Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fusshilat [41]:34)
Ya Allah, sampaikan salam shalawat pada Baginda Nabi Saw dan keluarganya yang suci. Bulan Muharram kembali menyapa. Tahun baru hijriah dengan seluruh ceritanya. Ada yang memperingati dengan semarak gegap gempita. Ada yang menjemputnya dengan membentangkan bendera duka. Berbeda biasa. Bertengkar yang dilarang agama.
Negeri ini sudah banyak dirundung duka. Di antara penyeruak masalah adalah bagaimana menghadapi laku buruk atas kita. Bagaimana seharusnya bila ada yang menyinggung kita, menghina kita? Bagaimana bersikap bila ada yang berbeda pendapat dengan kita?
Al-Qur’an menjawabnya. Balaslah dengan cara yang lebih baik. Saya selalu bingung dengan maknanya. Bagaimana yang lebih baik itu? Ukuran menilainya? Apakah bila ia menyakiti kita, kita balas dengan menyakiti dia? Atau dengan tidak membalasnya. Yang mana? Al-Qur’an kembali menjawabnya: “Yang menjadikan dia dan kamu, atau dua orang yang bermusuhan, seakan-akan sebagai teman yang sangat setia.”
Saya hanya bisa memaknainya dengan: cinta. Bagaimana mencintai yang memusuhi kita? Tuhan, beri aku cahayanya.
Bulan Muharram mengajarkan itu. Di bulan ini, pada tahun 61 H, bergerak kafilah keluarga Rasulullah Saw. Cucunda terdekat Baginda Nabi Saw, Sayyidina Husain bin Ali ra, menempuh perjalanan menuju Kufah di Irak. Ia telah meninggalkan rumahnya di Madinah berbulan lamanya. Dari Arafah saat melaksanakan ibadah haji, ia tidak kembali ke Makkah. Ia mengarahkan biduk kafilahnya menuju Kufah.
Penduduk Kufah telah memintanya untuk datang. Ia memenuhi undangan. Dalam surat mereka, disampaikan tentang kesewenang-wenangan penguasa Islam. Al-Husain karenanya bergerak mengingatkan. Bersama puluhan keluarganya, anak-anak dan perempuan, semua dibawa serta. Tidakkah mestinya, ia tinggalkan mereka? Mengapa beramar makruf membawa serta orang-orang tercinta?
Kafilahnya dicegat di perjalanan, dibelokkan menuju sebuah tempat oleh seorang komandan pasukan lawan. Karbala, nama tempat itu. Di sana mereka mendirikan tenda. Mereka tidak diizinkan menuju Kufah. Penduduk Kufah yang mengundang mereka, kini berbalik berdiri di hadapan mereka. Pedang terhunus. Apa salah keluarga Rasulullah Saw?
Terjadilah tragedi demi tragedi. Ditimpakan pada keluarga Nabi Saw kemalangan paling menyedihkan yang mungkin terjadi. Al-Husain akhirnya gugur di tangan mereka. Tapi bagaimana keluarga Nabi Saw bersikap tentang itu? Sungguh tidak kulihat kecuali keindahan, demikian disampaikan Siti Zainab saudari al-Husain. Ali Zainal Abidin, putra al-Husain memberikan air pada musuh yang menahannya dari mereka. Jauh sebelumnya, al-Hasan saudara al-Husain menjamu tamu yang mencipratkan air ludah di muka.
Ya Allah, bagaimana membalas dengan cara yang lebih baik itu?
Bulan Muharrram kembali menyapa. Selebaran dan sebaran, propaganda dan dugaan, mungkin akan hinggap di sosial media dan grup keluarga. Akan bertebaran di lini masa, singgah di layar telepon genggam kita. Begini kira-kira: orang-orang itu merayakan Asyura. Ini kesesatan mereka: merobek-robek baju, memukul-mukul dada, mengiris-iris kepala. Mungkin, gambar berdarah-darah akan turut serta. Mereka mungkin akan mendatangi para aparat, agar kami tak beroleh tempat. Meski hak berkumpul dan berserikat ada dalam konstitusi, aparat berlindung di balik hak diskresi.
Lalu apa yang sebenarnya dilakukan oleh para pecinta keluarga nabi itu? Sederhananya: mereka memperingati haul gugurnya Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Tahlilan, kata orang banyak. Ada majelis doa, ada ceramah, sesekali pementasan drama. Tak ada merobek-robek baju, tak ada mengiris-iris kepala. Lalu apa manfaat yang diterima?
Bila mereka ditanya, mereka akan menjawab: kami berduka dengan duka cita Nabi Saw. Ya, teramat benar. Demikian memang seharusnya. Dan bagi saya, ada yang lainnya. Menghidupkan kisah Asyura, tragedi gugurnya al-Husain itu, memberikan contoh nyata tentang pengamalan beragama. Bagaimana agama kita akan diuji. Bagaimana hidup akan diuji. Bagaimana yang tampak baik, tidak selamanya baik. Bagaimana jubah agama mungkin membungkus nafsu dunia. Dan bagaimana membalas keburukan dengan cinta.
Dari Asyura kami belajar membedakan antara keberanian dan pemahaman. Serigala akan menerjang berkelompok didahului dengan lolongan dan teriakan. Semut akan mengendap diam-diam, dan menggerogoti mangsa dari dalam. Perlu waktu lama, tapi ia sampai pada tujuannya. Berdiri menghadapi serigala mungkin memerlukan keberanian. Tapi bersiap menghadapi semut, memerlukan pemahaman.
Inilah yang kami pelajari dari Asyura. Pemahaman bukan sekadar pengetahuan, melainkan kesadaran. Pemahaman bukan memandang orang, lebih dari itu kepribadian. Pemahaman adalah menyadari, bahkan masjid (dhirar) bisa jadi ajang fitnah dan perpecahan. Pemahaman adalah al-Qur’an di atas tombak yang mengalihkan umat dari al-Qur’an yang berjalan.
Pemahaman adalah bentangan akhir perjalanan. Seorang veteran dan pejuang Shiffin, menjadi pembunuh al-Husain di akhir kehidupan.
Pemahaman adalah tidak membalas fitnah dengan fitnah, tetapi hingga pukulan akhir tak pernah berhenti memberikan pencerahan.
Pemahaman adalah mengenal Malik al-Asytar dan yang membedakannya dengan Abu Musa al-Asy’ari.
Pemahaman adalah mempelajari upaya pasukan Mu’awiyyah untuk memecah belah barisan Sayyidina Ali.
Pemahaman adalah belajar, bahwa sejarah selalu berulang. Baik secara rinci maupun keseluruhan.
Pemahaman adalah membalas keburukan dengan sebaik keindahan. Dan masih tetap ada tanya di pikiran. Bagaimana caranya, Tuhan? ***
#alwayssayahalawat🌹
#UsMif@TPW