Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Adalah di antara doa, untuk selalu dapat rebah di halaman kebesaran-Nya. Pada malam-malam qadar sejak kecil ayahku mengajarkan doa, kalimat yang dipelajarinya dari warisan para teladan mulia. “Ya Allah, anugerahkan bagiku di tahun ini, dan pada setiap tahunnya kesempatan untuk berhaji ke rumah-Mu yang suci. Yang hajinya mendatangkan kebaikan, yang sa’inya dalam limpahan syukur tak berkesudahan, yang dosa-dosanya dihapuskan dalam perkenan ampunan Tuhan. Yang usahanya tidak pernah mendatangkan kerugian.”
Setiap kali ada orang berkata ketika kepada mereka diberikan kesempatan untuk berangkat ke tanah suci, “Aku masih belum siap,” saya selalu menjawab, “Justru itu.” Aku belum bisa berangkat, aku masih punya banyak tanggungan. Aku masih punya banyak pertimbangan. Aku banyak dosa. Aku kotor, hina, aku punya banyak penderitaan. Jawabanku selalu sama: justru itu.
Ke mana lagi orang yang banyak tanggungan berharap tanggungannya diringankan? Kepada siapa lagi yang punya banyak masalah mengadukan permasalahannya? Kemanakah gerangan yang banyak dosa, yang kotor dan yang hina harus tersungkur dan merebahkan diri tak berdaya? Tak ada lagi, kecuali kepada Dia. Kepada Allah Ta’ala, Tuhan Mahasegala.
Ketika belajar di Damaskus dulu, sisa uang tabungan cukup tersedia untuk berangkat haji. Saya telepon Bapak mengabarkan padaya sisa uang dan rencanaku. Bapak menjawab dengan cepat: berangkat haji! Mengapa? Tanyaku. Lalu ia bercerita: Karena ada riwayat, bila kau dapat berangkat haji dan tidak kautunaikan karena satu urusan, maka urusan itu tak akan selesai hingga seluruh jemaah haji kembali dari tanah suci ke tanah air mereka masing-masing. Bapak bahkan menambahkan, “Itu pun kalau mereka pulang semua…”
Intinya, berangkatlah. Tak ada alasan untuk menunda. Begitu peluang dan kemampuan tersedia, berangkatlah. Sudah terlalu lama…Dia menantimu hadir di sana.
Labbaika Allahumma Labbaika.
***
Buku ini ditulis untuk memperkenalkan ibadah umrah (dan haji) bagi siapa saja. Bukan hanya untuk yang bersiap hendak berangkat. Tapi bagi siapa pun kita, karena kerinduan itu sedianya selalu membuncah dalam dada. Siapa tahu, belajar tentangnya, membaca tentangnya mendekatkan jalan kita menujunya. Saya pelajari itu dari berbagai peristiwa.
Saya pelajari itu dari mekanik di bengkel mobil yang mendendangkan kalimat talbiyyah. Saya pelajari itu dari seorang kusir delman yang diberangkatkan membantu pasangan kaya. Ketika diminta oleh Kyai untuk membantu, ia dengan cepat menjawab: Jangankan mereka, unta pun akan saya angkat. Meski sesumbar, ia tetap berangkat. Dan apa yang terjadi di tanah suci? Ia jatuh sakit. Alih-alih berkhidmat, justru ia dilayani. Alih-alih mengangkat, justru ia yang didorong kursi roda. Begitu pulang, Pak Kyai tersenyum dan berkata: Makanya, jangan sombong. Jadikan ini semua pelajaran. Kalian—katanya pada orang kaya—selama ini di tanah air dilayani, Allah Ta’ala mengajarkan kalian untuk melayani di tanah suci. Kusir ini, selama ini di tanah air melayani, dan ia diistimewakan dengan dilayani. Di tanah suci lagi.
Saya pelajari juga dari seorang Ibu dosen yang pulang seminar dan memperoleh honorarium pembicara. Ia pulang naik angkutan kota (angkot). Di perempatan, angkot itu berhenti persis di depan sebuah bank. Tiba-tiba, terbersit dalam hati Ibu dosen ini kerinduan yang bersangatan untuk berangkat ke tanah suci. Ia turun detik itu juga. Amplop honorarium ia bawa ke bank di depannya, dan ia membuka tabungan haji. Ia masih belum tahu bagaimana memenuhi rindunya.
Allah Ta’ala memberikan jawabannya. Tak lama setelah itu, Kampus pihaknya mengajar memintanya menjadi satu di antara tim yang ditugaskan untuk bekerja sama dalam sebuah proyek luar negeri. Honorarium yang diperolehnya segera ia tambahkan pada tabungan haji itu. Akhirnya, setelah memupuk rindu, sampai juga ia di halaman kebesaran rumah Tuhan itu.
