"Sungguh orang yang pernah sepenuhnya kepada Allah sambil berbuat baik, maka baginya pahala disisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidaklah mereka berdukacita. Berkata Yahudi: Nashara tidak akan mendapat apa-apa. Berkata Nashara: Yahudi tidak mendapatkan apa-apa. Padahal mereka membaca, Seperti itu juga berkata orang-orang yang tidak mengerti, seperti pembicaraan mereka. Maka Allah akan menyelesaikan pada hari kiamat apa yang mereka perselisihkan" (Q.S. Al-Baqarah: 111-113).
Gamal al-Banna adalah aktivis muslim, yang anggota al-Ikhwan al-Muslimun. Kita mungkin menyebutnya fundamentalis dan anti-Barat. Ia berjuang untuk menegakkan “negara tauhid”, negara yang berdasarkan kalimat Lâ ilâha illallâh. Perjalanan hidupnya, riwayat perjuangannya, dan kisah-kisah kegagalannya mengantarkannya kepada sebuah refleksi yang mendalam. Ia “mengunjungi kembali” pemikiran Islamnya. Di balik terali penjara, dalam ancaman penguasa (muslim) yang tidak berperikemanusiaan, di tengah-tengah hiruk-piku Kairo yang menyesakkan, ia menemukan epifani. Ia melihat dunia dengan cara yang baru. Marilah kita ikuti permenungannya:
"Di negara-negara yang tidak memeluk Islam masyarakatnya bekerja dengan gigh dan ikhlas. Mereka memiliki kejujuran dalam berkata, profesionalime, menepati janji, dan ahlak-ahlak lainnya. Mereka juga menganggap kebohongan pejabat dalam memberikan keterangan atas satu perkara di depan pengadilan atau institusi negara merupakan kejahatan besar yang bisa diampuni kecuali dengan pemecatan. Contohnya kasus yang menimpa Nixon yang menuduh musuh politiknya melakukan tindakan mata-mata. Begitu juga dengan Clinton yang memiliki “hubungan khusus” dengan salah seorang pegawai gedung putih. Mereka menerima celaan, cacian, dan denda yang tidak sedikit. Sedangkan sebagian besar pemimpin di negara-negara muslim selalu melakukan kebohongan publik dan penyelewengan. Kerja mereka hanya menindas dan mengekang, Atas dasar alasan ini, maka masyarakat Eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allah dan idealisme Islam dibanding banyak masyarakat yang mengaku sebagai pemeluk Islam.
"Saya ingat masa ketika saya berada dalam tahanan di Tursina bersama orang-orang al-Ikhwan al-Muslimun pada tahun 1948. Ketika itu tempat tahanan berada ditengah padang pasir yang di malam hari terang dengan berbagai cahaya lampu yang dipasang untuk mempermudah penjagaan. Pemasangan lampu dilakukan oleh para para tahanan yang memiliki keahlian dalam kelistrikan. Mereka juga menggunakan listrik untuk memanaskan air, mandi, dan memasak. Saya berkata kepada mereka bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk surga karena telah menemukan lampu yang kemudian digunakan manusia sebagai penerang. Mendengar ucapan saya, mereka menolak dengan keras, ”Tidak karena dia tidak beriman kepada Allah dan Rasul -Nya.” Mereka seolah menganggap bahwa Islam telah dikenal di Amerika dan Rasulullah telah mengajak Edison kepada Islam. Oleh karena itu mereka telah menolak pendapat saya.
"Saya membalas penolakan mereka dengan mengutip firman Allah: “Katakan,’Andai kalian menguasai gudang-gudang rahmat Tuhanku, kalian pasti akan menahannya karena takut untuk berderma. Sesungguhnya manusia sangat kikir’,” (Q.S. al-Isra’:100).
