Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

Benturan Nilai-nilai Islam dan Globalisasi (2) [by KH Jalaluddin Rakhmat]

15/7/2020

0 Comments

 
Nilai global yang menjadi pandangan dunia kita sekarang ini adalah nilai-nilai materialis hedonis. Nilai ini sudah merasuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Coba kita simak kisah berikut ini:
​
Seorang ayah membeli mobil baru. Anaknya sangat senang dan diam-diam mendekati mobil itu. Dengan semangat dia menuliskan sesuatu di sana. Ketika sang ayah melihat mobil barunya dicoret-coret, kemarahannya meledak. Ditariknya tangan kecil itu dan dihantamnya berulang-ulang dengan kunci Inggris. Dan terjadilah bencana yang tidak dia sangka-sangka.
 
Di rumah sakit, terlihat jari-jari anaknya remuk dan harus diamputasi. Bocah itu kehilangan semua jarinya. Ketika sadar dari operasinya, dia memandang ayahnya dengan memelas. Anak itu memohon, “Ayah, maafkan. Aku sudah mengotori mobilmu. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang, bolehkah aku minta jariku kembali?”
 
Di rumah, ayah itu menendangi mobilnya dengan penuh sesal. Kemudian, dia terpana melihat coretan anaknya. Dia membaca tulisan cakar ayam, “I love you, Dad.”
 
Keesokan harinya ayah itu bunuh diri.
 
Apa yang sudah terjadi pada ayah itu? Dia berpegang pada nilai meterialisme hedonis. Nilai hidupnya bisa disingkat menjadi sebuah kalimat using people and loving things. Dia sangat mencintai benda-benda, dan memanfaatkan orang-orang di sekitarnya untuk kepentingan dirinya.
 
Padahal, yang benar, menurut saya, nilai Islam yang universal adalah loving people and using things. Gunakan benda di alam semesta sebagai tanda syukur kepada Allah. Manusia harus kita cintai. Bukan sebaliknya, memanfaatkan manusia demi kecintaan kita kepada benda.
 
Coba kita simak syair lagu berikut ini. Using Things and Loving People, diciptakan oleh Hal David & Archie P. Jordan, dinyanyikan oleh BJ Thomas.
 
Using things and loving people
That’s the way it’s got to be
Using things and loving people
Look around and you can see
That loving things and using people
Only leads to misery
Using things and loving people
That’s the way it’s got to be

 
Being loved is in the giving
All we have is what we share
Loving life is for the living
You have to have a heart to care
And loving things and using people
Only leads to misery
Using things and loving people
That’s the way it’s got to be

 
So put your hand inside my hand
I don’t know where the road will lead
We may not find the things we want
But we will find the things we need
And all we need is love

 
Using things and loving people
Brings you happiness I’ve found
Using things and loving people
Not the other way around
‘Cause loving things and using people
Only leads to misery


Using things and loving people
That’s the way it’s got to be

For you and me
For you and me

 
Setelah bersenandung, kita menuju pada seorang kritikus besar di bidang pendidikan di Amerika: H. Svi Shapiro. Dia menulis buku Critical Social Issue in American Education. Dan saat ini yang akan akan kita bahas adalah karyanya yang lain, Losing Heart: The Moral and Spiritual Miseducation of America's Children.  Kehilangan Hati: Kesalahan Moral dan Spiritual pada Pendidikan Anak-anak Amerika.
 
Svi Shapiro menemukan bahwa di kelas-kelas di Amerika, yang ada adalah anak-anak yang mirip pegawai pabrik. Aktivitas sehari-hari mereka adalah mengejar target dan angka untuk kuantifikasi nilai pendidikan mereka. Karena pendidikan memusatkan perhatian kepada perfomance standard dan testing—seperti yang terjadi sekarang di Indonesia—semuanya diukur dari hasil ujian.
 
Di Indonesia, sekarang nilai pendidikan harus diukur dengan kuantikasikasi. Semua diakreditasi melalui angka-angka. Baik atau tidaknya suatu sekolah diukur dari jumlah angka yang diperoleh, sesuai dengan kriteria penilaian akreditasi, misalnya: apakah ada pagar di halaman sekolah, apakah ada alat laboratorium? Adakah perpustakaan di sekolah itu?
 
Akibatnya, sekolah yang tidak memiliki fasilitas seperti itu, menjelang akreditasi, akan meminjam ke sekolah lain agar angka yang menjadi targetnya terpenuhi. Yang terjadi di Indonesia, biasanya gubernur memberikan instruksi kepada Dinas Pendidikan bahwa nilai ujian nasional mereka harus lebih tinggi dari provinsi lain. Dinas berunding dengan para kepala sekolah, kemudian kepala sekolah berunding dengan para guru untuk menentukan standar kelulusan. Begitu standar kelulusan sudah ditentukan, dirancanglah sebuah cara agar guru bisa membantu murid-muridnya. Tujuannya adalah agar murid mendapat nilai ujian yang tinggi. Sekarang nilai pendidikan diukur angka, semua mengejar angka.
 
