Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

Adalah Cinta

26/5/2018

0 Comments

 
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
 
Dahulu sekali, sewaktu kecil saya punya teman bermain. Ia dibelikan ayahnya seragam superman. Saya masih bisa mengingat saat itu. Untuk beberapa saat, ia menjadi bintang di antara kami. Seragam itu sangat indah, bersamaan dengan dirilisnya film Superman di bioskop tanah air. Cristopher Reeve menjadi pemain yang memerankannya. 
​
 
Dahulu sekali, sewaktu kecil saya bahagia bertemu kakek. Saya masih ingat ia mengajak saya dan mungkin beberapa orang cucunya menonton film Superman itu. Kami nonton di Bioskop. Yang membuat pengalaman itu istimewa, saya tidak duduk di barisan penonton. Bersama kakek, saya menontonnya dari ruang juru proyektor. Kakek punya akses khusus. Juru proyektor adalah sahabatnya.
 
Dua pengalaman itu membekas mewarnai masa kecil saya. Masa-masa yang indah. Setiap masa sesudahnya indah pula, tetapi kekayaan ragam perspektif terkadang mengaburkan mata untuk melihatnya. Karenanya, tengoklah sesekali masa tanpa prasangka dan kejernihan berpikir itu. 
 
Saya masih ingat kawan saya mengenakan pakaian Superman itu. Ajaib, saya tidak merasa iri. Saya bahagia dia memilikinya. Bahkan saya dan kawan-kawan yang lain berperan sebagai sidekicknya. Ada pula yang jadi musuh bebuyutannya. Tak ada yang bertanya, mengapa Superman harus dia. Alasannya sederhana. Dia yang punya bajunya. 
 
Hingga datang satu saat. Di tengah kawan yang berkerumun, ia sampaikan ia akan memberikan seragam itu. Lalu ia berkata saya yang akan memperolehnya. Seketika, sukacita membuncah. Katanya, nanti hari h dan jam j, ia akan antarkan seragam itu ke rumah saya. 
 
Dan ketahuilah, hari demi hari, saya tak tenang menunggu. Berharap waktu segera bergulir. Tanggal yang dinanti segera tiba. Saya gelisah. Dan pada saatnya, saya bangun pagi. Membersihkan dan merapikan diri. Lalu berbaring di atas tempat tidur bertingkat yang kami punya. Saya tak sabar menunggu. Berkali-kali saya melihat ke luar jendela, kapan akan datang kawan dengan seragam impian. Ketika pada jam j yang ditentukan, ia ternyata tidak datang, saya masih menyimpan harap itu. Saya masih berbaik sangka, ia mungkin terlambat. Ia pasti akan datang.
 
Ia tidak pernah datang, hingga mentari terbenam. Saya tidak beranjak dari tempat tidur bertingkat yang dapat membuat saya melihat ke jalanan itu. Saya sabar dalam penantian. 
 
Akhirnya, karena ia tak kunjung datang juga, saya yang mendatanginya. Saya tagih janjinya. Dengan wajah mengiba ia berkata ia tidak diizinkan ayahnya memberikannya. Ayahnya kuatir, kawan-kawannya yang lain akan juga menginginkannya. Ayahnya tidak ingin timbul pertengkaran karenanya. Saya belajar melepaskan apa yang saya inginkan.
 
Apa yang saya pelajari kini? Dahulu, saya sudah miliki seni penantian itu. Mengapa sekarang saya ingin segalanya serba cepat dipenuhi. Bila meminta tolong orang, ingin segera dibantu. Bila menyeru, ingin segera dijawab. Bila posting sesuatu di laman sosial media ingin segera ditanggapi. Saya kehilangan seni penantian itu. 
 
Baru saja kita ditinggalkan bulan suci Ramadhan. Entah dengan saudara, tetapi saya mulai merasakan kehilangannya. Di bulan suci, ada dorongan tersendiri membaca kitab suci. Kini, saya harus memaksa diri. Setan benar-benar telah lepas dari rantainya. Suara petasan dan kembang api seakan mengiringi kehadirannya untuk kembali mengganggu kita. 
 
