Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

Benarkah Agama Membenarkan Tindakan Kekerasan? [KH Jalaluddin Rakhmat]

12/4/2017

0 Comments

 
“Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama,” tulis Sam Harris, tokoh yang dianggap salah satu oknum dalam the Unholy Trinity of Atheism. 
Dua orang oknum lainnya adalah Daniel Dennett dan Richard Dawkins. Mereka sepakat bahwa agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi, masih kata Harris, “agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu.” 

Doktrin bahwa agama menyebabkan tindakan kekerasan telah melahirkan ateis lebih banyak dari aliran pemikiran filsafat mana pun. “Religion makes enemy instead of friends. That one word, ‘religion’ covers all the horizon of memory with visions of war, of outrage, of persecution, of tyranny, and death,” Ingersoll, ateis Amerika yang terkenal itu, menjelaskan. 

Setelah itu, para ateis internasional mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah. Richard Dawkins membagi bab-bab dalam bukunya, god is not great (semuanya dengan huruf kecil) berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman.
Khusus tentang tindakan kekerasan kaum Muslim, kaum Fundamentalis Kristen memasukkan bensin pada bara yang sudah terbakar. Dengan melupakan tindakan kekerasan umat Kristiani sendiri dalam sejarah, mereka hanya menunjuk Islam sebagai satu-satunya agama yang mengajarkan terorisme. Misalnya, pada Oktober 2002, dalam acara nasional CBS, pendeta fundamentalis Kristen, Gerry Falwell, menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai teroris. 

Ia berteriak, “I think Mohammed was a terrorist. He … was a violent man, a man of war. In my opinion … I do believe that – Jesus set the example for love, as did Moses. And I think that Mohammed set an opposite example.” Dalam logika Falwell, tindakan kekerasan kaum Muslim sekarang ini bersumber dari Nabi Muhammad sendiri. Ia tidak mengutip satu pun hadis Nabi yang menganjurkan kekerasan.

Ia tampaknya lupa bahwa umat Kristiani dari Eropa menumpas bangsa-bangsa untuk tiga G: Gold, Glory, dan Gospel. Tetapi kita tidak akan menuduh Yesus teroris, walaupun ia bersabda, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab, Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.” (Matius 10:34-36). 

Seperti Gerry Falwell, kaum ateis juga mengutip perilaku tokoh-tokoh agama dan kitab-kitab sucinya untuk menunjukkan bahwa agama mengilhami tindakan kekerasan. Mereka mengajukan argumuntasi sebagai berikut: (1) Agama menimbulkan perpecahan di antara manusia; “Aku datang untuk memisahkan orang”; (2) Agama memberikan label untuk memisahkan satu kelompok dari kelompok yang lain; “without religion there would be no labels by which to decide whom to oppress, whom to avenge”; (3) perang terjadi di antara kelompok dengan label yang berbeda; kelompok yang mengikuti agama yang diridoi Allah dan kelompok yang dimurkai Dia; (4) karena itu agama adalah penyebab tersirat dari peperangan. 

Penolakan yang paling sederhana dari kaum agamawan ialah kenyataan sejarah bahwa agama bukan hanya memecah-belah, agama juga mempersatukan. Agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha telah mempersatukan miliaran umat manusia dalam label yang sama. Penolakan yang lebih mendalam—seperti dikemukakan Milton-Edwards—ialah menunjukkan dengan data-data historis bahwa peperangan lebih banyak disebabkan karena kepentingan ekonomis, persoalan etnis, isu kebangsaan (nasionalisme), dan terutama sekali masalah politik. 

Dengan kata lain, tindakan kekerasan yang menimbulkan kehancuran bangsa dan negara lebih banyak disebabkan oleh sebab-sebab “sekular” ketimbang sebab-sebab agama. Perang Dunia I dan II tidak disebabkan karena perbedaan agama. Konflik Israel-Palestina diketahui semua orang bukan perang antar agama. Perang Amerika-Vietnam yang berlarut-larut terjadi karena sebab-sebab “sekular” dan sama sekali tidak menyangkut agama. 

