduri dan masjid Indrapuri. Hal ini menjadi indikator bahwa sebelum memeluk agama Islam, masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Hindu. Kemudian pada abad ke 7/8 Masehi, agama Islam masuk ke wilayah Indonesia, melalui Aceh dan dibawa oleh para pedagang Arab, Gujarat dan Persia. Mereka bermazhab syiah.
Islam masuk ke Aceh dengan cara damai dan disebarkan dengan cara menyesuaikan dengan keyakinan masyarakat Indonesia sebelum Islam, sehingga sampai saat ini dalam pelaksanaan ritual Islam diserap juga keyakinan masyarakat pra Islam, acara tersebut seperti acara tepung tawar dan kenduri.
Pembawa ajaran Islam pertama ke Aceh adalah mazhab syiah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rakhmat, bahwa syiah atau ahlul bayt mempunyai peranan penting dalam proses Islamisasi di Indonesia, karena ahlul bayt atau syiah masuk ke Indonesia sejak awal masuknya Islam ke Indonesia.[3] Hal yang sama juga dinyatakan oleh Atjeh, yaitu mazhab pertama yang dipeluk masyarakat Aceh adalah mazhab syiah dan sunni.[4]
Aceh Daerah Pertama Masuknya Islam ke Indonesia
Masih terdapat banyak perdebatan tentang daerah asal masuknya Islam ke Indonesia, namun sebagian besar sejarawan meyakini, Aceh sebagai gerbang masuknya Islam ke Indonesia, setelah dari Aceh Islam baru memasuki wilayah Indonesia lainnya. Hal ini didasarkan pada telah diketemukan beberapa makam dan telah berdirinya kerajaan Ismal di Aceh.
Bahri menyatakan, pra sejarawan berkesimpulan, masuknya Islam pertama kali ke Nusantara terjadi di Aceh pada abad ke 1 Hijrah (abad ke 7 Masehi). Islam dibawa oleh para pedagang Arab yang diikui oleh para pedagang Persia dan Gujarat ke pesisir sumatera (Perlak atau Samudera Pasai), diantara salah satu buktinya adalah adanya makam samudera Pasai Malik al-Shaleh (668-1254 H/1289–1326 M)[5] dan diperkuat dengan Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Nusantara di Medan pada tahun 1963.[6]
Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Nusantara di Medan pada 17- 20 Maret tahun 1963 menyimpulkan, Islam masuk ke Nusantara pertama kali masuk pada abad ke I hijriah (7/8) Masehi langsung ke Aceh melalui pesisir samudera (Samudera Pasai atau Peurlak) dan berdasarkan catatan Ibnu Bathutah, Islam pertama kali masuk ke nusantara pada penghujung abad ke I Hijrah melalui pesisir Sumatera atau Aceh.[7]
Dengan demikian dapat disimpulkan Islam pertama kali datang ke Indonesia melalui Aceh pada abad ke 7/8 Masehi, dibawa oleh para pedagang bermazhab syiah dan mazhab syafii. Hal ini diperkuat dengan letak Aceh yang sangat strategis, dan ditemukannya beberapa artefak, antara lain kerajaan Peurlak yang merupakan kerajaan pertama di Aceh timur yang didirikan oleh Muslim syiah.
Syiah di Aceh
Sejarah datangnya muslim syiah di Indonesia dimulai dengah kedatangan mereka ke wilayah pesisir Aceh. Ajaran tersebut dibawa oleh para pedagang persi dan Arab bermazhab syiah. Dari hasil penelitian di Aceh menunjukkan, banyak terdapat symbol-simbol syiah dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Banyaknya symbol syiah di Aceh menjadi indikasi bahwa syiah pernah berjaya di Aceh dalam waktu yang cukup lama.
Syiah di Aceh pada Awal masuknya Islam
Hasjmy dan Zainuddin merujuk pada beberapa catatan menyimpulkan, Islam telah datang di Aceh pada tahun 800 Masehi.[8] Pada awal masuknya Islam, syiah sangat berperan dalam membentuk kebudayaan muslim di Aceh. Bukti terhadap hal tersebut didasarkan pada peninggalan syiah yang masih ada sampai saat ini, baik berupa kebiasaan, budaya dan kerajaan Islam.