Di dunia ini, banyak orang yang mengukur nilai kemanusiaan dengan angka. Nabi kita adalah Pitagoras, karena Pitagoras berkata bahwa yang menentukan esensi kehidupan adalah angka. Tingkat kesejahteraan Anda tergantung pada angka yang tertera di rekening bank Anda. Apakah anda diterima kuliah atau tidak, tergantung pada angka ujian yang Anda peroleh saat ujian masuk. Pendeknya, semua aspek kehidupan kita diukur dengan angka.
 
Apa yang terjadi ketika ruang kelas semua mengejar angka? Menurut Shapiro, karena dipicu oleh perhatian yang tanpa batas terhadap testing & standar penilaian, sekolah kian lama kian menjelam jadi pabrik, yaitu ketika sesuatu yang paling berharga di sekolah adalah output yang bisa diukur.
 
Tidak mengejutkan jika kini pendidikan yang dialami oleh anak-anak kita kian lama kian penuh stress.Kesenangan dan makna belajar menyingkir dari perhatian orang. Anak-anak kita tidak bahagia lagi saat belajar di sekolah. Tak ada lagi kebahagiaan saat mereka menemukan sesuatu yang baru. Kebahagiaan yang mereka miliki adalah adalah kebahagiaan temporer karena mencapai angka tertentu. Kebahagiaan dan penderitaan mereka ditentukan oleh angka. Akibatnya, anak-anak kita menjadi bosan, frustrasi dan teralienasi.
 
Dalam buku Losing Heart tadi disebutkan bahwa ada beberapa hal yang menandai sistem pendidikan Amerika sekarang. Kita sekarang hidup dalam kekayaan materi yang luar biasa, tapi kosong dari makna. Tidak ada hal-hal yang memberikan kekayaan spiritual dan keyakinan pada kehidupan yang abadi.
 
Hari ini, tak ada yang bisa menolak bahwa nilai yang paling berpengaruh dan membentuk hidup kita berasal dari marketplace. Budaya kita adalah budaya pasar. Budaya kita adalah budaya membeli. Jika Descartes berkata cogito ergo sum, maka yang sekarang berlaku adalah I buy therefore I am.
 
Bagaimana saya, seperti apa harga diri saya, seperti apa status sosial saya, dan kemuliaan saya ditentukan oleh apa yang saya beli.
 
Guru dihormati karena kendaraan yang dia gunakan di sekolah. Sekolah yang baik adalah sekolah yang mahal, apalagi jika diberi embel-embel standar internasional. Masyarakat berlomba mencari sekolah yang mahal.
 
Memang, untuk mendirikan sekolah yang baik, kita perlu biaya—kadang biayanya mahal. Itu masih masuk akal, sesuai dengan falsafah Jawa, jer basuki mowo beo.
 
Namun, sekarang paradigmanya bergeser. Sekolah yang mahal adalah sekolah yang baik. Yang mahal itu pasti baik. Itu tidak logis sama sekali. Sekolah menjadi baik karena bayarannya mahal adalah hal yang tidak masuk akal. Tetapi, itulah keyakinan manusa sekarang, karena nilai manusia diukur dari barang yang dia beli.
 
The culture of selling masuk ke dunia pendidikan tanpa bisa dibendung. Sekarang pendidikan bukan lagi sebuah institusi untuk menanamkan nilai-nilai luhur. Sekolah hanya alat belaka.
 
Shapiro, dalam buku ini, membedakan antara schooling dan education. Yang terjadi di Amerika sekarang adalah schooling. Di negara itu, education sudah disingkirkan sejak lama.
 
Ivan Illich, seorang pemikir asal Austria mengkritik penyelenggaraan sekolah dengan mencetuskan deschooling society. Dia merindukan masyarakat tanpa sekolah. Menurut dia, sekolah adalah tempat untuk mencekoki anak-anak muda dengan materialisme, dan kecenderungan menjadikan pengajaran sebagai alat.  Kadang anak-anak jadi terdorong mendapatkan nilai tinggi. Bagaimana pun caranya tidak jadi soal. Tanpa menguasai materi pun, asal dapat nilai, bukan masalah bagi mereka. Pendidikan benar-benar hanya menjadi instrumen. Mahasiswa pun memilih jurusan bukan karena rasa ingin tahu ada apa dalam ilmu itu, tapi sekadar memperoleh angka-angka yang akan diyakini akan menentukan masa depannya. Dan, karena pendidikan sekarang hanya alat, yang didapatkan oleh peserta didik hanyalah kemampuan menggunakan alat, atau instrumental capacity.
 
