Allahumma shalli ‘ala Muhammadin wa Ali Muhammad
Pada akhirnya, saya harus berangkat untuk tetap tinggal. Paradoks bukan? Islam memang demikian. Ia hadir untuk mentidakhadirkan kita.
Sejak dulu saya tertarik dengan urusan paradoksal ini. Inilah agama yang mengajarkan: harta sebenarnya yang kita miliki, bukan harta yang kita simpan melainkan yang kita beri. Ibadah yang sejati adalah ibadah minus keinginan diri.
Pernah seorang sahabat datang bertanya pada Imam Ali as, “Bagaimana aku dapat melihat nikmat Tuhan?” Imam as menjawab, “Dengan menutup kedua matamu.” Justru pada saat ia tidak membuka pandangan, ia melihat nikmat Tuhan selama ini.
Paradoks. Selama ini kita mengira pikiran adalah ranah pembelajaran, sedangkan hati adalah untuk perasaan. Padahal Al-Quran menyandingkan sifat Al-Rahman sebelum ’allamal Qur’an. Guru yang baik adalah yang penuh kasih. Ilmu hanya bisa dialirkan dalam balutan kasih sayang.
Dan selama ini kita mengira kita diciptakan jadi khalifah Tuhan di muka bumi, bukan? Dan bahwa tugas kita adalah mempersembahkan senarai peribadatan. Benar. Tapi ibadah yang seperti apa? Di sinilah paradoksnya. Ibadah yang memupuk keakuan, malah menjauhkan kita dari hakikat penciptaan.
Dulu saya mengira, manusia harus jadi makhluk melebihi potensi dirinya. Demikian Gibran mengilustrasikan kisah bunga violet merindu jadi mawar. Kini tidak. Manusia justru harus meluruhkan segala yang ada pada dirinya. Untuk sebuah persembahan. Untuk Dia. Tidak pernah untuk kita.
Ketika Sang Mahakuasa menyampaikan seru penciptaan khalifah pertama, malaikat serentak berkata: akankah Kauciptakan di atasnya, makhluk yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih kepadaMu dengan pujiMu dan mensucikanMu.
Perhatikan ucapan para malaikat yang saya tulis miring. Seakan-akan Al-Qur’an menegaskan, khalifah Tuhan tidak ditandai dari banyaknya tasbih, dari seringnya berdzikir, dari peribadatan penuh puji dan puja. Toh, di tengah para malaikat yang tidak pernah berhenti beribadah, Allah Ta’ala masih juga menghadirkan khalifah. Untuk apa, untuk siapa?
Khalifah Tuhan adalah ia yang bentuk zikir dan ibadahnya, dalam puji dan tasbihnya: tidak berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak pula menumpahkan darah. Seakan-akan kalimat para malaikat, justru menunjukkan kriteria khalifah yang sesungguhnya. Paradoks bukan? Indah sekali kitab suci menggambarkan.
Dalam ushul fiqh, mukaddimah pada yang wajib adalah wajib juga. Wudhu adalah sunnah. Ia menjadi wajib ketika kita hendak menunaikan shalat yang wajib. Maka, belajar dari kesimpulan para malaikat itu: mukaddimah pada yang terlarang adalah terlarang pula. Jangan pernah mendekati zina. Zina terlarang, mendekatinya terlarang pula.
Apa mukaddimah merusak bumi? Mari mulai dari hal-hal yang dianggap kecil: buang sampah sembarangan, boros air, polusi...dan sebagainya. Apa mukaddimah menumpahkan darah? Konflik, pertentangan, berita dusta dan permusuhan. Semua terlarang. Semua bukan sifat khalifah Tuhan, walaupun ia beribadat sepanjang masa sekalipun.
Paradoks. Untuk melihat diri, lihatlah orang lain. Keindahan peribadatan tercermin dari perkhidmatan pada orang lain. Dan bila kita tahu seberapa besar hak manusia yang bergantung pada pundak kita, tak sanggup kaki ini untuk melangkah. Berat kepala mendongak setelah rukuk. Sujud kita akan diam membatu.
Dalam syukur kita, akan tersimpan sesal teramat besarnya. Dalam pujian kita, ada pengakuan dosa tak terkira. Setiap hamdalah kita, menyusul istighfar setelahnya.
Tuhan, sampai kapan aku belajar memahami paradoks kehidupan ini. Aku berangkat untuk menetap. Dan aku meninggalkan mereka, untuk membawa serta mereka selamanya.
Pujianku adalah permohonan ampunanMu. Terima kasih Tuhan. Inilah istighfarku.
Catatan satu, Arba’in Walk 2017
@miftahrakhmat