Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Dahulu sekali, sewaktu kecil saya punya teman bermain. Ia dibelikan ayahnya seragam superman. Saya masih bisa mengingat saat itu. Untuk beberapa saat, ia menjadi bintang di antara kami. Seragam itu sangat indah, bersamaan dengan dirilisnya film Superman di bioskop tanah air. Cristopher Reeve menjadi pemain yang memerankannya.
Dahulu sekali, sewaktu kecil saya bahagia bertemu kakek. Saya masih ingat ia mengajak saya dan mungkin beberapa orang cucunya menonton film Superman itu. Kami nonton di Bioskop. Yang membuat pengalaman itu istimewa, saya tidak duduk di barisan penonton. Bersama kakek, saya menontonnya dari ruang juru proyektor. Kakek punya akses khusus. Juru proyektor adalah sahabatnya.
Dua pengalaman itu membekas mewarnai masa kecil saya. Masa-masa yang indah. Setiap masa sesudahnya indah pula, tetapi kekayaan ragam perspektif terkadang mengaburkan mata untuk melihatnya. Karenanya, tengoklah sesekali masa tanpa prasangka dan kejernihan berpikir itu.
Saya masih ingat kawan saya mengenakan pakaian Superman itu. Ajaib, saya tidak merasa iri. Saya bahagia dia memilikinya. Bahkan saya dan kawan-kawan yang lain berperan sebagai sidekicknya. Ada pula yang jadi musuh bebuyutannya. Tak ada yang bertanya, mengapa Superman harus dia. Alasannya sederhana. Dia yang punya bajunya.
Hingga datang satu saat. Di tengah kawan yang berkerumun, ia sampaikan ia akan memberikan seragam itu. Lalu ia berkata saya yang akan memperolehnya. Seketika, sukacita membuncah. Katanya, nanti hari h dan jam j, ia akan antarkan seragam itu ke rumah saya.
Dan ketahuilah, hari demi hari, saya tak tenang menunggu. Berharap waktu segera bergulir. Tanggal yang dinanti segera tiba. Saya gelisah. Dan pada saatnya, saya bangun pagi. Membersihkan dan merapikan diri. Lalu berbaring di atas tempat tidur bertingkat yang kami punya. Saya tak sabar menunggu. Berkali-kali saya melihat ke luar jendela, kapan akan datang kawan dengan seragam impian. Ketika pada jam j yang ditentukan, ia ternyata tidak datang, saya masih menyimpan harap itu. Saya masih berbaik sangka, ia mungkin terlambat. Ia pasti akan datang.
Ia tidak pernah datang, hingga mentari terbenam. Saya tidak beranjak dari tempat tidur bertingkat yang dapat membuat saya melihat ke jalanan itu. Saya sabar dalam penantian.
Akhirnya, karena ia tak kunjung datang juga, saya yang mendatanginya. Saya tagih janjinya. Dengan wajah mengiba ia berkata ia tidak diizinkan ayahnya memberikannya. Ayahnya kuatir, kawan-kawannya yang lain akan juga menginginkannya. Ayahnya tidak ingin timbul pertengkaran karenanya. Saya belajar melepaskan apa yang saya inginkan.
Apa yang saya pelajari kini? Dahulu, saya sudah miliki seni penantian itu. Mengapa sekarang saya ingin segalanya serba cepat dipenuhi. Bila meminta tolong orang, ingin segera dibantu. Bila menyeru, ingin segera dijawab. Bila posting sesuatu di laman sosial media ingin segera ditanggapi. Saya kehilangan seni penantian itu.
Baru saja kita ditinggalkan bulan suci Ramadhan. Entah dengan saudara, tetapi saya mulai merasakan kehilangannya. Di bulan suci, ada dorongan tersendiri membaca kitab suci. Kini, saya harus memaksa diri. Setan benar-benar telah lepas dari rantainya. Suara petasan dan kembang api seakan mengiringi kehadirannya untuk kembali mengganggu kita.
Saya harus kembali menanti kehadiran tamu yang abadi itu. Sebaik-baik waktu yang hadir menemani. Sebelas bulan menunggu untuk kesempatan bersua kembali. Akankah usia kita mencukupi? Bila di bulan Ramadhan kita menanti sehari penuh untuk berbuka, lepas dari bulan suci kita menanti sebelas bulan untuk menjemputnya kembali. Di sini seni penantian kita diuji.
Bulan Ramadhan mengajarkan kita seni menunggu. Dan itulah inti dari ajaran Islam: menunggu. God sees the truth but he waits, kata Tolstoy. Ternyata, menunggu adalah seni ilahiah. Tuhan sendiri menunggu. Ia tidak dengan segera menghukum hambaNya. Ia nantikan kepulangan mereka kembali kepadaNya. Seluruh ajaran agama mengajarkan kita sebuah penantian yang sejati. Nabi Adam as menanti untuk kembali ke surga. Nabi Nuh as menanti membangun Bahtera. Nabi Musa as menanti janji Tuhannya. Nabi Ibrahim as menanti pertemuan keluarganya. Bahkan setelah mereka berkurban, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas salaam masih meminta kepasrahan pada Tuhannya: waj’alnaa muslimaini laka. Jadikanlah kami orang yang pasrah kepadaMu. Doa itu diucapkan setelah ujian menyembelih sang putra. Penantian. Agama adalah sebuah penantian.
