Pemalsuan hadis terjadi sejak dini, bahkan semasa hidup Nabi Muhammad saw. Sepeninggal Nabi pemalsuan semakin menjadi. Karena motif politik sahabat yang berkuasa sepeninggal Nabi membuat hadis yang berbeda dengan hadis Nabi.
Dengan dukungan struktur dan infrastruktur kekuasaan yang dimiliki hadis-hadis tersebut disebarkan secara terstruktur, sistematis, dan masif sehingga menjadi ideologi negara yang haram diganggu gugat.
Hadis yang mendukung penguasa diterima, perawinya diapresiasi. Sedangkan hadis yang mendukung oposisi ditolak, perawinya dipersekusi. Seorang rawi semakin dekat dengan penguasa semakin tinggi penilaian kualitas hadis yang dibawa. Semakin dekat dengan oposisi semakin rendah penilaian kualitas hadis yang diterima.
Para sahabat yang berkuasa sepeninggal Nabi melarang penulisan hadis Nabi. Hadis-hadis yang sudah terlanjur ditulis dibakar. Hadis-hadis tersebut terkait keutamaan Ali sebagai washi Nabi. Kelompok Quraisy enggan menerima keputusan Nabi.
Dengan bantuan Yahudi disusun strategi untuk menjauhkan Ali dari posisi washi. Otoritas Ali dieliminasi, otoritas sahabat dijadikan tradisi. Hadis Nabi dilarang ditulis, hadis sahabat terus dirilis. Hadis keutamaan Ali dilarang beredar, hadis keutamaan sahabat selalu diumbar.
Para pendukung Ali dipersekusi, para pendukung sahabat diapresiasi. Sabda Nabi tentang Ali dimutilasi, sabda Nabi tentang sahabat dibumbui menjadi al-Mu'awiyat yang wajib diyakini.
Seiring perjalanan waktu para pendukung Ali disebut Syi'ah, para pendukung sahabat disebut Sunni. Relasi keduanya seringkali digambarkan berdarah-darah. Padahal Ali meski secara de jure tidak menjadi khalifah, tapi secara de facto tetap tampil sebagai Imam pengembala umat. Al-Khilafah yang ada pada tiga sahabat sebelumnya adalah jabatan politik, sedangkan al-Imamah adalah jabatan Tuhan yang inheren kepada Ali. Dalam konteks seperti ini, Ali dan sahabat Nabi dapat bersatu dalam perbedaan.
Karena itu, untuk menyelesaikan persoalan akut antara Sunni dan Syi'ah urusan politik harus dijauhkan dalam relasi keduanya. Politisasi Sunni atau vise versa yang seringkali dibenturkan dengan Syi'ah harus dicegah.
Abstrak Disertasi
Aliansi politik menentukan kriteria penilaian hadis. Kesahihan dan kedaifan hadis ditentukan oleh keberpihakannya pada penguasa. Hadis yang mendukung penguasa cenderung diterima, perawinya diapresiasi. Hadis yang mendukung oposisi cenderung ditolak, perawinya dipersekusi. Seorang rawi semakin dekat dengan penguasa cenderung semakin tinggi penilaian kualitas hadis yang diterima. Semakin dekat dengan oposisi cenderung semakin rendah penilaian kualitas hadis yang dibawa.
Disertasi ini mendukung pendapat yang menyebut pemalsuan hadis terjadi sejak dini bahkan di masa hidup Nabi. Karena motif politik sahabat yang berkuasa membuat hadis yang berbeda dengan hadis Nabi.
Dengan dukungan struktur dan infrastruktur kekuasaan yang dimiliki hadis-hadis tersebut disebarkan secara terstruktur, sistematis, dan masif sehingga menjadi ideologi negara yang haram diganggu gugat. Kesimpulan ini sejalan dengan pendapat mayoritas sarjana Barat dan sarjana Islam non mainstream. Seperti Herbert Berg, Maya Yazigi, Avraham Hakim, Asma Afsaruddin, Mahmud Abu Rayyah, Kamaruddin Amin, dan Fuad Jabali.
Sebaliknya, mayoritas sarjana Islam menolak pendapat tersebut. Sahabat diasumsikan memiliki ketakwaan tingkat tinggi yang memustahilkan mereka bahkan untuk sekedar berfikir berbuat dosa. Dan dusta dengan mengatasnamakan Nabi dosa besar yang pasti dijauhi. Tuduhan sahabat memalsukan hadis adalah a historis.Pendapat ini dianut oleh mainstream sarjana Islam. Di antaranya Israr Khan, Azami, Mustafa al-Siba`i, dan 'Ajaj al-Khatib.
Disertasi ini berhasil membuktikan hadis-hadis palsu tentang keutamaan sahabat yang yang dibuat atas pesanan Mu'awiyah ibn Abi Sufyan yang oleh sebab itu disebut dengan al-Mu'awiyat.
Sumber utama penelitian ini adalah Kitab Fadha`il al-Sahabah Ibn Hanbal, Khasa`is Amir al-Mu`min al-Nasa`i, al-Sahih min Sirat al-Nabi al-'A'zam Ja'far Murtaza al-'Amili, Sharh Nahj al-Balaghah Ibn Abi al-Hadid al-Mu'tazili, dan Kitab Sulaim ibn Qays al-Hilali. Data yang diperoleh dalam sumber di atas dibaca dengan metode gabungan antara (1) Metode Takhrij yang dipakai untuk mengetahui kualitas sanad; dan (2) Metode sosio historis yang dipakai untuk membaca matan hadis.[]
Profil
Dr. H. Muhammad Babul Ulum, M.Ag, merupakan Anggota Dewan Syura IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia). Ustadz Babul menyelesaikan pendidikan S1 jurusan perbandingan mazhab dan hukum di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, S2 studi hadis Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan S3 studi hadis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Karya tulis berupa buku yang sudah terbit antara lain: Memahami Syiah, Merajut Ukhuwah (Penerbit Marja, 2008), Kesesatan Sunni Syiah (Penerbit Aksara, 2013), Polemik Sunni Syiah: Jawaban atas Kesalahan-kesalahan Prof. Dr. Maman Abdurrahman (Penerbit Jembar, 2014), dan menerjemahkan buku-buku karya Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah dan Abu Hamid Al-Ghazali. Juga telah menerjemahkan buku Dahulukan Akhlaq di Atas Fiqih karya Jalaluddin Rakhmat dalam Bahasa Arab yang terbit di Irak.
Ustadz Babul juga mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, Jakarta, dan kini menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Pembinaan Ilmu-ilmu Islam (LPII) Muthahhari, Bandung.