Saya harus kembali menanti kehadiran tamu yang abadi itu. Sebaik-baik waktu yang hadir menemani. Sebelas bulan menunggu untuk kesempatan bersua kembali. Akankah usia kita mencukupi? Bila di bulan Ramadhan kita menanti sehari penuh untuk berbuka, lepas dari bulan suci kita menanti sebelas bulan untuk menjemputnya kembali. Di sini seni penantian kita diuji. 
 
Bulan Ramadhan mengajarkan kita seni menunggu. Dan itulah inti dari ajaran Islam: menunggu. God sees the truth but he waits, kata Tolstoy. Ternyata, menunggu adalah seni ilahiah. Tuhan sendiri menunggu. Ia tidak dengan segera menghukum hambaNya. Ia nantikan kepulangan mereka kembali kepadaNya. Seluruh ajaran agama mengajarkan kita sebuah penantian yang sejati. Nabi Adam as menanti untuk kembali ke surga. Nabi Nuh as menanti membangun Bahtera. Nabi Musa as menanti janji Tuhannya. Nabi Ibrahim as menanti pertemuan keluarganya. Bahkan setelah mereka berkurban, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas salaam masih meminta kepasrahan pada Tuhannya: waj’alnaa muslimaini laka. Jadikanlah kami orang yang pasrah kepadaMu. Doa itu diucapkan setelah ujian menyembelih sang putra. Penantian. Agama adalah sebuah penantian. 
 
Nabi Ya’qub as menanti kehadiran buah hatinya. Nabi Isa as diangkat Allah Ta’ala dan menanti kedatangan kedua di akhir zaman. Baginda Nabi Saw…aduhai, betapa Baginda Saw adalah teladan dari siapa saja yang punya penantian. Sejak ia dipisahkan di masa belia dari ibunda, hingga ia dijauhkan dari sanak saudara…hingga kerinduannya pada umat yang tidak pernah berbagi zaman kehadiran dunia bersamanya. Baginda Saw bahkan menegaskan penantian itu ketika beliau bertanya pada kita semua: “Bagaimana kalian semua jika kelak turun Isa putra Maryam di tengah-tengah kalian dan imam kalian dari (tengah-tengah) kalian?” (Shahih Bukhari h. 3193; Shahih Muslim 222, 224; Musnad Ahmad 8077; Shahih Ibn Hibban 213; al-Jami al-Shaghir Suyuthi 299…dan masih banyak lagi). Baginda Saw mempertanyakan dari kita bagaimana kita dalam penantian kehadiran Nabi Isa as dan imam dari tengah-tengah kita itu?
 
Bukan hanya itu. Sebuah kabar gembira bahkan diabadikan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an. Bila kita ingin bergabung bersama Baginda Saw, belajarlah seni menanti itu. “…maka katakanlah: sesungguhnya yang ghaib itu milik Allah. Karena itu, tunggulah. Sesungguhnya aku bersamamu termasuk di antara para penanti itu.” (QS. Yunus [10]:20). 
 
Begitu tiba fajar hari raya, kita diingatkan kembali tugas penantian itu. Kita memupuknya dengan belajar merindukan dan menanti kehadiran kembali bulan Ramadhan. Untuk apa? Untuk sebuah penantian yang lebih besar. Untuk sebuah penantian terwujudnya sukacita yang dibutuhkan umat manusia.
 