Budaya tersebut antara lain penghormatan terhadap ahlul bayt, ritual-ritual agama seperti peringatan kematian sayyidina Husein di Karbala pada tanggal 10 Muharram dan adanya sastra Melayu Klasik.[9]
Syiah menurut Hashim merupakan paham keagamaan yang menyenderkan pada Imam Ali Ibn Abi Thalib dan keturunannya dan paham ini sudah muncul pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin sedangkan di Nusantara syiah hadir pertama kali di Aceh pada abad 7/8 Masehi[10], hal ini didasarkan pada kerajaan Islam pertama di Aceh adalah kerajaan Peurlak yang terletak di Aceh Timur dan didirikan oleh bangsa Persia, Arab dan Gujarat bermazhab syiah.
Hashmi berpendapat, di Aceh telah terjadi perebutan kekuasaan antara Ahlus Sunnah dengan syiah, menurutnya kelompok ahlus sunnah memberontak dan memenangkan pertarungan hingga akhirnya kerajaan Peurlak yang semula bermazhab syiah, terbagi menjadi dua, yaitu bermazhab syiah di wilayah pesisir dan bermazhab sunni di wilayah pedalaman, begitu juga yang terjadi di kerajaan Samudera Pasai. Sehingga bisa difahami jika faham yang berkembang dan berjaya di Aceh saat ini adalah faham sunni.
Kebudayaan syiah yang paling menonjol di Aceh terdapat dalam gerakan tari saman dan tari seudati dan juga kesusasteraan yang diciptakan oleh ulama syiah, seperti Hamzah Fansuri, yang dilahirkan pada akhir abad ke 16 di Barus Sumatera Utara.
Ulama syiah yang berperan dalam proses Islamisasi di Aceh antara lain Hamzah Fansuri, syamsudin Al Sumatrani dan Syekh Abdur Rauf al- Singkili atau yang sering dikenal dengan Syiah Kuala.
Syiah di Aceh Saat ini
Aliran Islam yang berkembang di Aceh saat ini tidak dapat dipungkiri, didominasi oleh aliran suni. Hal ini bisa dilihat dalam aktivitas keagamaan mereka, yaitu dalam melaksanakan shalat, melaksanakan ibadah puasa dan Zakat.
Meski masyarakat Aceh bermazhab sunni, sampai saat ini mereka sangat menghormati ahlul bayt, mereka membuat bubur asyura dalam merayakan peringatan 10 asyura sebagai ungkapan kesedihan atas syahidnya imam husein. Masyarakat Aceh bukanlah pengikut syiah, mereka menghormati ahlul bayt, karena memang itu kewajiban umat Islam.
Meskipun masyarakat Aceh bukan pengikut syiah, namun kebudayaan syiah cukup berkembang di Aceh seperti perayaan 10 asyura, Dabus, Barzanji, kepercayaan kepada Imam Mahdi, mantra dan doa yang dikaitkan dengan saydina Ali, Hasan Husein, ziarah kubur, manakib dan perayaan haul. Demikian juga dalam hal kesenian.
Gerakan-gerakan dalam tari saman sangat identik dengan gerakan – gerakan pada peringatan hari karbala, dalam tari saman mereka memukul paha, dada dan penuh gerakan-gerakan heroic sambil melantunkan syair-syair keagamaan dalam bahasa gayo.