Perang Irak yang mengambil korban jiwa dan harta yang tidak terhitung ternyata—walaupun Bush mengaku sebagai “reborn Christian” yang dipanggil untuk menyelamatkan dunia—hanyalah War for Oil . Last but not least, lebih banyak orang dibunuh dan dilenyapkan oleh rezim-rezim otoriter tanpa agama seperti Marxisme ketimbang oleh rezim-rezim “beragama”. 

Tidak mudah memang untuk menentukan apakah agama menyebabkan tindakan kekerasan. Sering terjadi motif-motif keagamaan itu berada di balik atau dimanfaatkan oleh institusi-institusi sekular. Untuk memastikan bahwa variabel independen dari tindakan kekerasan adalah agama, sebagai peneliti kita harus mendefinisikan secara operasional apa yang dimaksud dengan agama. Di sinilah para pemerhati agama dan kekerasan, juga kaum ateis, menabrak batu sandungan yang sangat besar. 
 
Kerancuan Konseptual: Apa yang Disebut Agama?
Charles Kimball menulis When Religion Becomes Evil dan mulai menulis kalimat pertamanya dengan “Sudah agak umum, tapi malangnya sangat benar, untuk mengatakan bahwa lebih banyak perang dilakukan, lebih banyak orang dibunuh, dan sekarang ini lebih banyak kejahatan dikerjakan atas nama agama ketimbang kekuatan institusional lainnya dalam sejarah umat manusia.” Tapi ia tidak mendefinisikan institusi agama untuk membedakannya dari institusi-institusi lainnya, seperti negara, kerajaan, suku bangsa. 

Ia pernah meminta mahasiswa-mahasiswanya yang cerdas untuk menuliskan definisi agama. Mereka kebingungan. Menurut Kimball, “Jelas sekali mahasiswa-mahasiswa yang cerdas itu tahu apa yang disebut agama”; mereka hanya kesulitan mendefinisikannya. Tapi alasan itu tidak bisa membenarkan penelitian kita berlangsung tanpa obyek yang jelas. 

Karena didesak keperluan untuk menghubungkan akibat (kekerasan) dengan sebab (agama), para peneliti agama mengambil jalan pintas. Martin Marty yang menulis tentang agama publik menyebutkan lima karakteristik agama. Lucunya, ia juga menunjukkan bahwa lima tanda itu terdapat juga dalam institusi politik.

Agama berkaitan dengan “ultimate concern” begitu juga politik. Agama membangun komunitas, begitu pula politik. Agama merujuk pada mitos dan simbol, politik juga memuja bendera, lagu kebangsaan, pahlawan. Agama menggunakan upacara-upacara suci, politik juga mengadakan berbagai upacara dan perayaan. Agama menuntut para pengikutnya untuk berperilaku yang tertentu, politik juga begitu. 

Ketika Kimball menyebut lima ciri agama yang sudah berubah menjadi kejahatan, kita menemukan ciri yang sama “when politics becomes evil”. Kalau institusi politik sudah mempercayai kebenaran mutlak (absolute truth claims), menuntut kepatuhan membuta (blind obedience), merencanakan masa depan yang gemilang (establishment of ideal times), menghalalkan segala cara (ends justify means), dan menyatakan perang suci (declaring holy war), politik itu sudah menjadi agama. 

Mendefinisikan agama dengan karakteristiknya (yang tidak khas) memperluas kategori agama. Dengan begitu, setiap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh institusi mana pun—termasuk negara dan partai politik—akan dinisbatkan kepada agama. Simaklah argumentasi Harris tentang agama dan kekerasan. Ia tidak menunjuk dengan jelas bagaimana agama menyulut peperangan. Dengan jujur, ia berkata, “These conflicts are not always explicitkly religious”. Walaupun begitu, dengan semangat, ia membuat daftar peperangan yang dalam pandangannya didasarkan pada motif keagamaan. 

