Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

Adab Haji [by Dr KH Jalaluddin Rakhmat]

24/6/2020

0 Comments

 
Picture
Pada 10 Zulhijjah, dari atas untanya, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah. Usai khutbah, seseorang bertanya, “Saya berziarah dulu (tawaf) ke Baitullah, setelah itu saya melempar jumrah?” Beliau berkata: “If’al, la haraj (lakukan saja, tidak ada salahnya).” Yang lain berkata, “Saya bercukur dulu sebelum menyembelih.” Beliau berkata: “Lakukan saja, tidak ada salahnya.” Yang lain bertanya lagi, “Saya menyembelih sebelum melempar?” Beliau berkata: “Lakukan saja, tidak ada salahnya.” Kata Abdullah bin Umar, “Setiap Nabi SAW ditanya tentang sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan, beliau selalu berkata:“If’al, la haraj (lakukan saja, tidak ada salahnya).” (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Hajj). 

Para ulama menghitung tak kurang dari 24 cara haji yang disampaikan kepada Rasulullah SAW, dan beliau membenarkannya: bercukur sebelum melempar, bercukur sebelum menyembelih, menyembelih sebelum melempar, tawaf ifadah sebelum melempar, tawaf ifadah sebelum bercukur, melempar dan ifadah bersamaan sebelum bercukur, tawaf ifadah sebelum menyembelih, sa’i sebelum tawaf, dan lain-lain. Berbagai cara berhaji itu mula-mula memang dipertengkarkan oleh para sahabat Nabi. Masing-masing merasa hajinya yang paling benar. Ketika setiap cara itu dikemukakan kepada Nabi SAW, beliau membenarkan semuanya; “Lakukan saja, tidak ada salahnya.”

“Bukankah itu menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang harus dilakukan oleh mukallaf –dan Nabi SAW tidak menentukan dengan tegas cara-cara dan urutannya- pelaksanaannya lebih luas. Setiap mukallaf dapat melakukannya sesuai dengan keyakinannya,” tulis Muhammad Jalil Isa ketika mengomentari hadis ini (lihat kitabnya, Ma la Yajuz Fihi al-Khilaf, hlm.66). Sebagai Rasul Allah, Nabi SAW berhak menentukan mana-mana cara dan urutan haji yang benar. Tapi beliau malah menyerahkannya kepada pertimbangan praktis para pengikutnya. Bandingkan perilaku Nabi SAW ini dengan sebagian besar kita. Tak ada hak pada kita untuk menentukan mazhab fikih yang benar atau salah, tapi kita malah menetapkan hanya cara dan urutan ibadah haji seperti yang kita amalkan saja yang benar. Dengan mengutip ucapan para sahabat, kita masing-masing berkata, “Nahnu ashwab (kamilah yang benar)”.

Ketika Nabi SAW berkata if’al, la haraj, beliau bukan saja mengajarkan penghargaan pada pemahaman agama yang berbeda. Beliau juga menunjukkan bahwa yang paling penting dari ibadah haji bukanlah ritus-ritus formalnya, melainkan hakikatnya. Ritus-ritus itu, walaupun tidak boleh ditinggalkan, hanyalah wahana untuk tujuan haji yang sebenarnya. Kita tak perlu mempertentangkannya. Yang perlu dibicarakan adalah bagaimana membersihkan ibadah haji kita dari kata-kata kotor, kefasikan, dan pertengkaran, apapun alasannya. Inilah yang disebut adab haji atau rahasia haji (asrar al-hajj).

Keutamaan Haji. Banyak hadis menjelaskan keutamaan ibadah haji dan tempat-tempat yang mulia, yang diziarahi jamaah haji: Barangsiapa yang haji ke Baitullah, kemudian tidak berkata kotor dan tidak berbuat dosa, ia keluar dari dosanya seperti ketika ia keluar dari perut ibunya. Barangsiapa yang meninggal di salah satu Haramain (Mekkah dan Medinah), ia tidak akan dihadapkan kepada pengadilan Tuhan, tidak akan diperiksa, dan akan dikatakan kepadanya, “Masuklah ke sorga.”

