Belum lagi jarak yang jauh harus ditempuh. Madinah - Tabuk memakan perjalanan 14 hari pasukan berkuda dan jalan kaki. Lebih dari 640 kilometer jauhnya.
Suasana tenang, damai, panas dan buah-buahan yang ranum…lalu datang panggilan jihad itu.
Beberapa sahabat enggan menyambutnya. Ada yang berusaha mencari alasan dengan berbagai cara. Tapi lebih banyak lagi yang berangkat. Kafilah itu, tigapuluh ribu jumlahnya. Sebagian ada yang berat untuk turut serta.
Abu Khaitsamah ikut bersama pasukan ke Tabuk, menempuh sahara yang membakar itu.
Empatbelas hari jarak menuju, dan setiap sore mereka beristirahat, memulihkan tenaga, membiarkan kuda-kuda terlena. Bayangkan, alangkah indahnya saat-saat itu. Ketika Rasulullah hadir bersama. Saat seluruh alam semesta cemburu, karena pusat dunia berada di kisaran itu. Tak ada jarak, tak ada penghalang. Para sahabat dan Sang Nabi menjadi satu di malam-malam itu.
Tapi baru saja dua-tiga malam dilalui, Abu Khaitsamah tiba-tiba merenung diri. Ia teringat rumahnya di Madinah. Ia rindu istrinya. Mungkin ia bayangkan berteduh dalam dinding sejuk rumahnya, dan buah-buahan musim panas dihidangkan padanya.
Diam-diam, ia melepaskan kudanya, menariknya pelan-pelan. Mungkin berjingkat melewati para sahabat, yang terlelap tidur setelah perjalanan yang berat. Mungkin ia juga tak diketahui menjauh. Barangkali bisiknya dalam hati, satu orang takkan mengurangi pasukan yang ribuan jumlahnya. Ia pun mengendap meninggalkan tempat peristirahatan. Niatnya sudah pasti: ke Madinah ia akan kembali.
Begitu jarak agak terpisah jauh, ia pun menghentak kudanya, membelah malam, menuju rumah keluarga yang disayanginya, menuju ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan yang dibayangkannya.
Entah berapa lama ia berkendara, akhirnya ia sampai juga. Kepulan asap kuda ke arah rumahnya telah memberikan kabar pada penghuni rumah akan seseorang yang datang pada mereka. "Mungkin itu Abu Khaitsamah," pikir istrinya.
Benar saja, makin mendekat, kuda dan penunggangnya makin jelas terlihat. Istrinya bergegas mempersiapkan, hendak menyambut suami ke rumah dengan kehangatan. Tikar ia hamparkan. Buah-buahan ia hadirkan. Air minum segar ia siapkan. Tak lupa, ember dan air bersih siap membasuh kaki yang letih. Ia siap berkhidmat dan jamuan tersaji untuk dinikmati.
Tapi apa yang terjadi? Begitu Abu Khaitsamah dan kudanya, sampai di gerbang rumah itu, ia menarik kendali kudanya seketika. Berhenti tiba-tiba. Dan suara erangan kuda bercampur dengan nafas yang tersengal, naik turun tak berhenti. Abu Khaitsamah masih tetap di atas kudanya. Kaki di sanggurdi tak juga melepaskan diri. Ia berputar berkali-kali.
Istrinya kebingungan. "Wahai suami, selamat datang. Kau pulang dari perjalanan panjang. Pastilah sangat kelelahan. Kemarilah, beristirahatlah. Apa yang menahanmu turun dari kudamu? Lihat, aku sudah mempersiapkan air hangat untuk membasuh kakimu. Air segar untuk membasahi bibirmu. Minumlah agar kaupuaskan dahagamu. Lihatlah buah-buahan yang baru kupetik. Makanlah. Biar kaukenyangkan dirimu."
Abu Khaitsamah tak juga turun dari kudanya. Ia seperti kebingungan. Bagaikan sebuah pergulatan tengah bertarung di batinnya. Lalu ia berkata, memecah keheningan di antara dengusan kuda.