Nabi Ya’qub as menanti kehadiran buah hatinya. Nabi Isa as diangkat Allah Ta’ala dan menanti kedatangan kedua di akhir zaman. Baginda Nabi Saw…aduhai, betapa Baginda Saw adalah teladan dari siapa saja yang punya penantian. Sejak ia dipisahkan di masa belia dari ibunda, hingga ia dijauhkan dari sanak saudara…hingga kerinduannya pada umat yang tidak pernah berbagi zaman kehadiran dunia bersamanya. Baginda Saw bahkan menegaskan penantian itu ketika beliau bertanya pada kita semua: “Bagaimana kalian semua jika kelak turun Isa putra Maryam di tengah-tengah kalian dan imam kalian dari (tengah-tengah) kalian?” (Shahih Bukhari h. 3193; Shahih Muslim 222, 224; Musnad Ahmad 8077; Shahih Ibn Hibban 213; al-Jami al-Shaghir Suyuthi 299…dan masih banyak lagi). Baginda Saw mempertanyakan dari kita bagaimana kita dalam penantian kehadiran Nabi Isa as dan imam dari tengah-tengah kita itu?
Bukan hanya itu. Sebuah kabar gembira bahkan diabadikan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an. Bila kita ingin bergabung bersama Baginda Saw, belajarlah seni menanti itu. “…maka katakanlah: sesungguhnya yang ghaib itu milik Allah. Karena itu, tunggulah. Sesungguhnya aku bersamamu termasuk di antara para penanti itu.” (QS. Yunus [10]:20).
Begitu tiba fajar hari raya, kita diingatkan kembali tugas penantian itu. Kita memupuknya dengan belajar merindukan dan menanti kehadiran kembali bulan Ramadhan. Untuk apa? Untuk sebuah penantian yang lebih besar. Untuk sebuah penantian terwujudnya sukacita yang dibutuhkan umat manusia.
Lalu bagaimanakah kita selayaknya menunggu? Lihatlah hari-hari seperti sekarang ini. Sanak saudara, orangtua menunggu kehadiran keluarga mereka yang hendak kembali pulang. Seperti saya yang menanti seragam superman itu, mereka juga gelisah. Sesekali menengok begitu mendengar deru suara kendaraan yang lalu lalang. Berharap satu di antaranya membawa keluarga mereka. Jauh sebelum hari yang dijanjikan tiba, mereka siapkan segalanya. Mereka bersihkan rumahnya, mengecat bilik kamar buah hatinya, mempersiapkan kue kesukaan. Tak henti tersenyum membayangkan indahnya pertemuan. Dari mereka, kita belajar seni penantian. Saya bayangkan, begitulah dahulu kakek saya menanti kami setiap lebaran. Segala beban dunia hilang begitu cucu-cucu berlarian memeluk penuh kehangatan. Cucu itu tidak tahu derita yang dihadapi sang kakek. Ketika ia memberi, mengajak kami menonton bioskop di ruang juru proyektor…senyum bahagia tersungging. Sejenak, semua beban tak lagi dihiraukan. Buah dari penantian sudah dipetik bahkan pada saat kita memulai melakukannya.
Saudara, kembalilah ke rumah mereka yang menantikan kehadiran saudara. Bahagiakan mereka. Cium tangan yang mereka angkat dalam doa untuk saudara. Sayyid Radhi, yang mengumpulkan riwayat Amirul Mu’minin as dalam Nahjul Balaghah berkata, ketika ia mengebumikan ibunya ke pusara, “Setelah ini…dengan tangan yang mana akan kutepis bala ujian? Sungguh, ketika tangan ibunda diangkat ke langit, bala ujian ditepiskan dari anak-anak mereka.”
Sebagaimana para ibu yang menanti anak-anaknya kembali dengan doa yang tak pernah berhenti. Seperti itu jugalah tugas kita dalam sebuah penantian yang sejati. Hidup mengajarkan seni menanti. Psikologi dan ilmu pendidikan modern memahami benar pentingnya arti menanti, belajar sabar, antri dan mawas diri. Agama yang baik adalah agama yang mengajarkan seni menanti. Agama yang punya sesuatu yang ditunggu, sebuah janji yang dinanti, sebuah nubuwat yang diharap. Bukan yang memberikan jalan cepat, jalan singkat tanpa usaha yang berat, tanpa gelisah dan angan yang dirawat.
Dahulu sekali, saya diajarkan seni menanti itu. Dimulai dengan belajar puasa, tarawih bersama, hingga menanti hari raya. Lalu tibalah saat sukacita bersama handai taulan. Saya lupa, seharusnya saya menanti hadirnya kembali bulan suci.