Saya pelajari juga ia dari setiap Ibu dan Bapak yang saya temui di tanah suci. Dari setiap sorot mata yang meneteskan keharuan. Dari setiap rindu yang selama ini tersimpan. Dari setiap doa yang tak henti dipanjatkan. Maha benar Allah Ta’ala. Firman kudusnya mengisahkan doa Nabi Ibrahim as: Tuhan kami, sesungguhnya aku tempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak menumbuhkan tanaman, di dekat rumahMu yang dimuliakan. Tuhan kami, agar mereka menunaikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka. Dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (QS. Ibrahim [14]:37)
Hati manusia akan selalu cenderung pada tanah suci. Tetapi mengapa Alah Ta’ala menggunakan kata ‘mereka’ bukan ‘ia’. Cenderung pada mereka (keturunan Nabi Ibrahim as), bukan cenderung pada rumah Tuhan itu?
Menarik bukan? Mari kita telusuri lebih dalam.
Bismillah wa billah wa 'ala millati Rasulillah Saw. Bismillahi Allahu Akbar!
MANASIK - 1
Baik sebelum mendaftar maupun sesudah, pengetahuan tentang apa yang akan dijelang adalah keharusan. Biro penyelenggara umrah dan haji kerap menggelar manasik. Latihan tata cara peribadatan di tanah suci. Minimal sekali, bisa juga berkali-kali.
Pernah satu saat, seorang kawan hendak berangkat dan ia minta manasik singkat. Jawaban saya juga cepat, cukup dengan sebaris kalimat: umrah dan haji adalah simulasi kematian. Ia terperangah. Apa maksudnya? Umrah dan haji adalah latihan untuk mati. Latihan memutuskan hubungan dengan apa yang selama ini mengikat kita. Kain putih dan dua lembar kain kafan yang membungkus untuk mengingatkan kita. Bukankah umrah dan haji adalah memenuhi panggilan Allah Swt? Bukankah mereka yang meninggal dunia juga kita sebut “dipanggil” Allah Swt? Sama, bukan? Memang, memenuhi rukun Islam yang kelima itu adalah persiapan untuk perjalanan panjang ke alam keabadian.
Dulu, keluarga kita yang berangkat ke tanah suci berlatih memutuskan diri dengan tanah air: dengan handai taulan maupun karir. Bagi mereka yang naik kapal laut, latihan tanpa berita dari tanah air bisa mereka jalani berbulan-bulan lamanya. Kini, teknologi sedikit menghalangi simulasi keterpisahan itu. Telepon genggam dan berbagai jaringan sosial media mengikat kita senantiasa. Hubungan dengan keluarga bahkan pekerjaan tak berhenti meski sudah di tanah suci. Belajar menyerahkan dan memasrahkan seluruhnya pada Allah Ta’ala masih jauh harus dilakoni. Bagaimana latihan mati, bila hati masih terikat dengan berbagai hal duniawi?
Begitu mendarat di Bandara, baik Jeddah maupun Madinah, bahkan petugas kebersihan akan segera menawarkan, “Perdana…perdana. Kartu perdana, internet…” Dengan harga kartu perdana senilai 70-80 SR (Saudi Real), lalu ditambah paket data seharga yang sama, kita bisa kembali berkomunikasi dengan mudah. Saran saya, karena sulitnya melepaskan diri genggaman alat elektronis itu, dari ia yang kita pegang lebih sering dari kitab suci, setidaknya sewaktu ibadah, ketika berihram kita tanggalkan lebih dahulu. Kita non aktifkan lebih dahulu. Toh, masuk pesawat pun ada airplane mode. Ini ibadah mode. Dan, gunakanlah provider tanah air. Selain mendukung produk dalam negeri, cukup praktis dan efisien.
Walhasil, latihan kematian itu diperingan sedikit dengan kemudahan teknologi. Bagaikan para tawanan, kita tak dapat melepaskan diri dari ikatan itu. Di antara doa bulan suci Ramadhan juga adalah: Ya Allah, bebaskanlah setiap yang tertawan. Adakah kita termasuk di antaranya? Ada dua hal yang sulit dilepaskan dari keterikatan duniawi itu: komunikasi dan perniagaan. Di tanah suci, beragam peribadatan mungkin tak mudah dilaksanakan. Ada berbagai larangan. Tapi, takkan pernah ada larangan untuk membeli barang-barang. Setiap usai shalat fardhu, pembeli dan penjual berinteraksi dengan leluasa. “Mari mari, Indonesia…murah-murah.” Mereka bahkan sudah fasih berbahasa Indonesia. Tahu angka-angka, dan bisa berkutat dalam tawar menawar seperti di pasar-pasar kita.