Orang-orang yang berhaji adalah rombongan Tuhan dan para peziarah-Nya. Jika mereka meminta, Tuhan akan mengabulkan permintaannya. Jika mereka meminta ampunan, Tuhan akan mengampuninya. Jika mereka berdoa, Tuhan akan mengabulkannya. Jika mereka memintasyafaat mereka akan diberi syafaat (lihat Kitab Rahasia Haji, Ihya ‘Ulum al-Din, juz 1).

Semua keutamaan haji ini hilang bila orang meninggalkan adab batiniahnya. Haji adalah safarruhani menuju Allah SWT. Menurut Imam Al-Ghazali, orang tidak akan mencapai Tuhan tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterikatan pada hawa nafsu. Dahulu, untuk mencapai Tuhan, para pendeta meninggalkan tanah airnya, mengembara dengan menanggung berbagai kesulitan. Mereka hidup sederhana sambil merendahkan dirinya di hadapan kebesaran Allah. Boleh jadi mereka berpakaian kusam dan berambut kusut masai, berkelana dalam perjalanan panjang mencari Tuhan.

Ketika Nabi SAW ditanya para pemeluk agama terdahulu tentang kependetaan dan pengembaraan, beliau berkata: “Allah sudah menggantikannya untuk kami dengan jihad dan takbir pada setiap tempat yang mulia.” Yang dimaksud Nabi dengan jihad dan takbir ini adalah haji. Dalam ibadah haji, setiap Muslim menjalani kehidupan kependetaan. Bukankah ketikawuquf di Arafah, Tuhan membanggakan jamaah haji di hadapan para malaikat-Nya: Hamba-hamba-Ku datang kepada-Ku dengan rambut kusut masai dari setiap sudut negeri yang jauh. Wahai hamba-hamba-Ku, bubarlah dari Arafah dengan ampunan-Ku atas kamu. Jamaah haji adalah jamaah pendeta, rombongan orang suci.

Sepuluh Rahasia Haji. Untuk menjalankan tugas kependetaan itu, selain memperhatikan ritus-ritus haji, jamaah haji harus menjaga adab-adab batiniah ibadah haji. Al-Ghazali menyebutkan sepuluh etika haji. Pertama, hendaknya ia berhaji dengan harta yang halal. Ia harus meninggalkan perhatian pada urusan pekerjaan dan bisnisnya. Ia harus mencurahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah.  Rasulullah SAW pernah menubuatkan jenis-jenis haji pada akhir zaman: “Pada akhir zaman nanti, manusia yang keluar melakukan ibadah haji terdiri dari empat macam. Para pejabat haji untuk pesiar, pedagang untuk berniaga, orang miskin untuk mengemis, dan ulama untuk kebanggaan.

Kedua, hendaknya ia berusaha untuk tidak menyerahkan dirinya diperas orang-orang yang mengganggu jamaah haji. Tentang itu, Al-Ghazali menyebutkan para perompak zaman dulu yang merampok jamaah haji di perjalanan. Ia mengutip pendapat para ulama bahwa lebih baik meninggalkan sunnat haji daripada mendukung kezaliman. Ketiga, hendaknya ia tidak memboroskan bekalnya untuk makan dan minum yang mewah atau membeli kelezatan-kelezatan di perjalanan, Ia harus banyak menggunakan hartanya untuk bersedekah, menolong orang lain, atau memberikan bekal pada teman seperjalanan. Keempat, hendaknya ia meninggalkan segala macam akhlak yang tercela –kekejian dan kefasikan, serta perdebatan dan perbantahan. Yang termasuk kekejian adalah berkata kotor, kasar, atau yang menusuk perasaan. Juga bedusta, memfitnah, menipu. Kelima, diutamakan memperbanyak berjalan. Sekarang ini mungkin lebih baik meninggalkan Arafah dan menuju Muna dengan berjalan kaki daripada dengan kendaraan. Dengan berjalan kaki, ia akan sempat tidur di Muzdalifah dan pagi-pagi berangkat menuju Muna. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan tiba di Muna lebih cepat dari orang yang menyewa kendaraan.