"Sudah saatnya bagi para dai Islam untuk mengetahui bahwa mereka tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang yang beragama selain Islam. Mereka tidak berhak mengklaim bahwa selain orang Islam akan masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan di tangan mereka. Sikap seperti itu merupakan pelarangan keras terhadap wewenang Allah. Yang di tuntut dari para dai, setelah AlQuran mengatakan, ”Wahai orang-orang yang beriman, diri kalian adalah tanggung jawab kalian. Orang-orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian mendapat petunjuk,” (Q.S. al-Maidah: 105) adalah menjadi saksi atas manusia”. Para dai hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka kemudian menyerahkan segalanya kepada mereka. Urusan konversi agama tidak hanya menyangkut iman dan teori. Ini juga menyangkut hubungan sosial dan konskuensi-kosekuensi selanjutnya. Hidayah hanya datang dari Allah, bukan dari seorang rasul".¹
Gamal al-Banna berubah dari seorang ekslusif menjadi seorang pluralis. Secara sederhana, umat beragama yang ekslusif berpendapat bahwa hanya pemeluk agamanya saja yang selamat dan masuk surga. Diluar lingkungan agama kita, semuanya masuk neraka. Dalam bahasa Gamal al-Banna, seorang ekslusivis merasa “menguasai gudang-gudang rahmat Tuhan” dan menahannya hanya untuk kelompoknya saja. Rahmat Tuhan itu meliputi langi dan bumi, tetapi kasih sayang kaum ekslusivis terbatas pada rumahnya sendiri. Mereka berkata yang masuk surga hanya orang Islam saja. Sebagian mengatakan: itu pun tidak semua orang Islam. Umat Islam akan pecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali golonganku. Lebih lanjut dalam golonganku, semuanya masuk neraka kecuali mereka yang ikut pada Ustaz Fulan saja. Maka rahmat Allah yang meliputi langit dan bumi sekarang diselipkan di sudut surau yang sempit.
Bertentangan dengan kaum ekslusivis adalah kaum pluralis. Mereka berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Each one is valid within its particultural cultur. Mereka percaya rahmat Tuhan itu luas. “Al-Khalqu ‘iyali”, firman Tuhan dalam hadis qudsi. Semua mahluk itu keluarga besar Tuhan. Mereka tidak mengeri mengapa ada manusia yang yang berani membatasi kasih sayang Tuhan. Mereka heran mengapa ada orang yang mengambil alih wewenang Tuhan. Al-Banna bertanya:
“Keberanian yang luar biasa dalam merampas wewenang Allah! Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah mereka yang menenggelamkan manusia kedalam neraka? Atas dasar apa mereka membangun kesimpulan itu? Bagaimana kesadaran mereka atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus lipat kebaikan? Kasih sayang seorang ibu hanyalah satu dari seratus kasih sayang-Nya. Dia tidak akan menenggelamkan manusia ke dalam neraka, kecuali manusia-manusia pembangkang yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi ini.”²
Pertanyaan al-Banna adalah juga pertanyyan saya sekian lama. Jawaban saya sama seperti jawaban al-Banna. Kasih sayang Tuhan jauh lebih luas daripada kasih sayang ibu kepada anak-anaknya.’Tetapi apakah itu punya dasar dalam Alquran? Dalam ulisan ini, saya ingin menunjukan sebagian dari dalil-dalil pluralisme dalam Alquran dan komentar ahli tafsir berkenaan dengannya. Saya memiliki dua buah tafsir saja. Pertama, Tafsir, yang di tulis oleh Sayyid Husseyn Fadhlullah, tokoh Hizbullah Lebanon, mewakili mazhab Ahlul Bait: kedua, Tafsir al-Manâr yang ditulis oelh Sayyid Rasyid Ridhâ, tokoh pembaru Islam yang dikenal sebagai fundamentalis, mewakili mazhab Ahlussunnah;
Ayat-ayat Pluralisme
Apakah orang-orang “kafir” (non-muslim) menerima amal pahala salehnya? Benar menurut al-Baqarah: 62, yang diulang dengan redaksi yang agak berbeda pada al-Mâ’idah: 69 dan al-Hajj: 17.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi, Nasrani, dan orang-orang Shabiin³, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah. Hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Sayyid Husseyn Padhlullah dalam tafsirnya menjelaskan:
Makna ayat ini sangat jelas, Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh, (cetak tebal dari penulis).
Ayat-ayat itu memang sangat jelas untuk mendukung pluralisme, Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan bermal saleh. Sebagian mufasir yang ekslusif mengakui makna ayat-ayat ini sebagaimana dijelaskan oleh Husseyn Fadhlullah, tetapi mereka menganggap ayat-ayat itu dihapus (mansûkh) oleh Al ‘Imrân: 85: Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Mereka bersandar pada hadis —yang lemah—dari Ibn ‘Abbas (lihat, misalnya, Tafsir al-Thabarî).
Menurut Sayyid Husseyn Eadhlullah makna ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang kita bicarakan. Karena itu, tidak ada ayat yang di mansukh. Islam pada Al ‘Imrân 85 adalah Islam yang “umum, yang meliputi semua risalah langit, bukan Islam dalam arti istilah”, bukan islam dalam arti agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kesimpulan itu diambil Fadhlullah dari konteks ayat itu. Pada Al ‘Imrân 19, Tuhan berfirman: Sesungguhnya agama itu di sisi Allah adalah Islam. Menurut Alquran semua agama itu Islam. Ini diperkuat dengan aayat-ayat lain: Ingatlah ketika Tuhannya berkata kepadanya (Ibrahim); Islamlah kamu, Ibrahim berkata: Aku Islam kepada Tuhan pemelihara semesta Alam. Dn ketika Ibrahim dan Ya’qub berwasiat dengannya kepada anak-anaknya : Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih bagi kamu agama, maka janganlah kamu mati kecuali kamu menjadi orang-orang Islam (Q.S. al-Baqarah: (131-132).