Konon, orang Indonesia dikenal ramah. Banyak senyum dan mudah diatur dalam ibadah. Bila perempuan diminta menunggu untuk ke Rawdhah, mereka akan menunggu. Di tanah air sudah dibekali dalam berbagai manasik itu: sabar, sabar, dan sabar. Karenanya, kata orang Arab, (dalam perkara ibadah) orang Indonesia itu: bekheir, bekheir. Baik baik. Tapi giliran belanja, orang Indonesia itu: bakhil, bakhil. Pelitnya luar biasa! Apa pasal? Karena proses tawar menawar yang lebih curam dari Kingda Ka, Roller Coaster terkenal yang menukik menghunjam jantung di New Jersey Amerika itu. Berdagang memang seni penawaran. Orang-orang Arab, Gujarat dan Persia yang datang untuk berdagang dulu itu, takluk oleh kehebatan pembeli tanah air. Alih-alih pulang ke tanah air mereka, mereka pun tinggal di Nusantara. Karena tak dapat menaklukkan para pembeli kita. Hidup Indonesia!
MANASIK - 2
Nah, pada waktu manasik itu biasanya dijelaskan jadwal perjalanan, wasiat untuk handai taulan, suntik meningitis di Kantor Kesehatan, hingga tata cara melilitkan dua lembar kain putih untuk kelak berihram bagi laki-laki. Tentu, yang paling utama adalah tata cara pelaksanaan ibadah haji dan umrah itu. Saya, biasanya menjelaskan dalam empat bagian.
Tekait dengan pelaksanan ibadah itu ada empat hal yang berjalin berkelindan tak terpisahkan: tata caranya, atau kita sebut fiqih; pelajaran kehidupan yang kita petik, kita sebut ia hikmah; sejarahnya, yang berhubungan erat dengan ziarah; dan menjaga kondisi hati, yang saya sebut dengan adab. Mari mulai dari yang terakhir.
Adab. Adab adalah ‘suasana kebatinan’. Sebut saja ia adab batiniah. Dalam ibadah ada tata cara lahiriah yang diajarkan melalui fiqih, dan ada suasana kebatinan itu. ia tidak berkaitan dengan lengkap tidaknya. Ia bisa berkaitan dengan diterima atau tidaknya. Bahkan dengan sah atau batalnya ibadah kita. Kesempurnaan ibadah ditentukan oleh adab batiniah ini. Bukankah ada riwayat dari Baginda Nabi Saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak melihat (menilai dari) jasmani dan bentuk luar, melainkan pada apa yang ada di dalam hati.” (HR. Muslim 4:1986 No. 2564, Kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab).
Satu saat, saya dan seorang kawan tengah berdoa di bawah kaligrafi nama Imam Muhammad al-Mahdi ra di Madinah. Di sebuah ruangan terbuka berhadapan dengan ruangan terbuka halaman Masjid Nabawi. Seluruh Masjid Nabawi tertutup, kecuali dua ruangan terbuka itu. Para jamaah yang shalat akan dinaungi oleh payung-payung besar seperti yang ada di pelataran masjid. Bila sore atau malam hari, payung-payung itu ditutup, menyisakan langit hitam yang bersih, udara yang segar, dan pemandangan langsung ke arah kubah hijau Baginda Nabi Saw.
Imam Muhammad al-Mahdi ra adalah satu di antara dua belas Imam Mazhab Ahlul Bait as yang namanya dipahatkan dalam kaligrafi bersama para sahabat Nabi Saw di Masjid Nabawi. Imam Muhammad al-Mahdi ra bukan sahabat, melainkan tabi’in, tabi’it tabi’in generasi kesekian. Selain para Imam mazhab Ahlul Bait, nama yang dipahatkan di dua ruangan terbuka itu adalah nama para sahabat. Konon, halaman terbuka itu terpelihara sejak zaman para sahabat hingga zaman kekaisaran Utsmani. Sebagaimana yang nanti akan dikisahkan pada bagian Madinah di buku ini. Kaligrafi selain nama sahabat adalah ayat-ayat Al-Qur’an di bagian masjid lama dan nama jalalah Allah Ta’ala di seluruh bagian perluasan masjid.