Lalu bagaimanakah kita selayaknya menunggu? Lihatlah hari-hari seperti sekarang ini. Sanak saudara, orangtua menunggu kehadiran keluarga mereka yang hendak kembali pulang. Seperti saya yang menanti seragam superman itu, mereka juga gelisah. Sesekali menengok begitu mendengar deru suara kendaraan yang lalu lalang. Berharap satu di antaranya membawa keluarga mereka. Jauh sebelum hari yang dijanjikan tiba, mereka siapkan segalanya. Mereka bersihkan rumahnya, mengecat bilik kamar buah hatinya, mempersiapkan kue kesukaan. Tak henti tersenyum membayangkan indahnya pertemuan. Dari mereka, kita belajar seni penantian. Saya bayangkan, begitulah dahulu kakek saya menanti kami setiap lebaran. Segala beban dunia hilang begitu cucu-cucu berlarian memeluk penuh kehangatan. Cucu itu tidak tahu derita yang dihadapi sang kakek. Ketika ia memberi, mengajak kami menonton bioskop di ruang juru proyektor…senyum bahagia tersungging. Sejenak, semua beban tak lagi dihiraukan. Buah dari penantian sudah dipetik bahkan pada saat kita memulai melakukannya.
 
Saudara, kembalilah ke rumah mereka yang menantikan kehadiran saudara. Bahagiakan mereka. Cium tangan yang mereka angkat dalam doa untuk saudara. Sayyid Radhi, yang mengumpulkan riwayat Amirul Mu’minin as dalam Nahjul Balaghah berkata, ketika ia mengebumikan ibunya ke pusara, “Setelah ini…dengan tangan yang mana akan kutepis bala ujian? Sungguh, ketika tangan ibunda diangkat ke langit, bala ujian ditepiskan dari anak-anak mereka.” 
 
Sebagaimana para ibu yang menanti anak-anaknya kembali dengan doa yang tak pernah berhenti. Seperti itu jugalah tugas kita dalam sebuah penantian yang sejati. Hidup mengajarkan seni menanti. Psikologi dan ilmu pendidikan modern memahami benar pentingnya arti menanti, belajar sabar, antri dan mawas diri. Agama yang baik adalah agama yang mengajarkan seni menanti. Agama yang punya sesuatu yang ditunggu, sebuah janji yang dinanti, sebuah nubuwat yang diharap. Bukan yang memberikan jalan cepat, jalan singkat tanpa usaha yang berat, tanpa gelisah dan angan yang dirawat.
 
Dahulu sekali, saya diajarkan seni menanti itu. Dimulai dengan belajar puasa, tarawih bersama, hingga menanti hari raya. Lalu tibalah saat sukacita bersama handai taulan. Saya lupa, seharusnya saya menanti hadirnya kembali bulan suci.
 
Dahulu sekali, saya diajarkan seni menanti itu. Hanya berharap sebuah seragam yang membahagiakan pandang. Saat bertemu kakek dan sanak saudara yang berbagi rezeki lebaran. 
 
Dahulu sekali, saya diajarkan seni menanti itu. Mengapa sekarang tak lagi dapat menahan diri? Bila untuk sukacita sesaat saya rela menanti, mengapa tidak untuk sebuah kebahagiaan yang abadi?
 
Maka hadirkan selalu penantian pada kehadiran janji yang memberikan semua harapan. Pada kehadiran jawaban dari semua permasalahan. Pada kehadiran kedamaian setelah bumi diliputi ketidakadilan. Pada kehadiran ia yang telah ditentukan. Bila saudara menanti, tidak tahukah saudara, ia menanti lebih lama dari saudara? Bila saudara mengeluh karena beratnya penantian, tidakkah saudara ingat penantian panjang yang ia lakukan?
 
Hidup adalah sebuah penantian. Bukan menunggu kematian, bukan pula surga atau neraka di akhir perjalanan. Semua itu sebuah kepastian. Melainkan pada cara dan kapan menjemputnya. Penantian yang sejati adalah penantian sebuah janji yang diucapkan. Dan bagaimana saudara mengisi hidup berjuang untuk memenuhinya. Sudahkah saudara ikrarkan janji itu? Lalu apa yang saudara nanti?
 
