Di sinilah berpikir kita diuji. Membandingkan dua kalimat itu tidak sepadan. Antara ucapan selamat natal dan dua kalimat syahadat. Kata orang, itu bukan apple to apple. Ada perbedaan mendasar. Dua kalimat syahadat—menurut orang Islam—adalah pernyataan seseorang menjadi muslim. Apakah ucapan selamat natal—menurut orang Nasrani—adalah juga pernyataannya menjadi seorang Nasrani? Tidak, sama sekali tidak. Keduanya tidak bisa dibandingkan. Apakah ia juga pengakuan seseorang menjadi Nasrani menurut Islam? Bagaimana bisa Islam sepihak mengklaim tata cara seorang pindah agama tanpa diakui oleh agama yang bersangkutan?
Contoh lain. Seseorang menulis buku, membedah pemikiran Syiah. Baik sekali, tradisi ilmiah buku dibalas dengan buku. Di dalamnya ada kritik terhadap hadis dua pusaka yang diriwayatkan oleh Shahih Muslim (IV:1873, hadis no. 2408). Begitu pula dalam kitab-kitab hadis lainnya. Bunyi hadis itu Nabi Saw bersabda bahwa beliau tinggalkan dua perkara agar manusia tidak sesat sepeninggal Nabi Saw: Kitabullah dan ‘itrah (keluarga Nabi).
Menurut penulis, hadis itu tidak menunjukkan keharusan mengikuti keluarga Nabi. Ia bandingkan dengan ayat yang menyiratkan ‘takdir’ Tuhan akan beragamnya jalan kembali kepadaNya, tanpa harus atau wajib mengikuti Ahlul Bait. Ia pun memperkuat dengan membandingkannya dengan hadis lain bahwa yang diwasiatkan Nabi Saw adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Biarlah ia jadi pembahasan di waktu yang lain. Komentar saya singkat saja. Kata perintah tidak harus dinyatakan tegas: lakukan, hindari, kerjakan. Bisa juga dengan kalimat yang lain. Misalnya: kalau kau bersabar itu lebih baik bagimu. Maksudnya: ya bersabarlah. Atau: sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. Maksudnya: ya berbuat baiklah.
Ambil misalnya ayat Allah Ta’ala berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Apakah kita bisa berkata: di situ tidak ada perintah untuk beriman kepada Allah dan RasulNya, atau berjihad di jalanNya?
Berpikir memang anugerah terindah. Ia anugerah besar, dan karenanya ujiannya pun pasti besar. Sementara ini, pikiran saya hanya sampai pada kaidah: kita harus bahagia dengan kebahagiaan sesama dan ikut bersimpati atas penderitaan sesama. Saya tahu saudara saya yang beragama Nasrani berbahagia pada hari ini. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak ikut berbahagia dengan kebahagiaan mereka. Saya tidak kirim kado. Saya tidak kirim buket bunga. Yang paling bisa saya lakukan, sederhana saja: memberikan pada mereka ucapan selamat. Bahwa saya turut berbahagia.
Lain halnya bila kebahagiaan itu diraih dari menzalimi orang lain, menyakiti mereka, mengambil harta mereka. Kaidah itu gugur seketika. Kita tidak boleh berbahagia dengan kebahagiaan orang-orang semisal ISIS yang membabi buta, atau mereka yang hidup dari meneror dengan menebarkan kebencian, betapa pun itu membuat mereka bahagia. Lihat, betapa rentannya kita diuji dalam anugerah berpikir itu.
Selamat hari kelahiran kekasih Tuhan saudaraku. Harap dimaklum kesederhanaan pikiran saya. Semoga mereka yang pikirannya jauh di atas saya dapat hidup lebih rukun bertetangga, lebih damai bersaudara sesama bangsa, lebih giat membangun negeri milik bersama.
Kata ayah saya: Saya tak peduli orang ikut mazhab saya atau tidak, yang penting ia berbuat baik, dan tidak menghalangi orang lain berbuat baik. Adakah ikut berbahagia dengan kebahagiaan saudara Nasrani perbuatan yang membahagiakan mereka atau mendatangkan duka?
Saya kira saudara saya Nasrani bahagia bila saya ucapkan selamat kepadanya. Sungguh, memasukkan rasa bahagia pada sesama manusia adalah perbuatan utama, begitu Sang Baginda Saw, rahmat untuk alam semesta pernah bersabda.
Selamat Natal saudaraku. Sungguh, jika kau bahagia mendengar kami menyampaikannya. Percayalah, kami pun bahagia mengucapkannya. Perkenankan kututup tulisan singkat ini dengan kalimat Imam Hasan as, “A good deed is one performed without hesitation and without reminding that favour has been done.”
Dan di Karbala, Irak, saudara-saudara Nasrani merayakan Natal. Mereka terusir dari kota mereka. Saudara-saudara Muslim di Karbala memberi tempat bagi mereka. ISIS tidak berani menyerang Karbala. Di sana sudah siap para pejuang yang akan mempertahankan kota itu hingga nafas terakhir. Maka yang satu—mengaku Islam—dan mengusir saudara Nasrani. Yang satu—yang sering di ‘bukan Islamkan’ justru menerimanya dengan tangan terbuka dan membantu membahagiakan mereka.
Pikiran awam saya, sahabat, akan memilih yang kedua. Sesederhana itukah? Tuhan terangi selalu akal budi hamba. Jernihkan selalu pikiran hamba. Terima kasih, Ya Rabbana.
@miftahrakhmat