Saya mengambil sebagian saja: Palestina (Yahudi vs Muslim), Balkan (Serbia Orthodoks vs Bosnia Muslim), Irlandia Utara (Protestan vs Katholik), Kashmir (Muslim vs Hindu), dan perang Iran-Irak (menurut Harris, Syiah dan Sunni). Menarik bahwa hampir setiap contoh yang dikemukakannya melibatkan kaum Muslim. Ia menghapus dari catatannya peperangan antara sesama umat Kristiani, sejak abad pertengahan sampai abad modern (misalnya, Perang Malvinas). 

Jika kita belajar sejarah (sedikit saja), kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22.9 persen ateis, 21 persen sekular, dan sisanya menganut agama Yahudi secara formal dan etnis Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen). Bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609. Bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci. Bahwa perang Irak dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Irak). 

Lalu, mengapa Barat mempertahankan asumsi agama sebagai penyebab tindakan kekerasan. Seakan-akan mengikuti Wittgenstein, filsuf urakan itu, para penulis Barat mempertahankan asumsi ini untuk memainkan “language game”. Kita tidak usah terlalu payah memikirkan definisi agama dan kekerasan. Kita harus menyelidiki untuk maksud apa orang mempertahankan asumsi itu. Mengapa mereka mengulang-ulang cerita tentang “religious violence”? Cavanaugh menjawabnya: 

“… karena kita di Barat menganggap konsep ini bisa kita gunakan. Dalam politik dalam negeri, konsep ini berguna untuk membungkam wakil-wakil agama di tengah-tengah public sphere. Didongengkan berkali-kali bahwa negara liberal telah belajar menjinakkan perpecahan berbahaya karena persaingan agama dengan mereduksi agama hanya menjadi urusan pribadi. 

Dalam politik luar negeri, kebijakan konvensional ini (yakni, agama menimbulkan tindakan kekerasan—penulis) membantu memperkokoh dan membenarkan sikap dan kebijakan terhadap dunia non-Barat, terutama kaum muslim, yang perbedaan utamanya dengan Barat ialah penolakannya yang keras untuk menjinakkan perasaan agama di tengah-tengah public sphere. ‘Kita di Barat telah lama mengambil pelajaran berharga dari peperangan agama dan telah bergerak ke arah sekularisasi. Negara-bangsa (nation-state) yang liberal pada hakikatnya adalah pencipta perdamaian.” 

Sekarang kita hanyalah berusaha berbagi berkat kedamaian ini dengan dunia Islam. Sayang sekali, karena fanatismenya yang membabi-buta, kadang-kadang kita harus menyeret mereka ke dalam demokrasi liberal dengan mengebomnya.’ Dengan kata lain, mitos kekerasan agama memperkuat dikotomi yang tegas antara kekerasan mereka—yang absolutis, memecah-belah, dan irasional—dengan kekerasan kita, yang moderat, mempersatukan, dan rasional. 

Jadi, pernyataan “agama menyebabkan kekerasan” bukanlah wacana ilmiah yang dapat diverifikasi. Pernyataan ini adalah wacana ideologis. Wacana ini memposisikan Barat sebagai lawan dari bukan-Barat, antara “the West and the rest,” seperti kata Samuel Huntington, antara rasionalitas dan irasionalitas, antara modernitas dan pramodernitas, antara sekular dan religius, antara perdamaian dan kekerasan.

Roxanne Euben, ketika menulis tentang fundamentalisme Islam, menegaskan perbedaan utama antara Barat dengan Islam, “If they were the voices of modernity, freedom, liberation, happiness, reason, nobility, and even natural passion, the irrational was all that came before: tyranny, servility to dogma, self-abnegation, superstition, and false religion. Thus the irrational came to mean the domination of religion in the historical period that preceded it.” 

Ideologi, dalam bentuk apa pun, selalu mendistorsi realitas. Pertanyaan “Apakah agama menimbulkan kekerasan” adalah pertanyaan ideologis dan retoris. Untuk mengubahnya menjadi pertanyaan ilmiah, kita harus meninggalkan konsep agama yang elusif.

Seperti disebutkan di atas, konsep “agama” terlalu abstrak sehingga tidak bisa dioperasionalisasikan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, yang menjadi pokok bahasan tulisan ini, kita harus membatasi konsep agama pada “aktor-aktor agama”. 