Kebudayaan Islam di Aceh
Faham Syiah di Indonesia sudah bukan merupakan hal baru, karena faham syiah sudah dida’wahkan di Nusantara sejak beberapa abad yang lalu. Menurut Farida, Rakhmat menyatakan Islam pertama kali masuk ke Aceh pada abad kedelapan Masehi, atau pada masa kedaulatan dinasti Abasiyah, sehingga banyak budaya Aceh yang merupakan budaya Syiah.2 [11]
Ada tiga budaya syiah dalam masyarakat Islam alam Melayu, dan budaya tersebut juga terdapat di Aceh. Ketiga budaya tersebut menurut Harun dan Kamaruzzaman adalah: penghormatan terhadap Ahl-Al-Bayt, ritual-ritual keagamaan dan sastera Melayu Klasik.3[12]
Penghormatan terhadap Ahlul Bayt
Bentuk penghormatan yang dilakukan yaitu dengan melakukan perayaan pada tanggal 10 Muharram dengan nama perayaan hari Asyura, mereka juga sangat mencintai ahlul bayt. Mereka membuat lagu yang menceritakan tentang peristiwa Karbala yang dinyanyikan oleh Rafli, seniman asal Aceh.
Di Aceh juga terdapat tarekat syatariyah yang dalam pelaksanaannya menghubungkan dengan para imam ahlul Bayt. Dalam tarekat syatariyah, terdapat urutan nama-nama yang disebutkan dalam aktivitas tarekat. Nama-nama tersebut dimulai dari Rasulullah SAW kemudian kepada Ali bin Abi Thalib ra dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.
Tradisi Syiah di Aceh
Banyak tradisi di Aceh mempunyai hubungan dan persamaan dengan budaya syiah, antara lain adalah peringatan terhadap 10 Muharam. Pada tanggal tersebut masyarakat Aceh membuat bubur asyura atau kanji asyura. Bubur asyura atau kanji ayusra dimasak pada setiap tanggal 10 asyura atau 10 Muharram.
Bubur asyura dibuat dengan mencampur ubi jalar dengan beras, jagung ditambah dengan santan dan gula. Bubur tersebut kemudian dibagikan kepada para tetangga atau dibawa ke meunasah (mushalla) dan dibagikan kepada jamaah yang hadir.
Lagu pujian terhadap Ahlul Bayt
Bentuk kecintaan masyarakat Aceh kepada Imam Husein dilantunkan oleh penyanyi kontemporer asal Aceh, Rafli yang mendendangkan lagu sebagai berikut :
“Leuh Syahid Hasan Jiprang loom Husein//Keu meuk poh mandum cuco sayydina// Jirpah pasukan mandun diyutreon// Lengkap banmandum alat senjata//Dudo keuh syahid Husein dalam prang//But Yazid keujam di blakarbala//Leuh syahid husein hate jih seunang//Jeut ban sabohnya jimat kuasa// Teumat oh dudo yazid nyang tunggang//Ka gadeoh garang teukabo ria//Karna bro pie dimat keurajeun//Hukoman tuhen dudoe ceulake.”
Artinya:[13]
Setelah Hasan syahid ada penyerangan terhadap Husein// Mau membunuh semua cucu nabi// Dia kerahkan semua pasukan untuk turun//Dengan peralatan senjata yang lengkap// Huseinpun syahid dalam peperangan//Oleh Yazid yang kejam di padang Karbala//Setelah Husein syahid, mereka semua senang//Mereka memagang seluruh kekuasaan//Kemudian Yazid yang sangat kejam//Penuh dengan kegembiraan menjadi takabur//Memegang kerajaan dan kekuasaan// Karena hukuman tuhan kemudian dia menjadi celaka.
Syair lagu tersebut menceritakan peristiwa terbunuhnya Imam Husein yang dilakukan dengan sangat kejam di Karbala oleh Yazid bin Muawiyah, sehingga lagu tersebut menggambarkan bagaimana sedihnya masyarakat Aceh atas peristiwa tersebut. Sesuai dengan pernyataan Husin, bahwa masyarakat Aceh mencintai Ahl Al-Bayt, sehingga saya sendiri dalam keluarga diberi nama sesuai dengan keluarga Ahl Al-Bayt.[14]
Bagi masyarakat Aceh, mencintai Ahl Al-Bayt merupakan suatu yang patut dilakukan, mereka sangat menghafal tentang sejarah Ahl Al-Bayt, mereka juga melakukan tradisi yang menjadi tradisi kaum syiah. Hal ini menunjukkan bahwa syiah mempunyai pengaruh dalam seni dan kebudayaan masyarakat Aceh.