Hidup tanpa penantian adalah sebuah gelisah teramat panjang. Sebuah lorong tanpa cahaya di ujung perjalanan.
 
Menantilah. Dan belajarlah untuk itu. Tunggulah Isa putra Maryam as dan Sang Imam di tengah-tengah kalian itu. Menantilah, dan bergabunglah bersama Sang Nabi Saw di barisan para penanti yang ghaib itu. Menantilah. Dan belajarlah untuk itu.
 
Saya harus kembali menengok masa itu. Dahulu, dahulu sekali. Saat saya masih sanggup belajar untuk menanti. Kuatkan, wahai Tuhan, hati yang berharap keindahan penantian itu. Hingga saat janji ditunaikan. Hingga tiba saat perjumpaan.
 
Aduhai…alangah indahnya. Sebatas menunggu saja, air mata mengalir teramat derasnya. Apatah lagi bila disampaikan pada keindahan kesempurnaannya. Dan mata berbinar ceria memandangnya. Tibalah waktu tumpahkan seluruh rindu. Telah berlabuh sampan porak poranda itu. Tangisan bahagia memuncak, yang ada hanya batin bersorak, syukur tak terkira pada Dia. Disampaikan juga dengan perkenannya pada dermaga cinta itu.
 
Aduhai…sebatas mengharap saja, sudah kulihat keindahannya. Sudah merindu seluruh diri berharap beroleh senyumannya. Berharap beroleh perkenan doanya. 
 
Dan temuilah orangtua dan kerabat, mintakan dari mereka doa. Agar kita dikuatkan dalam penantian itu. Mohon doa saudara untuk Bapak, Mamah, almarhum Bapak mertua, Ibu mertua dan keluarga saya. Semoga doa yang lebih baik terhatur untuk orang terkasih dari keluarga saudara. Hari ini kami mudik, hendak belajar seni menanti itu. Dari mereka yang menanti kami datang. Dari mereka yang menanti kami kembali. Ayah saya memberi saya amplop putih. Di atasnya tertulis sebuah doa. Saya gunting kalimat itu. Saya simpan rapi. Saya tempatkan ia bersama barang berharga yang saya punya. Bukan, bukan duit atau kemewahan. Melainkan oleh-oleh dari berbagai perjalanan. Saya berharap benar doa ayahanda yang dituliskan itu. Dan saya akan senantiasa menantikan jawaban dari doa itu.
 
Ayahanda menulis, dan oh…terima kasihku tak terhingga untuk itu. Sebuah kalimat singkat, tetapi rela kutukar dengan dunia dan isinya. Kalimat itu berbunyi: “Juzitum ‘an Ahlil Bait ‘alaihimus salaam khairan katsiran…” Ya Allah…Juzitum ‘an Ahlil Bait ‘alaihimus salaam khairan katsiran.
 
Untukmu juga ayahanda, kau jauh lebih layak untuk itu. Untukmu juga ibunda. Untuk setiap ayah dan ibu kita. Juzitum ‘an Ahlil Bait ‘alaihimus salaam khairan katsiran. Semoga keluarga suci Rasulullah Saw memberikan untukmu sebaik-baiknya ganjaran dan balasan. Tiada lagi yang lebih indah untuk dinantikan. Tiada lagi yang lebih baik untuk diharapkan. Cinta, adalah tujuan tersempurna sebuah penantian.
 