Yang dimaksud dengan aktor agama ialah orang yang dibentuk oleh komunitas agama dan yang bertindak dengan maksud untuk menegakkan, menyebarkan, atau mempertahankan nilai-nilai dan ajaran agamanya. Individu, kelompok, komunitas, atau bahkan negara yang raison d’etre dibentuk oleh dan untuk agama kita masukkan dalam kategori aktor agama. Dengan begitu sekarang, kita dapat memilahkan dengan tegas mana tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor agama dan mana yang bukan.

Kita mengubah perumusan masalahnya: Benarkah aktor-aktor agama menyebabkan tindakan kekerasan? Pada situasi apa aktor-aktor agama itu terdorong untuk melakukan tindakan kekerasan? Pertanyaan pertama dengan segera bisa kita jawab dengan afirmasi. Tanpa harus menengok kepada sejarah masa lalu, setiap hari kita melihat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor agama. Tugas kita ialah menjawab pertanyaan yang kedua.
 
Mengapa Aktor Agama Melakukan Tindakan Kekerasan?
Imam Khomeini adalah manusia yang lahir dari garba Islam, dibentuk dalam sistem sosial Islam, dan berjuang untuk Islam. Mengapa ia menggerakkan bangsa Iran untuk melakukan revolusi? Desmond Tutu adalah seorang Anglikan yang saleh. Mengapa ia melakukan perlawanan dengan kekerasan? Hamas adalah organisasi yang lahir dari kelompok Islam dan berjuang membebaskan Palestina berdasarkan nilai-nilai Islam. Mengapa Hamas melakukan perlawanan bersenjata? 

Walaupun kita memusatkan perhatian kita pada aktor agama, kita tidak akan melacak sebab-sebab tindakan kekerasannya pada faktor-faktor individual: faktor biologis, predisposisi personal, pengalaman masa kecil, struktur kepribadian. Kita akan jatuh pada apa yang disebut Lee Ross sebagai fundamental attribution error (FAE). 

Analisis individual tentang aktor keagamaan yang melakukan kekerasan membawa kita pada sesat fikir (fallacy) seperti menyalahkan korban (blaming the victim). Mereka langsung disalahkan melakukan kekerasan karena mereka, misalnya, memang punya “bakat” keras. Mereka menderita gangguan kejiwaan atau cacat dalam struktur kepribadian mereka. Dengan begitu, kita mengabaikan institusi-institusi sosial seperti sistem ipoleksosbud yang membentuknya. Masyarakat dan negara dilepaskan dari “kesalahan” apa pun. Pelaku kekerasan harus menanggung seluruh beban. 

Karena keterbatasan ruang, dalam tulisan ini saya hanya menyebut dua faktor situasional yang mendorong aktor agama untuk melakukan tindakan kekerasan: (1) Orientasi keagamaan yang dianut oleh kelompok mayoritas, dan (2) Perlakuan tidak adil dari pemegang hegemoni.

Orientasi Keagamaan. Aktor agama hidup di tengah-tengah sistem sosial dengan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman nenek-moyangnya. Perlahan tapi pasti ia menyerap nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan yang diterima secara umum. Ia menginternalisasikannya setelah terlibat dengan agen-agen sosialisasi seperti sekolah, madrasah, masjid, gereja, media, komunitas dan tokoh-tokohnya. 

Ada tiga orientasi keagamaan. Ketiganya berkaitan dengan tingkat toleransi akan perbedaan paham, yang pada gilirannya berhubungan dengan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

Berdasarkan tiga orientasi itu, kita mengidentifikasi tiga tipe aktor agama. Ekslusivis adalah aktor agama yang membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave”, daerah terlindung, yang steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahami realitas, dan satu cara untuk menafsirkan teks-teks suci.