"Istriku sayang, rinduku padamu tak terkira. Aku memacu kudaku, untuk kembali kepadamu. Tapi begitu aku melihat engkau hamparkan sajian itu. Begitu aku tahu, kau hidangkan buah-buahan itu.
Dan air segar yang kau siapkan untukku…ingatanku melayang pada Sang Nabi. Mungkin ia sekarang menempuh terik sahara yang panas. Mungkin ia kehausan. Mungkin tenggorokannya kering dan tak ada minuman. Tidak! Mana mungkin aku menyentuh makanan itu, sedang Sang Nabi menderita di luar sana. Mana mungkin aku menikmati hidangan itu, sedang Sang Nabi membelah sahara. Tidak, aku tak mungkin melakukan itu…istriku, aku mohon izinmu. Aku akan kembali menyusul Sang Nabi. Aku akan bergabung dan berangkat, sekarang ini juga."
"Tapi suamiku, engkau baru saja datang. Beristirahatlah walau sejenak. Minumlah dahulu. Masuklah ke dalam. Berbaringlah dan pulihkan kekuatan."
"Tidak, istriku, aku sudah berbuat kesalahan, karena meninggalkannya pertama kali. Maafkan aku, aku tak bisa melakukannya. Aku berangkat…" Dan ia pun melecut kudanya, tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan istrinya keheranan.
Dua hari dua malam itu, Abu Khaitsamah memacu kudanya, bergegas hendak menyusul Sang Nabi dan rombongannya. Sesekali ia beristirahat, membiarkan dirinya dan kudanya memulihkan tenaga. Di satu tempat, ia bahkan bertemu pemuka Quraisy yang menggodanya untuk kembali. Tapi batinnya yang gelisah, raut mukanya yang gundah tak dapat ditutupi. Hatinya telah bicara. Ia harus meminta maaf Nabi.
Segera, ia kembali berkuda. Tak lama, ia sudah membelah sahara. Debu tak dihiraukannya. Kusut, masai, lapar tak dirasakannya. Akhirnya, rombongan itu terlihat juga. Makin lama makin mendekat.
Alkisah, di tengah-tengah barisan Nabi Saw, kepulan padang pasir itu sudah terlihat. Para sahabat memberi tahu Nabi, ada penunggang kuda tengah merapat. Ketika kepulan debu itu mendekat, Nabi Saw bersabda, "Semoga saja dia Abu Khaitsamah…"
Benar saja, begitu wajah berbalut debu itu mendekat, begitu janggut bertabur pasir dan pakaian lusuh itu terlihat, para sahabat berteriak, "Benar ya Rasulallah, ia Abu Khaitsamah!"
Abu Khaitsamah tak lagi mendengar teriakan-teriakan itu, ia pacu kudanya. Yang ia tuju hanya satu, Sang Nabi. Yang ia rindu tiada lagi, Sang Nabi. Yang ia malu tak lain lagi, Sang Nabi. Ia menghentakkan kudanya segera mendekat menuju haribaan kekasihnya.
Dan begitu jarak tak bersisa lagi, dengan segera ia menjatuhkan dirinya. Ia lepaskan kendali kudanya, ia tersungkur di hadapan Baginda, berusaha untuk memeluknya. Hanya saja, karena ketergesaan, satu kakinya bergantung di sanggurdi kudanya. Ia terhempas, persis di hadapan Baginda. Air mata mengalir deras di wajahnya…terdengar salam Nabi untuknya.
"Salam bagimu ya Rasulallah…" ujarnya di sela tangis dan lelahnya. Nabi Saw membangunkannya. Para sahabat membantu melepaskan kaki dari kudanya. Dan terdengarlah sabda Nabi, "Hai Abu Khaitsamah…hampir-hampir engkau celaka."