Tari Saman
Proses penyebaran Islam dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara menyebarkan Islam di Aceh melalui tari saman. Tari Saman merupakan tarian khas dari Aceh. Tarian ini secara luas dikenal sebagai tarian asli masyarakat Gayo Lues,[15] karena tarian ini lahir di gayo lues, Aceh. Bagi masyarakat Gayo lues dan sekitarnya, tari saman merupakan tarian kebanggaan dan menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut. Alunaza menyatakan, tari saman yang berasal dari daerah Gayo Lues telah disahkan sebagai warisan budaya dunia oleh sidang United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada 24 November 2011 di Bali International Convention Center, Indonesia.[16]
Sebagai tarian Nusantara, gerakan dan syair dalam tari saman penuh dengan makna dan pesan-pesan filosofis serta religius. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sustiawati yang menyatakan bahwa tarian Nusantara penuh dengan pesan-pesan filosofis, baik dari aspek spiritual, moral maupun sosial dari komunitasnya.[17] Sehingga menurut Ramidhiyanti dan Piliang, tari saman merupakan tarian yang mempunyai banyak makna, antara lain mengajarkan tentang kebersamaan, kedisiplinan dan kesatuan.[18]
Makna kebersamaan dalam Islam menurut Hamzah dan Markarna berimplikasi kepada prinsip kegotongroyongan dan kesetiakawanan serta rasa solidaritas yang tinggi.[19] Sedangkan kedisiplinan menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan dan kesatuan serta merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk kekuatan dalam masyarakat.
Dengan demikian tari saman merupakan tarian Nusantara yang berasal dari gayo lues ini mempunyai nilai-nilai religius yang cukup tinggi, tarian ini juga dimainkan tanpa alat musik, tetapi hanya dengan menggunakan gerakan tubuh dan nyanyian dari para penarinya.
Lebih lanjut Ramadhiyanti dan Piliang menyatakan, keunikan tari saman terletak pada kekompakan gerakan pada tariannya.[20] Tarian saman menggunakan dua unsur gerak yakni tepuk tangan dan tepuk dada.
Menurut Husin, gerakan dalam tari saman yang berupa menepuk-nepuk dada lebih menunjukkan sebagai ungkapan kepiluan dan kesedihan atas gugurnya Imam Husein (cucu) Rasulullah SAW, mengingat masyarakat Aceh memang sangat mencintai Ahl al Bayt atau keluarga rasulullah.[21] Hal yang sama juga dinyatakan oleh Saad.
Menurut Saad, gerakan-gerakan saman terdiri dari menepuk-nepuk dada mirip dengan gerakan-gerakan peringatan hari karbala. Dimana pada saat itu mereka menepuk dada sebagai simbol dari kesedihan yang mendalam atas terbunuhnya Imam Husein, cucu rasulullah SAW.[22] Hal ini dapat menjadikan indikasi bahwa ada kesamaan dalam tari saman dengan pengikut syiah dalam menunjukkan kesedihan mereka pada peristiwa Karbala.
Para pengikut Syiah merayakan 10 Muharram atau 10 asyura dengan peringatan berupa pembacaan maktal[23] dan maktam (menepuk dada).[24] Peringatan tentang syahidnya Imam Husein sebenarnya sudah dilakukan oleh pengikut syiah sejak tanggal 1 Muharram dan mencapai puncaknya pada tanggal 10 Muharram, yang dikenanal dengan peringatan hari Asyura.
Maktal dan maktam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas yang dilakukan pada acara peringatan 10 Asyura. Menurut Baraghbah, menepuk dada atau yang dikenal dengan nama maktam merupakan ungkapan rasa kesedihan atas terbunuhnya Imam Husein. Bagi masyarakat Arab, ketika bersedih mereka akan menepuk-nepuk dada atau menepuk kepala.[25]
Menepuk dada merupakan kebudayaan Arab yang sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam bahkan ada sebagian yang menyatakan, menepuk dada merupakan kebudayaan syiah. Menepuk dada dilakukan pengikut syiah sebagai ungkapan kesedihan atas syahidnya Imam Husein di Karbala dengan cara yang sangat kejam.