Keenam, karena berkaitan dengan jenis kendaraan masa lalu, kita tidak menyebutkannya di sini.Ketujuh, hendaknya ia berpakaian sederhana dan meninggalkan tanda-tanda kesombongan dan kemewahan. Bukankah pada waktu ihram, kita dianjurkan untuk tidak menyisir rambut sehingga rambut kita akan kelihatan kusut masai. Haji dimaksudkan untuk membesarkan Allah dan mengecilkan diri kita. Kedelapan, berkenaan dengan unta, yang tidak relevan pada waktu sekarang. Kesembilan, berkenaan dengan kewajiban untuk berkorban dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin. Kesepuluh, hendaknya ia bersabar untuk menerima musibah apapun saat melakukan ibadah haji. Ia bersabar atas musibah yang menimpa badannya atau bila ia kehilangan hartanya.

Rahasia haji dari Al-Ghazali sebetulnya menggambarkan perspetif sufi. Ratusan tahun sebelum Al-Ghazali lahir, Imam Ja’far Al-Shadiq ra., tokoh besar dalam dunia tasawuf, memberikan nasehat kepada para jamaah haji: “Jika engkau berangkat haji, kosongkanlah hatimu dari segala urusan, dan hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah. Tinggalkan setiap penghalang dan serahkan urusanmu kepada Penciptamu. Bertawakkallah kepadanya dalam setiap gerak dan diammu. Berserah dirilah pada ketentuanNya, hukum-hukumNya, dan takdirNya. Tinggalkan dunia, kesenangan dan seluruh makhluk. Keluarlah dari kewajiban yang dibebankan kepadamu dari mahluk Tuhan. Janganlah bersandar pada bekalmu, kendaraanmu, sahabatmu, kekuatanmu, kemudaanmu dan kekayaanmu.

Buatlah persiapan seakan-akan engkau tidak akan kembali lagi. Bergaullah dengan baik. Jaga waktu-waktu dalam melaksanakan kewajiban yang ditetapkan Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW, berupa adab, kesabaran, syukur, kasih sayang, kedermawanan, mendahulukan orang lain sepanjang waktu. Bersihkan dosa-dosamu dengan air taubat yang ikhlas.

Pakailah pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hati, dan kekhusyukan. Berihramlah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi kamu mengingat Allah dan mencegahmu mentaatiNya. Bertalbiyahlah kamu dengan menjawab panggilan Allah dengan ikhlas, suci dan bersih dalam doa-doa kamu, seraya tetap berpegang pada tali yang kokoh.

Bertawaflah dengan hatimu bersama para malaikat sekitar Arasy, sebagaimana kamu bertawaf dengan jasadmu bersama manusia di sekitar Baitullah. Keluarlah dari kelalaianmu dan ketergelinciranmu ketika engkau keluar ke Muna dan janganlah mengharapkan apapun yang tidak halal dan tidak layak bagimu.

Akuilah segala kesalahanmu di tempat pengakuan (Arafah). Perbaharuilah perjanjianmu di depan Allah dengan mengakui keesanNya. Mendekatlah kepada Allah di Muzdalifah. Sembelihlah tengkuk hawa nafsu dan kerakusan ketika engkau menyembelih dam. Lemparkan syahwat, kerendahan, kekejian dan segala perbuatan tercela ketika melempar Jamarat.