Nilai pendidikan yang seperti itu sangat nyata dampaknya terhadap kurikulum. Karena angka yang menjadi targetnya, maka kurikulumnya pun harus berpatokan pada angka. Apa yang dikejar guru adalah memenuhi target kurikulum—tak ada waktu untuk menghidupkan the hidden curriculum.
 
Yang saya maksud dengan kurikulum tersembunyi adalah nilai yang tidak tercantum dalam pedoman dari Dinas Pendidikan.
 
Pemikiran ini membuat saya teringat pada masa kecil saya. Saat belajar di sekolah dasar, saya termasuk anak yang nakal. Saya tidak aktif bergabung dengan kegiatan teman-teman saya. Jika anak-anak lain bermain bola, saya hanya menonton. Entah mengapa, saya tidak suka dengan sepak bola.
 
Suatu saat ada pemain yang harus keluar lapangan karena kecelakaan. Tiba-tiba saya merasakan sebuah tepukan halus di pundak saya. Setelah itu terdengar ucapan, “hayu main.”
 
Saya dimintanya main, padahal saya tidak suka main bola. Saya iseng saja mengiyakan. Tapi begitu saya masuk ke lapangan, bola serta merta mendatangi saya.  Dan sampai sekarang masih terngiang d telinga saya, suara guru itu. Saya mendengarnya sebagai musik yang paling indah dalam hidup saya. Dia berteriak, “Bagus! Hebat! Ini pemain baru tapi sudah hebat!”
 
Setelah peristiwa itu, saya jadi pemain sepak bola andalan di sekolah saya. Dan sekarang, mungkin secara genetis, anak saya jadi suka bermain bola.  Saya yang semula tidak suka bermain bola, karena tepukan halus, dorongan semangat, dan apresiasi luar biasa dari guru saya tadi, jadi suka main bola. Dan kesukaan saya itu terwariskan kepada generasi sesudah saya.  
Saya meyakini, pendidikan yang kini kita terapkan bukan hanya berlaku untuk hari ini, tapi untuk puluhan bahkan ratusan tahun berikutnya. Itu pertanda bahwa bagi seorang guru, membentuk karakter seorang anak bukan melulu dengan buku kurikulum, tapi dengan the hidden curriculum, kurikulum tersembunyi.
 
Ketika berkomunikasi, menurut penelitian, 97% informasi disampaikan oleh bahasa tubuh, dan hanya 3% disampikan melalui kata-kata. Misalnya, saya membacanya dalam sebuah situs internet, ada 10 tanda bahwa seorang gadis menyukai Anda. Salah satunya adalah: Jika Anda dekati, perempuan itu bermain-main dengan rambut. Dia mungkin mengibaskan rambut, menyapukan tangannya menelusuri rambut, atau memilin rambutnya. Walau perempuan itu tidak berkata apa pun, 100% pesan bahwa dia menyukai Anda tersampaikan melalui body language.
Menurut saya, body language ini termasuk hidden curriculum. Dia tidak tercantum di dalam petunjuk penerapan kurikulum, melainkan di dalam interaksi antara guru dan murid-muridnya. Bagaimana guru berbicara di kelas, bagaimana dia menyapa murid dan memberikan semangat kepada mereka.
 
Yang juga termasuk kurikulum tersembunyi adalah bagaimana guru memberikan label kepada anak didiknya. Apa yang kita labelkan kepada anak-anak akan terekam seumur hidupnya. Jika kita sebut mereka bodoh, mereka meyakini bahwa diri mereka bodoh. Demikian pula sebaliknya.
 
Jika kita membawa kurikulum pendidikan ini ke dalam nilai kehidupan yang diajarkan Islam, kita akan mengenal dua nilai penting, yaitu nilai keimanan dan nilai kekafiran. Saya harus segera mendefinisikan kata kafir ini. Definisi yang sekarang beredar, kafir berarti non muslim. Padahal, jika saya bertanya apa dalil definisi itu, orang yang menyebut non-Muslim sebagai kafir tak akan bisa memberikan jawaban yang benar.
 
Bagi saya, orang kafir adalah yang disebut oleh Alquran sebagai segolongan orang yang jika diajar atau tidak diajar tentang kebaikan, mereka tetap tidak akan melakukan kebaikan. Salah satu golongan ini adalah yang selalu memanfaatkan orang-orang di sekitarnya, dan mencintai benda, using people loving thing.
 
