Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
WORDS DON'T MEAN. PEOPLE MEAN
-Korzybski-
Ah, Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan manusia. Mengajarkannya pandai berbicara. Demikian ayat-ayat pembuka Surat al-Rahman mengingatkan kita.
Kata tidak bermakna, kita yang memberikannya.
Cerita itu erat kaitannya dengan jati diri kita. Cerita itu membangun pohon keberadaan kita. Menarik bahwa leluhur kita terdahulu memilih kata ‘sejarah’ untuk menyebutkan rangkaian kisah di masa lalu itu. Ia diambil dari Bahasa Arab: syajarah, yang artinya pohon. Padahal dunia Arab (dan Islam) memilih kata lain untuk itu: tarikh. Yang artinya penanggalan.
Mengapa sejarah menjadi pohon keberadaan kita? Ibarat pohon, kita tumbuh. Arah tumbuh kita ditentukan oleh dongeng. Dan dongeng disusun oleh kata-kata. Kata-kata dapat diberi makna yang berbeda.
“Kini saatnya jadi tuan rumah di negeri sendiri.” Kata-kata. Tapi di baliknya ada dongeng teramat panjangnya. Baik sebelum maupun sesudahnya.
Perhatikan kekuatan kata-kata itu. “Kini saatnya,” artinya sekarang, hari ini, kali ini, tepat waktu ini, bukan setahun lalu, kemarin, bahkan bukan sejam yang lalu. “Jadi tuan rumah” berarti sebelumnya (mungkin) tamu, atau sekadar menyewa, atau ‘numpang’ saja. Artinya, bukan pemilik rumah. Tidak bisa seenaknya berlaku ini dan itu di rumah bukan punya sendiri. Itulah makna. Tapi benarkah yang dimaksud demikian? Bukankah ‘tamu’ juga bisa berarti baik. Tak selalu tamu itu buruk, bukan? Bahkan menurut riwayat, tamu mendatangkan keberkahan. “Di negeri sendiri.” Kalimat ini menegaskan kepemilikan. Ini tanahku, bukan tanahmu. Ini wilayahku, bukan wilayah selainku.
Tapi itu semua pemaknaan. Tak ada satu makna tunggal. Inilah the Semantic Triangle yang terkenal sejak hampir seratus tahun lalu itu: simbol, definisi, dan makna. Umberto Eco kelak menyoalnya karena menganggapnya terlalu simplistis.
Setiap kita terhubung dengan makna yang membentuk diri kita. Maka perdebatan tanpa akhir akan mewarnai dua kubu. Masing-masing punya dongeng yang membentuk mereka. Masing-masing punya ‘sejarah’ yang membentuk pohon keberadaan mereka. Akan susah sekali ditengahi. Apalagi bila sudah ada kepentingan tersembunyi. Mari sudahi. Mari mulai membangun negeri. Apa artinya sebelumnya tidak membangun? Lagi-lagi kata-kata.
Bila orang Perancis mengatakan, “Katakan apa yang kaumakan, akan kukatakan siapa engkau.” Maka kita bisa berkata, “Katakan sesuatu, akan kukatakan siapa engkau.”
“Apa Bapak akan menerima keluhan warga seperti biasa?”
“Tentu saja, bahkan bukan hanya saya, tapi seluruh jajaran akan disiapkan untuk menerima keluhan warga. Supaya mereka tidak perlu repot-repot datang ke Balaikota.”
Lihat bagaimana saya memberi cetak miring pada kalimat di atas. Bagaimana makna bisa dipilih, “berarti selama ini warga repot karena datang ke Balaikota. Berarti kalau menerima warga itu artinya merepotkan dan menyusahkan mereka” Makna itu bisa luas sekali. Bisa juga berarti: tak perlu ke Balaikota bila kantor pemerintah terdekat bisa melayani mereka.
Ah, Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan manusia, dan mengajarkannya pandai berbicara. Dunia terasa indah bukan? Ya, bila kata dan makna lahir dari kesempurnaan jiwa.
Saya percaya: apa yang datang dari hati akan sampai ke hati pula. Karenanya, bila (sumber) hatinya sehat, akan menyehatkan pula. Dan bila (di) hatinya ada rasa sakit, kata-katanya akan menyakitkan juga.
Idzaa tammal ‘aqlu, naqoshol kalaamu.
“Jika sempurna akal seseorang, pembicaraannya akan berkurang.” Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw.
Karena itu, cukup sudah menulis kata. Semoga menyempurna akal kita.
@miftahrakhmat
(tulisan ini ‘tergoda’ oleh dinamika publik pasca Pidato Politik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Selamat bekerja Pak Gubernur. Semoga semakin maju kotanya, dan semakin terlihat bahagia warganya. Doa kami yang terbaik untuk Ibukota dan negeri tercinta).