Allahuma shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Ah, bulan Muharram kembali menyapa. Syukurku pada Tuhan berselimutkan duka. Saudaraku seagama merayakannya dalam suka. Tahun baru kata mereka. Maka parade diarak, gegap gempita menyeruak. Semangat kebahagiaan terasa semarak.
Aku menjemputnya dalam wajah murung dan tangisan yang tertahan. Dan seberkas cahaya kerinduan membersit menghunjam, memberikan kehangatan. Selembar kertas kenangan terhampar di hadapan.
Adalah Allamah Bahjah, guru ruhani itu. Ia kisahkan pengalaman hidupnya saat berada di Najaf Asyraf, pusara Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib as. Katanya, dua sungai Furat dan Dajlah bertemu di sebuah desa kecil bernama Mushib. Di pertemuan dua sungai itu tinggal seorang yang tidak mencintai Ali bin Abi Thalib. Ia bertetangga dengan seorang pecinta Ali. Pecinta ini, pengikut yang setia. Ia sering berziarah ke pusara Mawla. Setiap kali ia berziarah, tetangga yang satu selalu mengolok-oloknya, mempermalukan kepergiannya. Sekali waktu, ia bahkan mengatakan sesuatu yang buruk tentang khalifah Rasulullah Saw itu. Kata pedas, kata yang tak pantas.
Tak tahan, sang pecinta mengadu pada Mawlanya. Ia sampaikan perilaku tetangga yang menghinanya. Ia bisa terima dirinya dicaci, tapi tidak bila Mawlanya. Kesabaran ada batas pikirnya. Maka ia ceritakan keluh kesahnya. Tangis bak air bah membuncah dari matanya.
Malam hari, usai ziarah, ia bermimpi Mawla datang padanya. Amirul Mu'minin menjawab lembut mengapa si pencaci seperti tak dapat siksa, balasan atas kata-kata kasarnya. "Aku tak bisa," ujar Mawla mengawali kata.
“Tetanggamu itu, ia pernah lewat di tepian Furat. Di sana, sejenak ia membatin, membayangkan kecamuk peristiwa berabad tahun lalu itu. Selintas pikiran berkelebat di benaknya: Umar bin Sa'ad telah berlaku buruk. Andai saja ia memberi sedikit minuman pada Al-Husain.
Ketahuilah, kami tak dapat membalas perilakunya karena kenangannya akan kepedihan Al-Husain."
Ia terbangun dari mimpinya. Tak sabar, ia kabarkan tetangganya, yang terbangun sama herannya. "Dari mana Ali tahu, sedang aku hanya membatin dalam sepi...?" Tetes air pertama mulai jatuh dari matanya. Cahaya cinta mulai merobek gelap kalbunya.
Mawla, duhai Mawla...tolong jangan kau lihat batin kami. Sama gelapnya. Tapi lihatlah gelegak mata yang menggenang saat Muharram datang.
Mawla duhai Mawla...tolong jangan kau dengar tutur kata yang keluar dari lisan kami. Terlalu sering kami nodai kesucian cinta. Laku kami tak pantas bagi mazhab para pecinta, tapi tolong lihat Mawla...Muharram tiba dan kami kenakan pakaian duka. Bergabung kami dalam majelis para pecinta. Air mata mengalir. Batin kami berteriak, "Duhai Husainku sayang...maafkan kami lambat menjawab seruan. Kalaulah tak menyambutmu tangan dan kakiku, telah menyambutmu pendengaran dan mataku. Untukmu kami berduka. Bagimu kami alirkan tangis cinta."
Mawlaya Mawlaya...Selamatkan kami karena kecintaan kami pada Al-Husain...dan bukanlah kami yang pertama.
Bukanlah kami yang pertama...
@miftahrakhmat