Kekejaman Yazid (putra Muawiyah) terhadap Imam Husein mereka peringati sebagai upacara Karbala atau upacara 10 Asyura. Karena kejadian pembantaian tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Asyura. Upacara peringatan hari Asyura diperingati oleh para pengikut syiah di dunia.
Kesimpulan
Aceh merupakan wilayah nusantara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, sebagai pusat studi dan sebagai pusat perdagangan. Hal inilah yang mengakibatkan Aceh banyak didatangi oleh bangsa asing yang bertujuan untuk melakukan perdagangan. Datangnya bangsa asing yang semula melakukan perdagangan, pada akhirnya banyak yang melakukan per-kawinan dan menyebarkan agama. Dengan demikian terjadi proses akulturasi dan asimilasi pada masyarakat tersebut.
Aceh diyakini sebagai wilayah nusantara pertama tempat datangnya agama Islam, Hal ini disebabkan karena Aceh merupakan pelabuhan pertama yang disinggahi oleh kapal-kapal layar yang masuk Nusantara.
Sebelum kedatangan Islam, penduduk Aceh pada umumnya mempunyai kepercayaan animisme, dinamisme, pemujaan hyang (dewa pencinta), dan nenek moyang. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan dengan kedatangan bangsa India yang membawa agama Brahma atau agama Hindu, maka masyarakat Aceh menjadi pemeluk agama Hindu.
Setelah agama Hindu, agama Islam masuk ke wilayah Aceh melalui para pedagang Arab, Gujarat dan Persia, sehingga Islam yang datang ke Indonesia berasal dari berbagai bangsa asing dan bukan bangsa Arab saja, tetapi dari Arab Saudi, India, Cina, Persia dan Mesir.
Mazhab yang pertama kali datang ke Indonesia adalah mazhab syiah, hal ini ditandai dengan telah berdiri kerajaan Islam pertama di Peurlak, Aceh yang didirikan oleh muslim syiah dan banyaknya tradisi syiah yang dipraktekkan di masyarakat Aceh. Dengan demikian syiah atau pengikut Ahl Al-Bayt mempunyai peran yang cukup penting dalam proses penyebaran Islam di Indonesia.
Namun saat ini muslim yang ada di Aceh, sebagian besar bukanlah pengikut mazhab syiah, hal ini dapat dilihat dari praktek keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh bermazhab suni, baik dalam melakukan aktivitas s}alat, puasa, zakat dan aktivitas lainnya. Namun dalam melaksanakan tradisi, masyarakat syiah banyak yang mempraktekkan tradisi dan budaya syiah.
Jejak peninggalan syiah dapat terlihat dari beberapa artefak yang terdapat di Aceh, antara lain adanya tradisi Asyura dan gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari saman. Demikian juga dengan adanya beberapa naskah kuno yang menuliskan tentang kerajaan Islam pertama di Aceh adalah kerajaan Peurlak yang bermazhab syiah dan kemudian kejaraan tersebut bersatu dengan kerajaan Pasai.
Dengan terdapatnya bukti-bukti peninggalan syiah dalam bentuk seni dan budaya yang masih terdapat pada masyarakat di Aceh, menjadi indikasi bahwa syiah pernah masuk dan berkembang di wilayah Aceh serta berperan dalam penyebaran Islam di Aceh. []
DAFTAR PUSTAKA
Aboe Bakar Atjeh. Aliran Syiah di Nusantara (Jakarta : Islamic Research Institute, 1977)
Bahri, Syamsuddin. “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Jurnal Dinamika Hukum 12,2 (Mei, 2012) :358-367.
Farida, Anik.“Respon Organisasi Massa Islam Terhadap Syiah di Bandung. “ Penamas 22,2 (Juli September 2014): 159-175.