Secara soteriologis (ilmu tentang keselamatan), ia percaya hanya kelompok dia saja yang akan selamat. Kelompok yang lain dijamin “masuk neraka”. Sebaliknya, inklusivis, mengakui adanya keragaman tradisi, komunitas dan kebenaran. Semuanya adalah jalan menuju kebenaran. Tetapi agama (baca, paham keagamaan) yang dianutnya tetaplah jalan yang paling lurus, yang paling sempurna, di atas dan mencakup semua paham keagamaan lainnya. 

Terakhir, pluralis menganggap bahwa kebenaran bukan hanya milik satu tradisi atau komunitas keagamaan. Perbedaan komunitas dan tradisi tidak dianggap sebagai penghalang yang harus dilenyapkan, tetapi sebagai peluang untuk dialog (dalam pengertian Martin Buber).

Kaum eksklusivis memiliki tingkat toleransi paling lemah dan kelompok pluralis mencapai tingkat toleransi paling kuat. Menurut David Little, “bersikap toleran pada tingkat minimalnya berarti merespons kepercayaan dan pengamalan agama yang dianggap devian tanpa menggunakan intervensi kekuatan”. Walhasil, para aktor keagamaan akan melakukan tindakan kekerasan bila mereka “dibesarkan” dalam orientasi keagamaan yang bersifat eksklusif. 

Kita dapat mengoperasionalisasikan tujuh tahapan toleransi. Kaum eksklusivis menduduki tahap pertama toleransi, membiarkan, yakni bersedia hidup bersama dengan agama yang lain dan tidak menyerang mereka. Kaum inklusivis menduduki tahap kedua mengakui¸yakni setelah bersedia hidup damai dengan agama lain, ia juga mengakui hak hidup agama lain itu. 

Tahap ketiga, meneliti, berusaha ingin tahu tentang agama lain, walaupun sepintas. Tahap keempat, menghormati¸mengakui kontribusi setiap agama pada kemanusiaan. Kaum pluralis meneruskan kaum inklusivis dengan memasuki tahap kelima, belajar, yakni mempelajari agama yang lain dengan mendalam dengan sikap rendah hati dan tujuan memahami. 

Tahap keenam, mengapresiasi, yakni menghargai persamaan dan perbedaan antara agama. Dan tahap ketujuh (terakhir), merayakan, menikmati keragaman dan mengggunakan kontribusi setiap agama untuk memperbaiki dirinya dan masyarakatnya. 

Aktor agama yang ekslusivis, ketika bergabung dengan aktor politik, etnis, dan nasionalis, akan mengembangkan intoleransinya dari menolak, menolak keabsahan kelompok agama lain; ke membatasi¸ melakukan diskriminasi dan membatasi hak sipil kelmpok agama lain; ke menindas, merampas hartanya, menjatuhkan kehormatannya, melanggar hak-hak asasinya; mendehumanisasikan, menganggap kelompok agama lain tidak lagi sebagai manusia; membunuh, menumpahkan darahnya, memeranginya, dan akhirnya melenyapkan, holocaust, melakukan genosid, menghilangkan kelompok agama lain sama sekali. 

Perlakuan tidak adil. Perkembangan intoleransi yang makin memburuk terjadi pada kelompok aktor agama yang merupakan kelompok mayoritas atau memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Aktor agama yang lemah dan hidup di bawah hegemoni kelompok yang lain sering terdorong untuk melakukan kekerasan karena sempitnya pilihan untuk tidak menggunakan kekerasan. 

Para tokoh agama di Iran sering mengutip ucapan Ali bin Abi Thalib untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan yang ditopang oleh militer, “Kematian ada dalam kehidupan yang ditaklukkan. Kehidupan ada pada kematian yang menaklukkan.” 

Ali bin Abi Thalib juga sering dikutip ketika ia berkata, “Kezaliman hanya akan bertahan apabila ada kerjasama antara yang menzalimi dengan yang dizalimi.” Bersikap diam ketika penindasan dan penganiyaan terhadap umat Islam sama saja dengan mendukung kezaliman itu. Atas dasar itulah Imam Khomeini mengubah acara Asyura yang melukai diri sendiri menjadi acara Asyura yang diarahkan kepada para pelaku kezaliman. Inilah makna syahid. 