Apa yang saya pelajari? Masjid Nabawi adalah contoh persatuan mazhab. Dan ini ada kaitannya dengan adab yang pertama: untuk tidak membanding-bandingkan. Di Masjid Nabawi kita akan temukan beragam cara peribadatan. Untuk ketenangan batin itu, kita dianjurkan untuk tidak terlalu memperhatikan, membandingkan, bahkan berdiskusi tentang kebenaran tata cara masing-masing. Ada yang sedekap di perut, di dada, di samping, bahkan lurus tangan tanpa sedekap sama sekali. Ada yang tahiyat dengan sekali menggerakkan tangan, ada juga yang berkali-kali. Ada yang menggerak-gerakkannya ke atas dan bawah, ada pula yang ke kiri dan kanan. Dan ada juga yang memutar searah jarum jam. Lalu, ini favorit saya, ketika tahiyat akhir kita tidak akan menemukan jamaah yang duduk dengan memiringkan kepalanya, kecuali jamaah dari Indonesia. Rata-rata kebanyakan Kaum Muslimin duduk tahiyat akhir dengan posisi duduk dan kepala yang tegak. Dalam bahasa Sunda, miring sedikit itu disebut _‘nyengeyeng’_. Jadilah itu istilah populer di antara kawan-kawan: mazhab nyengeyeng.
Mengapa ia jadi adab yang paling utama? Karena di hadapan Baginda Nabi Saw kita terlarang meninggikan suara. Bisa hapus seluruh amal kita dan kita tidak menyadarinya (QS. Al-Hujurat [49]:2). Ketika berhaji kita pun dilarang untuk berdebat, karena ia dapat membatalkan seluruh ibadah kita (QS. Al-Baqarah [2]:197). Terutama sekali, karena adab yang paling utama adalah tidak ada bedanya antara Baginda Nabi Saw hidup dan setelah wafat beliau. _Jangan sekali-kali kaukira orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup tetapi kamu tidak menyadarinya_ (QS. Al-Baqarah [2]:154). Maka di hadapan Baginda Nabi Saw, tak patut berdebat. Tak patut merasa lebih benar, lebih saleh, lebih dekat pada ketakwaan. Yang tahu hanya Allah Swt.
Masjid Nabawi (dan Masjidil Haram) adalah simbol persatuan kaum Muslimin. Orang dari berbagai latar belakang mazhab saling menghormati sesama. Sebagaimana ditunjukkan pada kaligrafi di dua tempat terbuka itu. Di Masjid Nabawi dua mazhab besar dalam Islam: Mazhab Ahlus Sunnah dan Ahlul Bait as bersatu. Kaligrafi para sahabat zaman awal disandingkan dengan kaligrafi para tabi'in Imam mazhab Ahlul Bait as. Toh, meski sezaman dengan sebagian Imam mazhab Ahlul Bait as, tak akan kita temukan kaligrafi Imam Bukhari dan Imam Muslim, atau para Imam mazhab empat yang lainnya: Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Malik atau Imam Syafi’i.
Pernah ada seorang guru saya berkisah. Jika Baginda Nabi Saw diibaratkan orangtua. Lalu di hadapannya ada dua putranya sedang makan bersama. Kemudian mereka adu pendapat tentang siapa yang paling benar di antara mereka. Bagaimanakah perasaan orangtua? Tentu mereka rindu melihat anaknya rukun hidup bersama, meski ada perbedaan di antara mereka. Begitulah--kata guru saya--kiranya Baginda Nabi Saw. Meski umat mungkin berbeda pendapat, Baginda Nabi Saw tentu bahagia jika umat tetap bersama, memelihara kerukunan dan persaudaraan. Saling membantu dalam persatuan.
Di bawah kaligrafi Al-Mahdi ra di Masjid Nabawi itu, ketika berdoa saya dan kawan saya dikejutkan seseorang. Ia bertanya arah ke Rawdhah. Agak aneh, kok kami yang dipilih. Wajahnya bersih, tipikal orang Arab bagian utara, agak putih sedikit kebule-bulean. Ia mengenakan serban hijau. Kami terpana. Bagaimana mungkin ia tidak tahu arah Rawdhah? Tidakkah ia tahu kami sedang membaca doa? Mengapa ia menghentikan kami dan bertanya? Untuk beberapa saat, kami termangu. Lalu kawan di sampingku berkata, “Ujian yang paling berat, memang adalah ujian hati.”
Adab batiniah untuk lulus ujian hati itu diawali dengan tidak membanding-bandingkan. Luruskan saja niat. Lakukan sebaik-baiknya, dan pasrahlah kepada Allah Swt.