Dahulu sekali, saya diajarkan seni menanti itu. Hanya berharap sebuah seragam yang membahagiakan pandang. Saat bertemu kakek dan sanak saudara yang berbagi rezeki lebaran.
Dahulu sekali, saya diajarkan seni menanti itu. Mengapa sekarang tak lagi dapat menahan diri? Bila untuk sukacita sesaat saya rela menanti, mengapa tidak untuk sebuah kebahagiaan yang abadi?
Maka hadirkan selalu penantian pada kehadiran janji yang memberikan semua harapan. Pada kehadiran jawaban dari semua permasalahan. Pada kehadiran kedamaian setelah bumi diliputi ketidakadilan. Pada kehadiran ia yang telah ditentukan. Bila saudara menanti, tidak tahukah saudara, ia menanti lebih lama dari saudara? Bila saudara mengeluh karena beratnya penantian, tidakkah saudara ingat penantian panjang yang ia lakukan?
Hidup adalah sebuah penantian. Bukan menunggu kematian, bukan pula surga atau neraka di akhir perjalanan. Semua itu sebuah kepastian. Melainkan pada cara dan kapan menjemputnya. Penantian yang sejati adalah penantian sebuah janji yang diucapkan. Dan bagaimana saudara mengisi hidup berjuang untuk memenuhinya. Sudahkah saudara ikrarkan janji itu? Lalu apa yang saudara nanti?
Hidup tanpa penantian adalah sebuah gelisah teramat panjang. Sebuah lorong tanpa cahaya di ujung perjalanan.
Menantilah. Dan belajarlah untuk itu. Tunggulah Isa putra Maryam as dan Sang Imam di tengah-tengah kalian itu. Menantilah, dan bergabunglah bersama Sang Nabi Saw di barisan para penanti yang ghaib itu. Menantilah. Dan belajarlah untuk itu.
Saya harus kembali menengok masa itu. Dahulu, dahulu sekali. Saat saya masih sanggup belajar untuk menanti. Kuatkan, wahai Tuhan, hati yang berharap keindahan penantian itu. Hingga saat janji ditunaikan. Hingga tiba saat perjumpaan.
Aduhai…alangah indahnya. Sebatas menunggu saja, air mata mengalir teramat derasnya. Apatah lagi bila disampaikan pada keindahan kesempurnaannya. Dan mata berbinar ceria memandangnya. Tibalah waktu tumpahkan seluruh rindu. Telah berlabuh sampan porak poranda itu. Tangisan bahagia memuncak, yang ada hanya batin bersorak, syukur tak terkira pada Dia. Disampaikan juga dengan perkenannya pada dermaga cinta itu.
Aduhai…sebatas mengharap saja, sudah kulihat keindahannya. Sudah merindu seluruh diri berharap beroleh senyumannya. Berharap beroleh perkenan doanya.
Dan temuilah orangtua dan kerabat, mintakan dari mereka doa. Agar kita dikuatkan dalam penantian itu. Mohon doa saudara untuk Bapak, Mamah, almarhum Bapak mertua, Ibu mertua dan keluarga saya. Semoga doa yang lebih baik terhatur untuk orang terkasih dari keluarga saudara. Hari ini kami mudik, hendak belajar seni menanti itu. Dari mereka yang menanti kami datang. Dari mereka yang menanti kami kembali. Ayah saya memberi saya amplop putih. Di atasnya tertulis sebuah doa. Saya gunting kalimat itu. Saya simpan rapi. Saya tempatkan ia bersama barang berharga yang saya punya. Bukan, bukan duit atau kemewahan. Melainkan oleh-oleh dari berbagai perjalanan. Saya berharap benar doa ayahanda yang dituliskan itu. Dan saya akan senantiasa menantikan jawaban dari doa itu.
Ayahanda menulis, dan oh…terima kasihku tak terhingga untuk itu. Sebuah kalimat singkat, tetapi rela kutukar dengan dunia dan isinya. Kalimat itu berbunyi: “Juzitum ‘an Ahlil Bait ‘alaihimus salaam khairan katsiran…” Ya Allah…Juzitum ‘an Ahlil Bait ‘alaihimus salaam khairan katsiran.
Untukmu juga ayahanda, kau jauh lebih layak untuk itu. Untukmu juga ibunda. Untuk setiap ayah dan ibu kita. Juzitum ‘an Ahlil Bait ‘alaihimus salaam khairan katsiran. Semoga keluarga suci Rasulullah Saw memberikan untukmu sebaik-baiknya ganjaran dan balasan. Tiada lagi yang lebih indah untuk dinantikan. Tiada lagi yang lebih baik untuk diharapkan. Cinta, adalah tujuan tersempurna sebuah penantian.
Pada akhirnya adalah cinta menjadi suara di balik setiap penantian. Di mana ada cinta, di situ ada penantian. Adalah cinta. Adalah cinta.[]
@miftahrakhmat