Di Afrika Selatan, Desmond Tutu, Uskup Besar Anglikan, menyaksikan politik apartheid yang dilakukan pemerintah kulit putih. Menurut uskup besar ini, memperlakukan manusia sekan-akan mereka di bawah makhluk Tuhan, menindas mereka, menginjak-injak hak-hak mereka, bukan hanya kejahatan, tetapi kekafiran, karena sama saja dengan meludahi muka Tuhan. Karena itu, kata Tutu, “kita begitu bersemangat untuk menentang kejahatan apartheid.” 

Selanjutnya ia menegaskan, “Setiap orang beriman tidak punya pilihan. Di hadapan ketakadilan dan penindasan, kita melawan Tuhan jika kita tidak melawan kezaliman dan penindasan itu.” 

Muhammad Fnaysh, salah seorang pimpinan Hizbullah berkata, “Islam bukanlah agama kekerasan. Islam adalah agama yang memberikan izin kepada para pengikutnya untuk melawan agresor berdasarkan keadilan dan kebenaran.” Ia kemudian mengutip Surat 22:39-40. “Tidak ada makna pada kehidupan, tidak ada nilai, tidak ada kebebasan bagi manusia jika kita mengizinkan para penindas melaksanakan agresi sambil tidak ada hak bagi orang tertindas untuk melakukan pembalasan,” kata Fnaysh. 

Ketika Yasser Arafat mengecam bom bunuh diri sebagai tindakan yang merugikan perjuangan Palestina, Ismail Haniyeh, tokoh Hamas berkata, “Abu Ammar dipaksa untuk membuat pernyataan tentang operasi syuhada… Ia sedang berbicara kepada dunia luar, bukan kepada rakyat Palestina. Walaupun ia melakukan seruan-seruan tadi, Israel tidak akan berhenti melakukan pembantaian dan agresi. Kita tidak punya pilihan kecuali mempertahankan diri kita bahkan dengan serangan syahid sekalipun. Tetapi, pada saat yang sama kami tidak bermaksud melukai seorang sipil pun dan bukan pula kami yang memulai.. Israel memulainya di Hebron dan masih terus berlangsung… Rakyat mana yang ditindas seperti ini tidak ingin mempertahankan dirinya.” 

​Aktor agama tahu bahwa semua agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Jika bagian pertama ajaran agama tidak bisa dilaksanakan, pilihannya hanyalah bagian kedua. Kamu ubah kemunkaran dengan tanganmu. Jika kamu tidak bisa, ubahlah dengan lidahmu. Jika kamu tidak bisa, ubahlah dengan hatimu. “Tapi itu iman yang paling lemah,” sabda Nabi Muhammad SAW. 

Tulisan ini hanya memberikan kerangka teoretis untuk memahami tindakan kekerasan yang diduga diilhami oleh atau dilakukan atas nama agama. Ketika menganalisis kekerasan yang terjadi di negeri kita, kita dituntut untuk tidak terjebak dengan ideologi sekular yang bermaksud memojokkan agama. Pada saat yang sama juga, kita tidak begitu saja menafikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor agama. 

Pada dasarnya, aktor agama tidak cenderung menggunakan kekerasan, seperti yang dikumandangkan oleh kaum ateis. Faktor-faktor situasional seperti dominasi orientasi dan wacana keagamaan yang eksklusivis dan perlakuan tidak adil “memaksa” aktor agama untuk memilih kekerasan. Karena alasan ini, kita dapat merumuskan hipotesis bahwa aktor-aktor agama sebetulnya lebih mudah menjadi agen-agen perdamaian ketimbang menjadi pelaku kekerasan. Ini tampaknya memerlukan pembahasan tersendiri.[]
 
KH Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura IJABI

0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.”
    ​
    ​ 
    (HR Al-Hakim dan Al-Thabrani)
    ​