Mendengar itu tangis Abu Khaitsamah makin menjadi. Ia peluk Nabi, memohonkan maafnya. "Benar, ya Rasulallah…hampir-hampir aku celaka." Para sahabat mengira, Abu Khaitsamah hampir celaka, karena terjatuh begitu rupa. Tidak, tidak. Ia hampir celaka, karena hampir saja ia tinggalkan Baginda. Hampir saja ia langkahkan kakinya ke rumahnya. Hampir saja ia beristirahat sedang Sang Nabi menempuh medan yang berat. Hampir saja ia minum air yang segar, sedang Sang Nabi kehausan. Hampir saja ia menikmati kehangatan keluarga, sedang Sang Nabi berbalut dingin sahara…"Benar ya Rasulallah, hampir-hampir aku celaka."
Ya Allah, Ya Rasulallah. Kami ini ya Rasulallah, sudah berulangkali celaka. Duhai, bahagia, bila saat akhir itu tiba, kalimat suci terdengar di telinga, "Hai Miftah, hampir-hampir kamu celaka."
Aku ini sudah celaka ya Rasulallah. Betapa sering kunikmati sajian, dan engkau tak hadir dalam ingatan. Betapa banyak kudahulukan kehendak diri, dan kehendakmu kuabaikan. Tak terhitung air aku minum, buah aku makan, tanpa namamu di bibir ini kukenang. Aku sudah celaka ya Rasulallah…Aku sudah celaka ya Rasulallah. Umatmu adalah keluargamu. Betapa kami nikmati kehangatan malam sedang sebagian mereka menggigil kedinginan. Seringnya kami tertawa di meja makan sedang mereka menahan kelaparan. Kami sudah celaka Ya Rasulallah. Kurban tak mengajarkan kami empati pada sesama. Pesan Nabi Ibrahim as tak lagi terdengar lantang di telinga.
Maka izinkan pendosa tak berguna ini menggantungkan satu-satunya harap kepadamu ya Nabiyallah. Wajah yang sudah tertutup debu nista. Hati yang menghitam karena jelaga dosa. Pakaian yang lusuh karena tak bertabur pahala.
Izinkan aku datang padamu Ya Rasulallah, dengan seluruh peluh itu, dengan seluruh keluh itu. Izinkan aku melecut kudaku tanpa henti. Izinkan aku tersungkur di haribaanmu. Selamatkan aku dengan kalimat itu, "Hampir-hampir engkau celaka, Ya Miftah…" Selamatkan aku ya Rasulallah…
Aku sudah meninggalkanmu sekian lama. Aku sudah jauh tertinggal kafilah para pecinta. Aku sudah habiskan usia, tidak menuju Tabuk dan peperangan itu, tapi untuk menjauh darinya, untuk mencari ketenangan semu, untuk mengejar kebahagiaan palsu. Maafkan aku ya Rasulallah.
Sungguh kini, aku tak bergantung lagi pada pahala. Amalku tak seberapa. Ibadahku sekadar menunaikan kewajiban saja. Aku tak punya penyelamat. Aku tak miliki bekal untuk kampung akhirat. Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib as, menepukkan kepalanya pada pusara, saat berziarah pada Baginda, "Ooh, min thulis safar, wa qillatiz zaad," duhai, alangkah panjangnya perjalanan, betapa sedikitnya perbekalan.
Begitu Amirul Mukminin, maka bagaimana lagi kesudahan orang hina seperti aku ini… Wahai Sang Pengasih di dunia dan akhirat, sayangi orang yang tak punya dunia dan akhirat. Ya rahmanad dunya wal aakhirah, irham man laisa lahud dunya wal aakhirah…deritaan sesama senantiasa bercahaya dalam hidup kita.
@miftahrakhmat
Kisah Abu Khaitsamah Malik bin Qais al-Anshari dikutip dari buku Perjalanan Pulang (tanpa) Kembali. Kitab rujukan seperti Usud al-Ghabah atau Al-Sirah al-Nabawiyyah 1:520, al-Waqidi meriwayatkannya dengan beberapa versi tambahan.