Pada akhirnya adalah cinta menjadi suara di balik setiap penantian. Di mana ada cinta, di situ ada penantian. Adalah cinta. Adalah cinta.[]
 
@miftahrakhmat
 

0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.”
    ​
    ​ 
    (HR Al-Hakim dan Al-Thabrani)
    ​


    Picture

    Tema

    All
    Abu Nawas
    Adam
    Agama
    Ahlulbait
    Akal
    Akhlak
    Albirr
    Al-Husayn
    Ali Bin Abi Thalib
    Ali Bin Abu Thalib
    Al-Mizan
    Alquran
    Anak
    Arafah
    Arbain Walk
    Asep Salahudin
    Asyura
    Babul
    Bahasa
    Bahjah
    Bahlul
    Bangsa
    Barzakh
    Berkah
    Bicara
    Bidadari
    Bubur Suro
    Bukhari
    Buku
    Bulan Suci
    Cerita
    Cinta
    Covid 19
    Covid-19
    Depresi
    Doa
    Dogma
    Dosa
    Dua Belas Imam
    Dunia
    Emas
    Empati
    Epistemologi
    Fatwa
    Fidyah
    Fikih
    Filsafat
    Gaya Menulis
    Gender
    Gereja
    Ghuraba
    Globalisasi
    Guru
    Hadis
    Haji
    Happy Birthday
    Hari Anak Nasional
    Hasan
    Hasan Bashri
    Hermeneutika
    Hitler
    Husain
    Ibadah
    Identitas Arab Itu Ilusi
    Ideologi
    Idul Fitri
    Ihsan
    IJABI
    Ilmu
    Ilmu Kalam
    Imam
    Imam Ali
    Imam Ali Zainal Abidin
    Imam Husain
    Imam Mahdi
    Iman
    Imsak
    Indonesia
    Islam
    Islam Ilmiah
    Islam Madani
    Isra Mikraj
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Jihad
    Jiwa
    Jumat
    Kafir
    Kajian
    Kaki
    Kang Jalal
    Karbala
    Keadilan
    Kebahagiaan
    Kebangkitan Nasional
    Keluarga
    Kemanusiaan
    Kematian
    Kesehatan
    Khadijah
    Khalifah
    Khotbah Nabi
    Khutbah
    Kisah Sufi
    Kitab
    Kitab Sulaim
    Konflik
    Kurban Kolektif
    Lembah Abu Thalib
    Madrasah
    Makanan
    Malaikat
    Manasik
    Manusia
    Maqtal
    Marhaban
    Marjaiyyah
    Marxisme
    Masjid
    Mawla
    Mazhab
    Media
    Miftah
    Mohammad Hussain Fadhullah
    Mubaligh
    Muhammad Babul Ulum
    Muharram
    Mujtahid
    Mukmin
    Munggahan
    Murid
    Muslim
    Muslimin
    Musuh
    Muthahhari
    Myanmar
    Nabi
    Najaf
    Negara
    Neurotheology
    Nikah
    Nilai Islam
    Nusantara
    Orangtua
    Otak
    Palestina
    Pancasila
    Pandemi
    Pendidikan
    Penyintas
    Perampok
    Pernikahan
    Pesantren
    Politik
    Post Truth
    Pseudosufisme
    Puasa
    Pulang
    Racun
    Rakhnie
    Ramadhan
    Rasulullah
    Revisionis
    Rezeki
    Rindu
    Rumah
    Rumah Tangga
    Sahabat
    Sahur
    Saqifah
    Sastra
    Saudara
    Sayyidah Aminah
    Sayyidah Fatimah
    Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah
    Sejarah
    Sekolah
    Shahibah
    Shalat
    Shalawat
    Sidang Itsbat
    Silaturahmi
    Silsilah
    Sosial
    Spiritual
    Suami
    Suci
    Sufi
    Sunnah
    Sunni
    Surga
    Syahadah
    Syawal
    Syiah
    Tafsir
    Tajil
    Takfirisme
    Taklid
    Tanah
    Tarawih
    Tasawuf
    Tauhid
    Tsaqalayn
    Tuhan
    Ukhuwah
    Ulama
    Umat
    Umrah
    Waliyyul Amri
    Wasiat
    Wiladah
    Yatim
    Zawjah
    Ziarah

    Arsip

    January 2023
    December 2022
    November 2022
    July 2022
    June 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    September 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    May 2020
    March 2020
    January 2020
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    September 2018
    July 2018
    May 2018
    February 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.