
Masih tentang berpikir. Mohon pencerahan dari teman-teman semua. Menarik melihat postingan di sosial media. Berbagai lintas kata yang dengan segera diabadikan satu sentuhan jari saja. Kata Imam Ali as, “Lisaan al-‘aaqil wara’a qalbihi, wa qalbu al-ahmaq wara’a lisanih.” Lisan orang yang berakal di balik hatinya, dan hati orang dungu di balik lidahnya. (Nahjul Balaghah, Hikmah 40).
Kata Syarif Radhi yang mengumpulkan kalimat-kalimat Amirul Mu’minin as itu, “Ini kalimat yang menakjubkan. Maknanya adalah bahwa seorang yang berakal tidak akan menggerakkan lidahnya kecuali setelah ia pikirkan dengan baik, setelah ia renungkan dengan saksama. Adapun orang dungu sebaliknya. Kecepatan lidah (juga jarinya di zaman modern ini –tambahan dari saya) melebihi pikirannya. Sesungguhnya lisan orang yang berakal mengikuti hatinya, dan hati orang dungu mengikuti lisannya.” Singkatnya, orang pintar berpikir dulu baru bicara. Yang belum pintar, bicara dulu berpikir setelahnya.
Sepertinya kalimat Imam as itu layak kita pajang, bila perlu dengan tinta emas, di depan layar telepon genggam atau laptop kita. Berhati-hatilah copy paste. Pikirkan dulu sebelum posting. Renungkan, baru berpendapat. Dan itu tidak mudah. Jari ini seperti gatal ingin segera berkomentar. Ingin jadi yang pertama berbagi berita. Ingin seluruh dunia mengetahui isi kepala kita.
Mohon bantuan teman-teman agar saya menjernihkan pikiran. Ada dua contoh. Pertama, komentar yang melanjutkan kritik terhadap hadis “Dua pusaka: Al-Qur’an dan Keluarga Nabi Saw.” Katanya, hadis itu tidak bisa jadi landasan kesucian Keluarga Nabi Saw. Karena kitabullah suci, maka keluarga nabi pun suci. Menurutnya, membandingkan harus punya kesamaan sifat dan jenis. Kitabullah adalah kalam Ilahi (bukan makhluk) dan tidak berjenis sedangkan keluarga Nabi Saw adalah makhluk dan berjenis. Ini prinsip ‘bukan apple to apple’ itu.
Saudaraku, mohon pencerahan. Bagi saya, ada yang substantif dan ada yang aksiden. Ada yang inti dan ada yang tambahan. Bila demikian halnya, maka hadis “Kitabullah dan Sunnati” bisa diperkarakan karena hal yang sama. Sebagaimana hadis Nabi Saw (yang menjadi sumber Sunnah) itu ada yang dhaif bahkan mawdhu’, beranikah kita mengatakan kesamaan bahwa Al-Qur’an pun ada yang dhaif dan mawdhu’? Sama sekali tidak seperti itu. Kesamaan itu ada pada esensi, pada yang substansi. Sunnah Nabi Saw YANG BENAR itu sama seperti Al-Qur’an. Bukan karena ia kalam dan yang satu perilaku makhluk, tapi karena keduanya mengantarkan pada kebenaran. Keduanya SAMA sebagai jalan menuju Tuhan. Begitu pula hadis Kitabullah dan ‘Itrati. Keduanya sama sebagai jalan menuju Tuhan.
Bila prinsip sama itu diambil dari makhluk atau bukannya, bagaimana dengan riwayat berikut ini: “Aku tinggalkan bagi kalian dua penasihat: yang satu menasihati dengan bicaranya, yang lain dengan diamnya. Yang bicara Al-Qur’an, yang diam kematian.” Riwayat itu sebagian memasukkannya pada hadis, meski lemah secara sanad. Sebagian lagi menisbatkannya pada ‘atsar, pada pendapat para ulama.
Begitu pula ‘ujian kesamaan’ itu muncul pada peringatan Mawlidur Rasul Saw. Soundcloud (https://soundcloud.com/…/ust-miftah-f-rakhmat-perintah-maul…) saya dengan edisi “Perintah Mawlid dalam Al-Qur’an” dikomentari beragam. Saya sampaikan pemahaman saya atas QS. Yunus ayat 58, “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan"
Menurut saya, kalimat “hendaklah dengan itu mereka bergembira” adalah perintah bagi kita untuk berbahagia, bersukacita, dan menampakkan kebahagiaan dan sukacita. Bahagia dan sukacita atas karunia dan rahmat Allah Ta’ala. Nah, adakah karunia dan rahmat sebesar kehadiran Rahmat untuk alam semesta, sebesar kehadiran Baginda Nabi Saw?
Komentar di sosial media kemudian mempertanyakan contoh: apakah Mawlidur Rasul Saw pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi Saw?
Mari kembali (berlatih) berpikir jernih. Mohon sahabat bantu meluruskan pemikiran awam saya. Menurut saya, ada yang substantif ada yang aksiden. Ada yang inti ada yang (sekadar) bentuk. Berikut contoh sederhananya.
Mudik lebaran sama sekali tidak pernah dicontohkan para sahabat Nabi. Menerima THR sama sekali tidak ada riwayatnya. Naik pesawat dan posting di sosial media? Apa lagi. Itu semua hanya bentuk. Bukan yang inti. Mudik adalah silaturahmi. THR adalah berbagi rezeki. Naik pesawat dan posting di sosial media tergantung niatnya. Bila niat ibadah, ia jadi ibadah. Bila niat menyebarkan fitnah, ia sedang membunuh jiwa. Atau mungkin ghibah? Ia sedang memakan bangkai saudaranya.
Begitu pula peringatan Mawlidur Rasul Saw. Intinya adalah bersukacita, bergembira, berbahagia dengan kehadiran Rahmat untuk alam semesta itu. Bentuknya: bisa bakti sosial, bisa pengajian, bisa shalawatan, bisa tumpengan, bisa saling memberi kado, bisa saling mengunjungi…dan lain sebagainya. Apapun bentuknya, karena ia diselenggarakan di bulan kelahiran Baginda Saw, kita sebut ia “Mawlidan.”
Bila harus menyamakan contoh, Gusti…betapa banyak yang saudara lakukan belum ada di zaman Baginda Nabi Saw…Bidah itu yang bertentangan dengan ajaran Baginda, bukan yang tidak dicontohkan. Nanti memanggil Nabi dengan Baginda, ditanyakan contohnya pula. Jangan panggil bapak, ayah, ibu, emak…cari tahu bagaimana Baginda Nabi Saw memanggil ayah dan ibunya. Eits, tunggu dulu. Yang mau melahirkan…tahan dulu. Bawa dulu ke kota suci Makkah, baru melahirkan di sana. Karena Baginda dilahirkan di sana. Apa mau menunggu hingga tahun gajah, bulan Rabi'ul Awwal? Dan ternyata, ada satu amalan yang tidak dicontohkan Baginda Nabi Saw, tetapi dilakukan setiap muslim setelah beliau. Apa itu? Berziarah ke pusara Rasulullah Saw. Apakah Nabi pernah berziarah ke pusara beliau sendiri? Ya Allah, terangi pikiran hamba.
Aksiden dan substansi. Bentuk dan inti. Itu poinnya. Nah, sebelum mengomentari atau membagi tulisan ini, kembali dulu ke awal. Pikirkan, renungkan, baru lakukan. Demikian.
Salam Mawlidur Rasul Saw. Berkah tak berkesudahan!
#alwayssayshalawat
#UsMif@TPW