    Picture

    Tema

    All
    Abu Nawas
    Adam
    Agama
    Ahlulbait
    Akal
    Akhlak
    Albirr
    Al-Husayn
    Ali Bin Abi Thalib
    Ali Bin Abu Thalib
    Al-Mizan
    Alquran
    Amal
    Anak
    Arafah
    Arbain Walk
    Asep Salahudin
    Asyura
    Babul
    Bahasa
    Bahjah
    Bahlul
    Bangsa
    Barzakh
    Berkah
    Bicara
    Bidadari
    Bubur Suro
    Bukhari
    Buku
    Bulan Suci
    Cerita
    Cinta
    Covid 19
    Covid-19
    Depresi
    Doa
    Dogma
    Dosa
    Dua Belas Imam
    Dunia
    Emas
    Empati
    Epistemologi
    Fatwa
    Fidyah
    Fikih
    Filsafat
    Fitrah
    Gaya Menulis
    Gender
    Gereja
    Ghuraba
    Globalisasi
    Guru
    Hadiah
    Hadis
    Haji
    Happy Birthday
    Hari Anak Nasional
    Hasan
    Hasan Bashri
    Hermeneutika
    Hitler
    Husain
    Ibadah
    Identitas Arab Itu Ilusi
    Ideologi
    Idul Fitri
    Ihsan
    IJABI
    Ilmu
    Ilmu Kalam
    Imam
    Imam Ali
    Imam Ali Zainal Abidin
    Imam Husain
    Imam Mahdi
    Iman
    Imsak
    Indonesia
    Islam
    Islam Ilmiah
    Islam Madani
    Isra Mikraj
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Jihad
    Jiwa
    Jumat
    Kafir
    Kajian
    Kaki
    Kang Jalal
    Karbala
    Keadilan
    Kebahagiaan
    Kebangkitan Nasional
    Keluarga
    Kemanusiaan
    Kematian
    Kesehatan
    Khadijah
    Khalifah
    Khotbah Nabi
    Khutbah
    Kisah Sufi
    Kitab
    Kitab Sulaim
    Konflik
    Kurban Kolektif
    Lembah Abu Thalib
    Madrasah
    Makanan
    Malaikat
    Manasik
    Manusia
    Maqtal
    Marhaban
    Marjaiyyah
    Marxisme
    Masjid
    Mawla
    Mazhab
    Media
    Miftah
    Mohammad Hussain Fadhullah
    Mubaligh
    Muhammad Babul Ulum
    Muharram
    Mujtahid
    Mukmin
    Munggahan
    Murid
    Muslim
    Muslimin
    Musuh
    Muthahhari
    Myanmar
    Nabi
    Najaf
    Nano Warno
    Negara
    Neurotheology
    Nikah
    Nilai Islam
    Nusantara
    Orangtua
    Otak
    Palestina
    Pancasila
    Pandemi
    Pendidikan
    Penyintas
    Perampok
    Pernikahan
    Pesantren
    Politik
    Post Truth
    Pseudosufisme
    Puasa
    Pulang
    Qanaah
    Racun
    Rakhnie
    Ramadhan
    Rasulullah
    Revisionis
    Rezeki
    Rindu
    Rumah
    Rumah Tangga
    Sahabat
    Sahur
    Saqifah
    Sastra
    Saudara
    Sayyidah Aminah
    Sayyidah Fatimah
    Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah
    Sejarah
    Sekolah
    Shahibah
    Shalat
    Shalawat
    Sidang Itsbat
    Silaturahmi
    Silsilah
    Sosial
    Spiritual
    Suami
    Suci
    Sufi
    Sunnah
    Sunni
    Surga
    Syahadah
    Syawal
    Syiah
    Tafsir
    Tajil
    Takfirisme
    Taklid
    Tanah
    Tarawih
    Tasawuf
    Tauhid
    Tsaqalayn
    Tuhan
    Ukhuwah
    Ulama
    Umat
    Umrah
    Waktu
    Waliyyul Amri
    Wasiat
    Wiladah
    Yatim
    Zawjah
    Ziarah

    Arsip

    April 2024
    March 2024
    November 2023
    October 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    July 2022
    June 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    September 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    May 2020
    March 2020
    January 2020
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    September 2018
    July 2018
    May 2018
    February 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.