Cukurlah aib-aib lahir dan batin ketika mencukur rambut. Tinggalkan kebiasaan menuruti kehendakmu dan masuklah kepada perlindungan ke Masjid Al-Haram. ***
 

Dr KH Jalaluddin Rakhmat, Dewan Pembina Yayasan Muthahhari Bandung

0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.”
    ​
    ​ 
    (HR Al-Hakim dan Al-Thabrani)
    ​


    Picture

    Tema

    All
    Abu Nawas
    Adam
    Agama
    Ahlulbait
    Akal
    Akhlak
    Albirr
    Al-Husayn
    Ali Bin Abi Thalib
    Ali Bin Abu Thalib
    Al-Mizan
    Alquran
    Anak
    Arafah
    Arbain Walk
    Asep Salahudin
    Asyura
    Babul
    Bahasa
    Bahjah
    Bahlul
    Bangsa
    Barzakh
    Berkah
    Bicara
    Bidadari
    Bubur Suro
    Bukhari
    Buku
    Bulan Suci
    Cerita
    Cinta
    Covid 19
    Covid-19
    Depresi
    Doa
    Dogma
    Dosa
    Dua Belas Imam
    Dunia
    Emas
    Empati
    Epistemologi
    Fatwa
    Fidyah
    Fikih
    Filsafat
    Gaya Menulis
    Gender
    Gereja
    Ghuraba
    Globalisasi
    Guru
    Hadis
    Haji
    Happy Birthday
    Hari Anak Nasional
    Hasan
    Hasan Bashri
    Hermeneutika
    Hitler
    Husain
    Ibadah
    Identitas Arab Itu Ilusi
    Ideologi
    Idul Fitri
    Ihsan
    IJABI
    Ilmu
    Ilmu Kalam
    Imam
    Imam Ali
    Imam Ali Zainal Abidin
    Imam Husain
    Imam Mahdi
    Iman
    Imsak
    Indonesia
    Islam
    Islam Ilmiah
    Islam Madani
    Isra Mikraj
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Jihad
    Jiwa
    Jumat
    Kafir
    Kajian
    Kaki
    Kang Jalal
    Karbala
    Keadilan
    Kebahagiaan
    Kebangkitan Nasional
    Keluarga
    Kemanusiaan
    Kematian
    Kesehatan
    Khadijah
    Khalifah
    Khotbah Nabi
    Khutbah
    Kisah Sufi
    Kitab
    Kitab Sulaim
    Konflik
    Kurban Kolektif
    Lembah Abu Thalib
    Madrasah
    Makanan
    Malaikat
    Manasik
    Manusia
    Maqtal
    Marhaban
    Marjaiyyah
    Marxisme
    Masjid
    Mawla
    Mazhab
    Media
    Miftah
    Mohammad Hussain Fadhullah
    Mubaligh
    Muhammad Babul Ulum
    Muharram
    Mujtahid
    Mukmin
    Munggahan
    Murid
    Muslim
    Muslimin
    Musuh
    Muthahhari
    Myanmar
    Nabi
    Najaf
    Negara
    Neurotheology
    Nikah
    Nilai Islam
    Nusantara
    Orangtua
    Otak
    Palestina
    Pancasila
    Pandemi
    Pendidikan
    Penyintas
    Perampok
    Pernikahan
    Pesantren
    Politik
    Post Truth
    Pseudosufisme
    Puasa
    Pulang
    Racun
    Rakhnie
    Ramadhan
    Rasulullah
    Revisionis
    Rezeki
    Rindu
    Rumah
    Rumah Tangga
    Sahabat
    Sahur
    Saqifah
    Sastra
    Saudara
    Sayyidah Aminah
    Sayyidah Fatimah
    Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah
    Sejarah
    Sekolah
    Shahibah
    Shalat
    Shalawat
    Sidang Itsbat
    Silaturahmi
    Silsilah
    Sosial
    Spiritual
    Suami
    Suci
    Sufi
    Sunnah
    Sunni
    Surga
    Syahadah
    Syawal
    Syiah
    Tafsir
    Tajil
    Takfirisme
    Taklid
    Tanah
    Tarawih
    Tasawuf
    Tauhid
    Tsaqalayn
    Tuhan
    Ukhuwah
    Ulama
    Umat
    Umrah
    Waliyyul Amri
    Wasiat
    Wiladah
    Yatim
    Zawjah
    Ziarah

    Arsip

    January 2023
    December 2022
    November 2022
    July 2022
    June 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    September 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    May 2020
    March 2020
    January 2020
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    September 2018
    July 2018
    May 2018
    February 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.