Yang kedua, saya senang sekali karena event haul ini kita selenggarakan dengan mengangkat buku yang judulnya sangat tepat sekali, sangat kontekstual dan aktual sekali, karena persis tema yang ditulis oleh sayyid Hussein Fadhlullah inilah kita menghadapi masalah sebagai umat Islam dan juga sebagai bangsa Indonesia. Yaitu masalah dialog. Saya senang sekali buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan saya telah memberikan endorsement untuk buku ini dan dengan senang hati saya memberikan endorsement untuk buku ini. Dalam endorsement itu saya katakan bahwa setiap usaha untuk mengembangkan wacana dialog dari sudut pandang Islam, menurut saya itu harus didukung. Karena sekarang ini kita berhadapan dengan situasi dimana dialog itu sekarang seperti barang yang sangat langka.
Saya masih ingat mungkin sekitar dua puluh sampai sepuluh tahun yang lalu situasi keislaman di Indonesia masih membuka kemungkinan untuk pertukaran pemikiran meskipun mungkin ada debat-debat yang dibumbui dengan kata-kata yang keras, tetapi masih mungkin ada percakapan pemikiran yang konstruktif. Masih ada al-hiwaar. Itu kira-kira pada dua puluh tahun yang lalu sampai sepuluh tahun yang lalu. Nah sekarang ini kita masuk pada era yang bagi saya sungguh menyedihkan, karena kita sekarang kehilangan al-hiwaar. Sekarang ini kalau orang berbeda pendapat tidak mungkin dialog lagi, tidak ada dialog. Dialog itu terlalu panjang. Tidak praktis dan tidak menyelesaikan masalah. Yang menyelesaikan masalah adalah langsung menuduh kafir, sesat, atau dilaporkan ke Polisi. Jadi sekarang tidak ada lagi kesempatan kita untuk melakukan dialog yang jujur.
Saya sungguh sedih sekali. Sekarang tidak bisa lagi kita berbicara menerangkan gagasan kita (siapa saja, baik Sunni maupun Syiah, atau Ahmadiyah atau yang lain-lain), tidak mungkin lagi sekarang orang menjelaskan pemikirannya secara panjang lebar, secara komprehensif lalu ditanggapi secara panjang lebar juga. Sekarang ini kita masuk kepada era dimana orang tidak sabar lagi membaca pandangan yang panjang. Sekarang ini pandangan itu dibaca melalui media sosial. Dan melalui media-sosial itu orang tidak punya kesempatan lagi untuk dialog. Yang ada dalam media sosial kita sekarang ini adalah pertukaran cemooh dan pertukaran nyinyir. Jadi sekarang ini bukan lagi al-hiwaar tapi al-nyinyir. Itu yang kita hadapi sekarang. Saya sedih sekali.
Sekarang kita sebagai umat Islam tidak punya kesempatan lagi untuk bisa berdialog secara konstruktif, dari segala bidang. Dan sekerang kita menemukan apa yang disebut gejala echo chamber. Echo chamber itu artinya adalah kita sekarang ini suka mendengar apa yang kita suka dengar. Jadi sekarang kita memasuki situasi dimana orang yang sudah percaya dengan “A” maka dia hanya mau mendengar informasi yang sesuai dengan “A” itu sendiri. Tidak mau lagi mendengarkan informasi-informasi yang kontra, informasi-informasi yang jadi tandingan. Jadi sekarang kita tidak sabar lagi mendengarkan satu pandangan yang berasal dari orang yang berbeda dengan kita.
Menurut saya, gejala takfiri itu adalah gejala mengkafirkan orang yang berbeda, yang sebetulnya gejala yang mungkin tidak saja terjadi pada masalah keagamaan, tapi dalam banyak masalah sebetulnya gejala takfir itu terjadi. Apa intinya takfir itu? Intinya takfir itu sebetulnya kita tidak sabar dengan apa yang dipikirkan orang lain. Jadi takfir itu kira-kira prosedur menghentikan orang lain bicara. Seolah mengatakan Kamu tidak berhak berbicara dengan saya karena kamu berbeda dengan saya! Jadi orang berbeda posisi dengan saya kehilangan kesempatan untuk berbicara. Jadi takfir sebetulnya adalah semacam conversation stopper. Sesuatu untuk menghentikan percakapan itu, dan untuk saya ini sangat menyedihkan sekali. Nah, saya senang majelis haul pada malam ini mengangkat tema tentang Al Islam sebagai diinul hiwaar, Islam sebagai Agama Dialog. Dan menurut saya tokoh yang kita hormati pada malam hari ini tepat sekali menjadi tokoh yang mengangkat tema itu, karena beliau memang tokoh yang percaya kepada kekuatan akal (quwwatul manthiq), kepada kekuatan manusia mencapai kebenaran dengan kemampuan pikirnya. Ini sesuatu yang di zaman post-truth seperti sekarang ini menjadi sangat langka sekali.