Seperti Fadhlullah saya pun berpendapat bahwa Islam dalam Al-‘Imrân: 85 adalah “kepasrahan total” (Lihat Bab 2 dalam buku ini, untuk uraian yang lebih dalam tentang makna “al-din” dan “al-islam”). Lebih lanjut, Fadhlullah mengatakan bahwa al-Baqarah: 62 di maksudkan untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Ia menyindir orang yang merasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriah saja. Keselamatan adalah berpegang teguh pada keimanan kepada Allah dan amal saleh. Dalam Alquran , orang-orang yang berpegang pada keselamatan karena nama disindir sebagai bersandar pada angan-angan: (pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab, Barang siapa mengerjakan kejahatan. Niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dar Allah (Q.S. al-Nisâ’: 123)⁴
Ayat ini, Al-Nisa 123, juga disebut oleh Sayyid Rasyid Ridhâ⁵ ketika menjelaskan al-Baqarah 62:
Artinya hukum Allah itu adil dan sama. Ia memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunah yang sama, tidak berepihak pada satu kelompok dan menzalimi kelompok yang lain. Ketetapan dari sunah ini ialah bahwa bagi mereka pahala tertentu dengan janji Allah melalui lisan Rasul mereka …
Ayat ini menjelaskan sunah Allah Swt dalam memperlakukan umat-umat baik yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan Allah Swt: ( pahala dari Allah)itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa mengerjakan kelahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barang siapa mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun(Q.S. al-Nisâ’. 123-124).
Tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi saw. Ayat ini menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai Nabi dan wahyunya masing-masing, yang mengira bahwa kebahagiann pada hari akhirat seakan-akan pasti akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nashara, atau Shabiah, misalnya. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok keagamaan (jinsiyyah diniyyah). Keselamatan dicapai dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia. Karena itu, tertolaklah anggapan bahwa keputusan Allah bergabtung pada angan-angan Ahli Kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusan Allah bergantung pada amal baik dan iman yang benar.
Dikeluarkan oleh Ibn Jarîr dan dan Ibn Abî Hatim dari al-Suddi. Ia berkata: Islam bertemu dengan orang-orang Yahudi dan Nashara. Orang Yahudi berkata kepada orang Islam: Kami lebih baik dari kalian. Agama kami sebelum agama kalian dan Kitab kami sebelum kitab kalian. Nabi kami sebelum Nabi kalian. Kami mengikuti agama Ibrahim. Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi. Berkata juga orang Nashara seperti itu. Maka berkatalah orang Islam: Kitab kami sesudah kitab kalian, Nabi kami sesudah Nabi kalian, dan agama kami sesudah agama kalian. Kalian telah diperintahkan untuk mengikuti kami dan meninggalkan urusan kalian. Kami lebih baik dari kalian. Kami berada pada agama Ibrahim, Ismâ’îl, dan Ishâq. Tidak akan masuk surga kecuali orang yang memeluk agama kami. Allah menolak perkataan mereka dengan berfirman: Bukankah angan-angan kamu dan bukan juga angan-angan Ahli Kitab… seperti itu juga diriwayatkan dari Masrûq dan Qarâdah. Juga al-Bukhârî meriwayatkan dalam AL-Târîkh dari hadis Anas sampai kepada Nabi saw: Bukankah iman dengan angan-angan, tetapi dengan apa yang terhunjam dalam hati dan dibenarkan oleh amal.
Ada yang dilalaikan oleh angan-angan mendapat ampunan sampai ia keluar meninggalkan dunia tanpa kebaikan padanya. Mereka berkata; kami berbaik sangka kepada Allah. Mereka bohong. Kalau berbaik sangka kepada Allah pasti mereka beramal baik. Pelajaran yang berharga dari Allah adalah kecamannya kepada orang-orang yang terbuai dengan punya hubungan dengan agama walaupun secara lahiriah. Keterbuaian (bahwa orang akan selamat hanya karena menganut agama Islam—jalal) inilah yang memalingkan mereka dari amal, sehingga merasa cukup dengan menisbahkan dirinya pada kelompok agamanya.
Walhasil, menurut Ridhâ, orang yang merasa pasti akan selamat hanya karena dia Islam, Nasrani, atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrin) dengan nama. Keselamatan, untuk mengulangi lagi yang sudah terlalu jelas, bergantung pada tiga syarat: keimanan kepada Allah, keimanan kepada hari pembalasan, dan amal saleh.