Gele, HM Junus Luttar Aman. Mengikuti Beberapa Catatan tentang Organisasi Urang Gayo di Jakarta (Jakarta: Bina Usaha Pensiun Makmur “BUPM”, 2007).
Hasymi, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. ( Bandung : PT. Al Ma’arif’, 1981).
----- . Kebudayaan Islam dalam Sejarah (Jakarta : Beuna, 1983).
-----. 50 tahun Aceh membangun ( Daerah Istimewa Aceh : Majelis Ulama Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1995).
-----. Syiah dan Ahlusunnah ; Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusatara (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1983).
Hamzah dan A. Markarna. “Aktualisasi Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Islam Berbasis Multikulturalisme di Kota Palu Sulawesi Tengah.” Istiqra, Jurnal Penelitian Ilmiah 1,1 (Januari-Juni 2013): 12-22.
Harun, Mohd Muhammad dan Kamaruzzaman, Azmul Fahimi. “ Kemunculan Budaya Syiah di Alam Melayu : Satu Kajian Awal.” Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 (2011) : 305-314.
Hashim, Moh. ‘Syiah, Sejarah Muncul dan Perkembangannya.’Jurnal Multikultural dan Multireligius 4,11 (Oktober – Desember 2012) :1-32.
Husin, Asna, dosen Peradaban Islam IAIN Ar-Raniri Aceh dalam video yang ditayangkan melalui Kajian Al-Qur’an Dzulfikar (diakses pada tanggal 7 November 2015).
Rakhmat, Djalaluddin. wawancara Djalaluddin Rakhmat dengan media online.www.vivi.co.id (02/09/2012).
Ramadiyanti, Tri Utami dan Piliang, Yasraf Amir Piliang. “Penerapan Gerakan Metafora Tari Saman pada Produk Lighting.” Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa dan Desain 1,2 (2015): 1-6.
Saad, Hasballah M. “Syiah di Aceh.” Serambinews.com (25 Februari, 2009)
SD, Hadi Alunaza SD “Analisa Budaya Indonesia melalui Tari Saman Gayo Dalam Mengukuhkan Identitas Nasional Bangsa.” Jurnal Hubungan Internasional 4,1 (April, 2015) : 88-96.
Bin Haji Ishak, Suhaimi. “Nusantara and Islam : A Study of the History and Challenges in the Perspektif of Faith and Identity.” Australian Journal of Basic and Applied Sciences 8,9 (June, 2014) : 351-359.
Sustiawati, Ni Luh. “Kontribusi Seni Tari Nusantara dalam Membangun Pendidikan Multikultur.” Mudra 26,2 (Juli, 2011):126 – 134.
Catatan Akhir
[1] Suhaimi Bin Haji Ishak. “Nusantara and Islam : A Study of the History and Challenges in the Perspektif of Faith and Identity.” Australian Journal of Basic and Applied Sciences 8,9 (June, 2014) : 353
[2]A. Hasymi. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. ( Bandung : PT. Al Ma’arif’, 1981), 146, A. Hasjmi . Kebudayaan Islam dalam Sejarah (Jakarta : Beuna, 1983), 45 dan A. Hasymi . 50 tahun Aceh membangun ( Daerah Istimewa Aceh : Majelis Ulama Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1995), 3-8
[3] Djalaluddin Rakhmat, wawancara Djalaluddin Rakhmat dengan media online.www.vivi.co.id (02/09/2012).
[4] Aboe Bakar Atjeh. Aliran Nyiah di Nusantara (Jakarta : Islamic Research Institute, 1977) : 31
[5] Syamsul Bahri. “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Jurnal Dinamika Hukum 12,2 (Mei, 2012 :360.
[6] Seminar masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963 merupakan langkah awal upaya kita menggali dan menemukan fakta kembali fakta sejaran masuknya Islam ke Indonesia. Hasil seminar tersebut merupakan koreksi total terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya, khususnya pada orientasi-orientasi barat.
[7] Syamsul Bahri. “ Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sebagai bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Jurnal Dinamika Hukum 12,2 (Mei 2012) : 360.