Saya ingin membacakan beberapa petikan dari buku karya Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah ini supaya kita mendengarkan suara beliau melalui buku karya beliau ini dalam bahasa aslinya karena kita memperingati haul beliau. Dalam beberapa bagian dalam bukunya ini beliau selalu menekankan bahwa dalam Islam, orang itu sampai pada al qona’ah (qona’ah artinya dimana pendapat yang kita terima secara puas. Kita menerima pendapat karena kekuatan hujjah nya sebagai pendapat yang benar) tidak bisa melalui jalan paksaan. Kita sampai kepada al qona’ah itu jalan satu-satunya adalah melalui jalan dialog. Karena qona’ah tidak bisa dipaksakan entah melalui suatu negara, atau melalui tradisi yang kita warisi dari leluhur kita. Di mana dalam Al Quran kita banyak temukan ayat-ayat yang berbicara tentang bagaimana Al Quran mengkritik tradisi orang-orang arab pra Islam yang menerima apa yang sudah menjadi tradisi leluhur. Sesuatu yang sudah dikatakan leluhur kita. Dan sebagai gantinya Al Qur’an menawarkan tradisi baru. Jadi, yang ditekankan pada beberapa hal dalam buku ini diganti dengan tradisi dialog. Tradisi bertukar pikiran. Menguji suatu pendapat melalui pertukaran hujjah atau argumen, yang dari situ kita kemudian dapat sampai kepada al qona’ah atau rasa puas. Kita menerima suatu pendapat melalui argumen yang bisa dipertahankan.
Nah, yang menarik pada bagian berikutnya dalam buku ini, beliau juga menekankan bahwa problemnya didalam pendidikan di rumah kita sering kali kita menghindari al hiwaar ini. Anak-anak kita sering kali kita didik melalui tradisi yang non-dialog. Itu yang dikatakan beliau didalam buku ini. Proses sosialisasi anak-anak di rumah itu sering kali tidak mendukung ajaran Qur’an ini. Yang kita lihat didalam tradisi sehari-hari dimana metode yang ditempuh oleh para orang tua di rumah adalah metode pemaksaan atau imposisi. Jadi bukan uslubul hiwaar tapi uslubul qom’i, bukan metode dialog tapi metode paksaan. Para da’i kita sebetulnya cara mereka menyampaikan ajaran kepada umat itu bukan dengan metode dialog tapi dengan metode yang lebih mengarah kepada pemaksaan. Praktek takfiri adalah hasil akhir dari budaya kita yang tidak ada dialog di situ. Takfir itu sebetulnya terjadi karena kita tidak sabar mendengarkan pendapat orang lain, dan orang lain kita paksa menerima pendapat kita dan cara “terbaik“ adalah dengan membungkam dia karena dia berbeda dengan saya. Al qom’i atau paksaan ini ujungnya adalah kekerasan. Al hiwaar atau dialog itu ujungnya adal as-silm atau perdamaian.
Hari-hari belakangan ini sekitar seminggu terakhir di koran-koran Turki ada perbincangan publik, yang isinya adalah bahwa di Turki sekarang banyak anak-anak muda yang meninggalkan Islam menjadi atheis. Sebetulnya sebelum Turki, gejala ini sudah terjadi di Timur Tengah, di Mesir.
Saya secara khusus mengikuti perkembangan apa yang disebut dengan al malahidah al ‘arobiyyun, para atheis-atheis arab. Yang menarik adalah adanya satu insiden yang bagi saya sangat mengejutkan. Ada seorang anak muda, muridnya Yasser Borhami, pendiri Hizbun-nur, partai Salafi di Mesir. Anak muda ini hafal Qur’an, imam sebuah masjid di kota Kairo, meninggalkan Islam dan menjadi atheis. Umurnya belum lengkap 30 tahun. Dulunya ia seorang salafi yang sangat keras sekali. Ini salah satu insiden keluarnya muslim dari Islam dan menjadi atheis yang menurut saya paling fenomenal, karena dulunya ia seorang salafi, hafal Qur’an – tidak main-main tentunya ini – menjadi atheis dan sekarang menjadi aktifis atheis yang sangat militan sekali. Membangun kafe di sebuah jalan di Kairo dan mempunyai kanal TV di youtube yang setiap minggu mereka punya siaran. Mesir sudah mengalami itu.