Bantahan Kaum Ekslusivis
Ada tiga cara untuk membantah ayat yang membenarkan pluralisme ini. Pertama, mereka mengatakan bahwa ayat ini sudah di mansukh dengan Al ‘Imrân: 85 (sudah dijawab Fadhlullah diatas). Kedua, Ayat ini hanya berlaku untuk orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin sebelum kedatangan Nabi saw. Jadi, orang Islam pada zaman Islam, orang Nasrani, Yahudi, dan Shabiin pada zamannya masing-masing akan memperoleh pahala dari amal salehnya. Zaman ini zaman Islam. Karena itu, selain Islam, semua agam kehilangan validitasnya, sebagaimana kedatangan Republik menyebabkan uang Belanda tidak berlaku. Argumentasi berdasarkan analogi ini tidak punya dalil yang memperkuatnya dalam Alquran dan sunah. Sebuah ayat yang bermakna umum tidak boleh diartikan khusus kecuali dengan keterangan yang kuat.
Ketiga, mereka menafsirkan “beriman kepada Allah” sebagai beriman kepada Islam, karena Allah adalah konsep khusus untuk Islam. Allah adalah Tuhan bagi Islam. Kristus Tuhan bagi umat Kristiani. Wisnu Tuhan bagi orang Hindu, dan sebagainya. Erat kaitannya dengan argumentasi ini adalah keimanan pada hari akhir dan amal saleh. Hari akhir yang harus diimani adalah hari akhir menurut penjelasan syariat Islam. Amal saleh juga adalah amal yang berdasarkan syariat Islam. Dengan penafsiran seperti ini, kita melihat perubahan drastis dari ayat pluralis menjadi ayat ekslusivis. Secara terperinci ayat ini berarti “Sesungguhnya orang-orang Islam, orang Yahudi, Nasrani, dan Shabiin yang kemudian masuk Islam (dengan beriman kepada Tuhan oarang Islam, dan akidah Islam serta beramal sesuai dengan syariat Islam) akan memperoleh pahala disisi Tuhan mereka”.
Lepas dari redundansi yang menggelikan dari segi bahasa, kita akan membuktikan bahwa menurut Alquran Allah itu adalah Tuhan yang sama seperti yang diimani oleh Ahli Kitab bahkan orang musyrik. Simaklah ayat-ayat Alquran di bawah ini:
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim diantara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu dan kami hanya kepadanya berserah diri. (Q.S. 29: 46)
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakh yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah” maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan dari jalan yang benar (Q.S. 29: 61).
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah” maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah) (Q.S. 43: 87).
Mengapa Harus Ada Berbagai Agama?
Kalau semua agama itu valid, kenapa Tuhan repot-repot bikin agama yang bermacam-macam. Kenapa Allah tidak menjadikan semua agama itu satu saja? Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu? Alquran menjawabnya dengan indah:
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami memberikan aturan dengan jalan yang terang (syir’atan wa minhâjan). Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja . Tetapi, Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (fastabiqû al-akhayrât). Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya (ilâ Allâhî marji’ukum jamî’â). Lalu diberitahukannyakepada apa yang telah kamu perselisihkan itu (Q.S. al-Mâ’idah 48).
Dari ayat ini kita menyimpulkan beberapa hal. Pertama, agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya (syariat) dan pandangan hidupnya (akidah). Karena itu, pluralisme sama sekali tidak berarti semua agama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan. Kedua, Tuhan tidak menghendaki kamu semua menganut agama yang tunggal. Keragaman agama ini dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya adalah seberapa banyak kita memberikan konstribusi kebaikan kepada umat manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam memberikan konstribusi kepada kemanusiaan (al-khayrât). Ketiga, semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di anatara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa.
Wallâhu a’lam bi al-Shawâb.[]
Catatan:
¹ Gamal al-Banna, al-Ta’addudiyyah fi al-Mujtama’ al-Islami. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Taufik Damas Lc, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran. Bekasi: Penerbit Menara, 2006, h.38-40
² Ibid, h.41
³ Shabiin, berdasarkan kitab-kitab tafsir, bisa menunjuk pada berbagai agama selain Islam
⁴ Sayyid Muhammad Huseyn Fadhlullah, Tafsir Min Wahy al-Quran, Beyrut: Dar al-Malak, 1998, h.70
⁵ Sayyid Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, Beyrut: Dar al-Ma’rifah, tanpa tahun, 1: 336-338.
(Sumber diambil dari buku: ISLAM DAN PLURALISME: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan karya Jalaluddin Rakhmat. Penerbit Serambi, 2006)