Jadi, nilai Islam yang saya sampaikan hari ini bisa disimpulkan dalam formula 3 C, yaitu 
  • Compassion—kasih sayang
  • Contribution—kontribusi
  • Connectivism—keterhubungan
 
Tiga hal itulah yang menjadi nilai-nilai seorang Muslim.  (bersambung)

Artikel transkrip dari Eminent Lecture KH Jalaluddin Rakhmat di Universitas Pendidikan Indonesia, 26 Maret 2013.
0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.”
    ​
    ​ 
    (HR Al-Hakim dan Al-Thabrani)
    ​


    Picture

    Tema

    All
    Abu Nawas
    Adam
    Agama
    Ahlulbait
    Akal
    Akhlak
    Albirr
    Al-Husayn
    Ali Bin Abi Thalib
    Ali Bin Abu Thalib
    Al-Mizan
    Alquran
    Amal
    Anak
    Arafah
    Arbain Walk
    Asep Salahudin
    Asyura
    Babul
    Bahasa
    Bahjah
    Bahlul
    Bangsa
    Barzakh
    Berkah
    Bicara
    Bidadari
    Bubur Suro
    Bukhari
    Buku
    Bulan Suci
    Cerita
    Cinta
    Covid 19
    Covid-19
    Depresi
    Doa
    Dogma
    Dosa
    Dua Belas Imam
    Dunia
    Emas
    Empati
    Epistemologi
    Fatwa
    Fidyah
    Fikih
    Filsafat
    Fitrah
    Gaya Menulis
    Gender
    Gereja
    Ghuraba
    Globalisasi
    Guru
    Hadiah
    Hadis
    Haji
    Happy Birthday
    Hari Anak Nasional
    Hasan
    Hasan Bashri
    Hermeneutika
    Hitler
    Husain
    Ibadah
    Identitas Arab Itu Ilusi
    Ideologi
    Idul Fitri
    Ihsan
    IJABI
    Ilmu
    Ilmu Kalam
    Imam
    Imam Ali
    Imam Ali Zainal Abidin
    Imam Husain
    Imam Mahdi
    Iman
    Imsak
    Indonesia
    Islam
    Islam Ilmiah
    Islam Madani
    Isra Mikraj
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Jihad
    Jiwa
    Jumat
    Kafir
    Kajian
    Kaki
    Kang Jalal
    Karbala
    Keadilan
    Kebahagiaan
    Kebangkitan Nasional
    Keluarga
    Kemanusiaan
    Kematian
    Kesehatan
    Khadijah
    Khalifah
    Khotbah Nabi
    Khutbah
    Kisah Sufi
    Kitab
    Kitab Sulaim
    Konflik
    Kurban Kolektif
    Lembah Abu Thalib
    Madrasah
    Makanan
    Malaikat
    Manasik
    Manusia
    Maqtal
    Marhaban
    Marjaiyyah
    Marxisme
    Masjid
    Mawla
    Mazhab
    Media
    Miftah
    Mohammad Hussain Fadhullah
    Mubaligh
    Muhammad Babul Ulum
    Muharram
    Mujtahid
    Mukmin
    Munggahan
    Murid
    Muslim
    Muslimin
    Musuh
    Muthahhari
    Myanmar
    Nabi
    Najaf
    Nano Warno
    Negara
    Neurotheology
    Nikah
    Nilai Islam
    Nusantara
    Orangtua
    Otak
    Palestina
    Pancasila
    Pandemi
    Pendidikan
    Penyintas
    Perampok
    Pernikahan
    Pesantren
    Politik
    Post Truth
    Pseudosufisme
    Puasa
    Pulang
    Qanaah
    Racun
    Rakhnie
    Ramadhan
    Rasulullah
    Revisionis
    Rezeki
    Rindu
    Rumah
    Rumah Tangga
    Sahabat
    Sahur
    Saqifah
    Sastra
    Saudara
    Sayyidah Aminah
    Sayyidah Fatimah
    Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah
    Sejarah
    Sekolah
    Shahibah
    Shalat
    Shalawat
    Sidang Itsbat
    Silaturahmi
    Silsilah
    Sosial
    Spiritual
    Suami
    Suci
    Sufi
    Sunnah
    Sunni
    Surga
    Syahadah
    Syawal
    Syiah
    Tafsir
    Tajil
    Takfirisme
    Taklid
    Tanah
    Tarawih
    Tasawuf
    Tauhid
    Tsaqalayn
    Tuhan
    Ukhuwah
    Ulama
    Umat
    Umrah
    Waktu
    Waliyyul Amri
    Wasiat
    Wiladah
    Yatim
    Zawjah
    Ziarah

    Arsip

    April 2024
    March 2024
    November 2023
    October 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    July 2022
    June 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    September 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    May 2020
    March 2020
    January 2020
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    September 2018
    July 2018
    May 2018
    February 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.