Nah, minggu-minggu ini terjadi di Turki. Ada gejala anak-anak muda meninggalkan agama. Nah, mengapa anak-anak muda meninggalkan agama? Salah satu penjelasannya adalah mungkin ini ada kaitan dengan model pendidikan dan pengajaran agama di kita yang tidak mengedepankan dialog. Nah di dalam buku ini sayyid Hussein Fadhlullah juga menekankan bahwa kita, umat Islam itu harus berani berhadapan dengan pikiran-pikiran yang berlawanan dengan kita, apapun itu bentuknya. Karena dialog ini tidak ada batasnya (tentu ada adab atau etikanya) tetapi yang kita ajak dialog itu tidak bisa kita pilih-pilih. Termasuk kita harus berdialog dengan orang-orang yang sekarang ini dengan jelas-jelas mereka melakukan kampanya anti Islam, dengan cara yang sangat efektif karena sebagian besar orang-orang yang melakukan kampanye itu adalah yang dulunya muslim. Sekarang ini di Barat ada suatu Gerakan, ada satu komunitas yang ada di Eropa, Amerika, Kanada dan di beberapa negara lain, yaitu komunitas orang-orang eks muslim. Semula berdiri di Inggris, sekarang menyebar di berbagai kota di Barat. Karena mereka ini eks muslim, maka mereka mengerti semua apa yang kita bicarakan ini.
Nah, menurut saya kita sekarang harus bisa berdialog dengan orang-orang itu. Tidak bisa tidak. Kalau kita mengikuti bukunya Sayyid Hussein Fadhlullah ini kita harus berani dalam menempuh metode dialog ini menghadapi siapa pun.
Sebagai penutup tanpa perlu berpanjang-panjang, saya sangat bangga dengan tradisi klasik Islam, dengan kekayaan intelektual kita baik di Ahlusunnah maupun di Syi’ah yang luar biasa, karena sebenarnya kalau kita baca tradisi Islam yang kaya itu sebetulnya kita ini lebih dari cukup mempunyai modal untuk melakukan dialog. Al Ghazali itu memiliki seorang guru bernama Imam Al Haramain, Imam Al Juwaili yang tinggalnya di Khorasan, di Nisabur. Imam Al Juwaili adalah salah satu imam penting dalam madzhab Syafi’I karena dia ini orang yang mungkin dua orang dalam madzhab Syafi’i yang menulis semacam ensiklopedia madzhab Syafi’i yang pertama. Beliau gurunya Al Ghazali. Beliau dikenal sebagai ahli dialog yang dalam istilah klasik dulu disebut al jaddal (debat). Yang kemudian dikembangkan di Eropa Barat yang kemudian disebut disputatio yang dikembangkan oleh gereja Katholik di sana.
Nah, Al Haramain menulis buku yang disebut kitabul jaddal, kitab dialog. Kitab tentang bagaimana kita melakukan disputatio atau berdebat dan berdialog. Ada aturan-aturannya dan ada etika-etika nya. Ada adabul hiwaar nya. Nah sekarang ini menurut saya literatur tentang kitab dialog ini perlu dibangkitkan lagi. Umat Islam harus bangga dengan tradisi kita yang sebetulnya kaya sekali tentang dialog. Dalam pembukaan buku karya sayyid Hussein Fadhlullah ini, beliau mengatakan bahwa orang punya pandangan atau persepsi yang menurut saya keliru, bahwa sains itu identik dengan keterbukaan dan agama identik dengan ketertutupan. Jadi sains itu adalah dialog dan agama adalah anti dialog. Sebetulnya persepsi ini adalah khas Barat. Dalam Islam sendiri sebetulnya tradisi dialog itu merupakan bagian yang intrinsik, artinya berkembang dari dalam Islam sendiri. Bukan sesuatu yang dimasukkan dari luar. Ulama dan umat Islam mengembangkan dari dalam Islam sendiri, dari kekayaan tradisi Islam, yaitu tradisi al jaddal dan al hiwaar, debat dan dialog. Jadi apa yang dituliskan sayyid Hussein Fadhlullah ini sebetulnya meneruskan tradisi debat dan dialog di dalam tradisi Islam.
Sayang sekali kalau umat Islam sekarang kita kehilangan ini lalu sekarang menjadi ikut-ikutan tidak sabar mendengarkan orang lain lalu membungkam orang lain dengan cara apapun. Sekarang ini orang mengutip ayat Al Quran itu tujuannya bukan untuk mengajak orang berdialog, tetapi justru menghentikan dialog. Sekarang orang berpikir bahwa dengan mengutip ayat atau hadits masalah selesai. Karena sudah ayat Qur’an dan hadits. Artinya, Ayat Qur‘an dan hadits dipakai sebagai conversation stopper, alat untuk membungkam orang lain. Ini bukan dialog, karena kalau dialog ayat Al Quran dan hadits bukan untuk menghentikan dialog tapi justru untuk memulai dialog. Jadi, ayat Al Quran dan hadits seharusnya kita kutip sebagai pembuka dialog, bukan penutup dialog sebagaimana dilakukan ulama-ulama Islam terdahulu. ***
Artikel ini ditranskrip oleh M. Baagil dari rekaman bedah buku Islam Agama Dialog, bersama KH Jalaluddin Rakhmat, tahun 2019.