untuk terakhir kalinya
Serban basah membalut kepalamu
Demam panas mengguncang tubuhmu
Pucat-pasi wajahmu
Tapi masih juga tersungging senyummu
di mimbar ini selamanya
Aku harus penuhi tuntutan
Yang tidak bisa digantikan siapa pun
Siapa yang pernah kucambuk punggungnya
Inilah punggungku, cambuklah
Siapa yang pernah kuambil hartanya
Inilah hartaku, ambillah
Siapa yang aku runtuhkan kehormatannya
Inilah diriku, kecamlah
Jangan bilang: Aku takut dimusuhi Rasul Allah
Karena permusuhan bukan akhlakku
Orang yang paling aku cintai…..
Ialah….. orang yang mengambil haknya dariku
Atau menghalalkannya untukku
Sehingga aku dapat berjumpa dengan Tuhanku
Tanpa berbuat zalim kepada sesamaku”
Serak dan parau suaramu
Tapi masih juga tersungging senyummu
“Saudara-saudara…
Adakah di antaramu yang merasakan keburukan dirinya
Berdirilah, katakanlah, dan akan kudoakan kamu.”
Pada hari-hari terakhirmu
Kautawarkan anugerah besar dari hidupmu
Doa yang menyempurnakan misimu
Seorang sahabat meloncat
Ingin ia rebahkan dirinya di bawah kakimu
Ingin ia basuh telapak kakimu dengan air matanya
Tapi kau berkata:
“Berdirilah, katakanlah, dan akan kudoakan kamu.”
Perlahan ia berdiri, tanpa berani memandang wajahmu
Ia malu tetapi ia juga bahagia
Malu dengan onggokan keburukan dirinya
Bahagia dengan tawaran kasih Nabiyyur Rahmah
Lidahnya bergetar, tetapi suaranya tidak keluar
Dan meledaklah tangisan, dalam sesal dan harapan
“Ya Rasul Allah, aku….. MUNAFIK, aku….. PEMBOHONG…..
Aku tukang maksiat…..”
Kauangkat tanganmu:
“Ya Allah anugerahkan kepadanya ketulusan dan keimanan
Jauhkan dia dari segala keburukan.”
Duhai, anugerah besar apalagi dari seorang Manusia Suci
Selain doa buat kesucian diri
Tetes-tets air mata mengalir
Bersama getaran doamu
Hampir habis kekuatanmu
Tapi masih juga tersungging senyummu
Kau duduk di mimbar itu
untuk terakhir kalinya
Serban basah membalut kepalamu
Demam panas mengguncang tubuhmu
Pucat-pasi wajahmu
Tapi masih juga tersungging senyummu
“Tuntutlah aku
untuk setiap kezalimanku kepada kalian.”
Ya Nabiyyar Rahmah, pernah datang ke rumahmu
Seorang Yahudi debt collector penagih utang
Di depan pintu rumahmu, ia berteriak lantang
“Hai anak Abdul Muthalib, utangmu bayarlah
Kalian sudah terkenal sebagai penunggak yang parah”
Kaubayarkan utangmu dan kaulebihkan sukatannya
“Izinkan daku menghajar Yahudi yang kurang ajar”, kata sahabatmu
“Tidak. Aku harus berterima kasih kepadanya. Ia ingatkan utang-utangku
Karena itu aku lebihkan pembayarannya.”
Waktu itu, selalu, kausinggungkan senyum di wajahmu!
Kini pada detik-detik terakhir hidupmu
Seorang lelaki berdiri menagih utangmu
“Kau berutang padaku tiga dirham, ya Rasul Allah.”
Kauminta bukti dengan suara selembut sutra,
“Saudaraku, aku tidak pernah berkata dusta
atau melanggar janji….. bilakah itu terjadi?”
“Tidakkah engkau ingat, ketika seorang pengemis lewat
Kausuruh aku memberi dia tiga dirham
Aku bayarkan dia sebagai utangmu padaku.”
Kau tersenyum lagi
Kau tampak bahagia menyaksikan keberanian umatmu
Atau karena mereka tahu limpahan kasihmu
“Tuntutlah aku
untuk setiap kezalimanku kepada kalian”
Dari barisan paling ujung
Sawadah bin Qais, orang kampung, menyeruak terhuyung
“Ya Rasul Allah, dahulu kaupukul perutku dengan cambukmu
Kini aku ingin menuntut qishash atasmu.”
Ia berkata kepada Bilal, “Bawakan cambuk itu
Biarkan Sawadah menuntut balas atasku.”
Beginilah perpisahanmu, ya Nabiyyah Rahmah
Dalam gejolak geram hati para pecintamu
Dalam luapan amarah karena ulah Sawadah yang tanpa malu
Setega itulah sahabat memperlakukanmu yang santun dan pengasih
Yang kini diterpa demam, demam terakhir Nabi terkasih
Dengan tanganmu yang mulia kauserahkan cemeti
Seakan waktu berhenti, kami tunggu apa yang akan terjadi
Dengan suara gemetar, Sawadah membungkuk dan meletakkan cemeti
“Ya Rasul Allah, bukakan perutmu yang mulia!”
Seakan seluruh alam semesta termangu
Detik demi detik berjalan lambat
Perlahan-lahan Kekasih Tuhan menyingkapkan perutnya
Sawadah mengangkat kepalanya
Menatap wajah indah itu terakhir kalinya
“Perkenankan aku, ya Rasul Allah, meletakkan mulutku
pada perutmu yang mulia!”
“Na’am,” suaramu lirih
Duhai bahagianya Sawadah
Ia merapatkan mukanya ke perut Nabi dan menciuminya
Dan airmatanya mengalir tanpa henti
“Aku berlindung kepada Allah dari api neraka
dalam lindungan tempat qishash al-Musthafa.”
“Apakah kau sudah memaafkan aku, ya Sawadah”, suaramu lirih
“Sudah ya Rasul Allah, sudah!”
“Terima kasih Sawadah”,
Lalu kauangkat tanganmu:
“Ya Allah, ampuni Sawadah, karena ia telah memaafkan NabiMu!”
Wajahmu makin pucat
Tapi senyummu makin indah
(Karya Ustadz Jalaluddin Rakhmat yang dibacakan oleh beliau pada acara Haul (Syahadah) Baginda Nabi saw. Imam Hasan as dan Imam Ali Ridha as di Aula Muthahhari, 19 November 2017).