MANASIK - 3
Membanding-bandingkan itu tidak hanya meliputi ibadah, tetapi juga dalam perkara keseharian, termasuk belanja. Hindari membandingkan koper orang lain, belanjaan orang lain, telepon genggam orang lain, menu makan kelompok travel lain dan semisalnya. Kita melatih hati untuk bersiap dalam sebuah perjalanan suci. Bila berhasil menawar dalam sebuah negosiasi belanja, cukuplah itu disimpan sendiri, tidak perlu ceritanya dibagi. “Tadi ada orang jual parfum hajar aswad. Satu kotak isi dua belas harganya lima puluh real. Aku bisa tawar jadi tiga puluh lima real.” Ia merasa bahagia. Kali berikutnya, ia akan mendengar, “Aku dapat dengan harga 20 real lho Jeng…” Bayangkan dilema hati itu. Nanti, sesampainya di Jeddah, di sebuah tempat bernama Corniche atau Balad, barang yang sama, dengan jumlah yang sama boleh jadi diperoleh seharga 10 SR. Berhentilah membandingkan.
“Aku bisa mencium hajar aswad”. Bersyukurlah pada Tuhan, mungkin di samping kita ada orang yang tak bisa menciumnya. “Aku dapat shalat di Rawdhah tadi malam.” Alhamdulillah, pujilah Tuhan. Boleh jadi ada di antara kita yang belum memperolehnya. Menyampaikan semua nikmat itu baik, sangat indah. Tetapi, bila dalam penyampaian itu terselip keakuan, maka inilah keadaan hati yang paling harus dihindarkan.
Umrah, haji dan seluruh ibadah sejatinya adalah proses menghilangkan keakuan itu. Keakuan yang akan tersembul, mengintip, menanti celah untuk menyertai perjalanan. Keakuan yang akan menghilangkan seluruh keberkahan. Keakuan seperti (misal) cerita berikut ini.
_Dalam sebuah perjalanan pulang dari Terminal Haji Bandara Jeddah, pesawat yang kutumpangi kali ini mengambil rute langsung ke Jakarta. Sebuah perjalanan yang panjang, lebih dari sembilan jam. Proses cek in yang semrawut menempatkan jamaah kami terpisah, tercerai berai. Aku dapat kursi di bagian tengah. Kursi yang paling tidak aku sukai. Tidak bisa bersandar ke jendela untuk tidur. Tidak pula leluasa untuk ke kamar kecil. Lalu, dua orang di sampingku bukan orang yang aku kenal. Ah, ini perjalanan pulang yang akan sangat panjang._
_Menyadari kekikukanku, orang di sampingku, berpakaian putih berjenggot secukupnya dan peci haji di kepala. Kaki kanan ia silangkan di atas kaki kiri. Ia menoleh kepadaku dan bertanya, “Umrah, Mas?” Dalam hati pikirku, ini Terminal Haji Jeddah, ini terminal khusus jamaah umrah. Tetapi, adab ketimuran mengharuskanku untuk menjawab. “Iya,” aku mengangguk. Aku tahu, adab ketimuran itu tak cukup di situ. Aku harus bertanya pula, “Mas, umrah juga?” “Ya.” Ia cepat menjawab, “Berapa kali umrahnya?” tanyanya kemudian. Aku menjawab, “tiga kali, alhamdulillah.” Dan hening._
Aku tahu, adab ketimuran menuntutku untuk juga bertanya yang sama. Sudah lama kutahan. Dalam batin kubergumam, “tanya jangan, tanya jangan ya…” dan akhirnya aku menyerah. “Mas, berapa kali?” Kemudian ia tersenyum dan berkata, “Alhamdulillah, dua puluh empat kali!” Masya Allah! Aku terperangah. Bahkan aku berucap, “Masya Allah Mas, luar biasa!” Dan kami pun menjadi teman perjalanan. Rupanya, ia tinggal di Makkah selama delapan hari. Dan selama delapan hari itu, setiap hari ia mengambil miqat tiga kali. Bersama dua orang pemuda sahabatnya, ia umrah pagi lalu istirahat, siang lalu istirahat, dan kemudian malam hari. Jarak tempat miqat Makkah di Tan’im memang tidak terlalu jauh. Bagi yang kondisi fisik fit dan sehat, umrah berkali-kali bukan halangan.
Semua itu baik saja, sekali lagi jika tak ada unsur keakuan di dalamnya. Jika tak berlapiskan tirai tipis kesombongan. Ya Allah, alangkah panjangnya perjalanan. Bila keakuanku tak bisa aku luruhkan, alam barzakh akan menghancurkannya dengan paksa. Dengan hantaman gada raksasa. Karena tak boleh seorang pun kembali pada Tuhan dengan membawa sekecil dzarrah pun kesombongan. Ampuni…ampuni.
@miftahrakhmat