[8] A. Hasjmi. Syiah dan Ahlusunnah ; Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusatara (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1983), 45
[9] Mohd Muhammad Harun dan Azmul Fahimi Kamaruzzaman. “ Kemunculan Budaya Syiah di Alam Melayu : Satu Kajian Awal.” Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 25-26 (2011) : 310 – 311.
[10] Moh. Hashim. ‘ Syiah, Sejarah Muncul dan Perkembangannya.’ Jurnal Multikultural dan Multireligius 4,11 (Oktober – Desember 2012) :31
[11]Anik Farida. “Respon Organisasi Massa Islam Terhadap Syiah di Bandung. “ Penamas 22,2 (Juli September 2014): 162.
[12] Mohd. Samsuddin Harun dan Azmul Fahimi Kamaruzaman. “Kemunculan Syiah di Alam Melayu: Satu Kajian Awal.” Prosiding Nadwah Ulama Nusantara : 311.
[13]Diterjemahkan oleh Azhari, warga Sigli, Aceh pada tanggal 17 Oktober 2015.
[14]Pernyataan Asna Husin, dosen Peradaban Islam IAIN Ar-Raniri Aceh dalam video yang ditayangkan melalui Kajian Al-Qur’an Dzulfikar (diakses pada tanggal 7 November 2015).
[15]Gayo lues adalah nama kabupaten di wilayah Aceh yang dulunya termasuk wilayah Aceh Tenggara dan setelah terjadi pemekaran pada tahun 2004. Wilayah ini terbagi menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara. Lihat HM Junus Luttar Aman Gele. Mengikuti Beberapa Catatan tentang Organisasi Urang Gayo di Jakarta (Jakarta: Bina Usaha Pensiun Makmur “BUPM”, 2007), 33
[16]Hadi Alunaza SD “Analisa Budaya Indonesia melalui Tari Saman Gayo Dalam Mengukuhkan Identitas Nasional Bangsa.” Jurnal Hubungan Internasional 4,1 (April, 2015) : 91
[17]Ni Luh Sustiawati. “Kontribusi Seni Tari Nusantara dalam Membangun Pendidikan Multikultur.” Mudra 26,2 (Juli, 2011): 126
[18]Tri Utami Ramadhiyanti dan Yasraf Amir Piliang. “Penerapan Gerakan Metafora Tari Saman pada Produk Lighting.” Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa dan Desain 1,2 (2015): 1
[19]Hamzah dan A. Markarna. “Aktualisasi Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Islam Berbasis Multikulturalisme di Kota Palu Sulawesi Tengah.” Istiqra, Jurnal Penelitian Ilmiah 1,1 (Januari-Juni 2013): 17.
[20]Tri Utami Ramadhiyanti dan Yasraf Amir Piliang. “Penerapan Gerakan Metafora Tari Saman pada Produk Lighting.“ : 5
[21]Pernyataan Asna Husin, dosen Peradaban Islam IAIN Ar-Raniri Aceh dalam video yang ditayangkan melalui Kajian Al-Qur’an Dzulfikar (diakses pada tanggal 7 November 2015).
[22]Hasballah M Saad, “Syiah di Aceh.” Serambinews.com (25 Februari, 2009)
[23]Maktal adalah pembacaan kronologi peristiwa Karbala, maktal tersebut didasarkan dari beberapa kitab yang kemudian disusun menjadi sebuah kisah.
[24]Maktam adalah menepuk-nepuk dada sambil mengucapkan kata-kata, ya Husain…, sebagai ungkapan rasa kesedihan. Wawancara dengan Ust. Abdur Rahman Baragbah, dosen STAI Madinatul Ilmi, Depok pada tanggal 16 Oktober 2015, di STAI Madinatul Ilmi, Depok.
[25]Wawancara dengan Ust. Abdur Rahman Baragbah, dosen STAI Madinatul Ilmi, Depok pada tanggal 16 Oktober 2015, di STAI Madinatul Ilmi, Depok.