Ia bukan Kiyai, ia bukan tokoh agama, tetapi ia melanjutkan perjuangan para Nabi as. Kata Ali Syari’ati, Nabi-Nabi Ibrahimiah (keturunan Ibrahim) dibedakan dari Nabi-nabi yang non-Ibrahimiyah karena pemihakannya pada orang-orang kecil, pada rakyat yang tertindas. Ibrahim lahir di Kampung Ur, dusun terasing di tengah-tengah sahara. Ia berjuang melawan Namrud, tiran yang berkuasa, di tengah-tengah pusat peradaban. Ia kirimkan istrinya ke tengah-tengah gurun yang gersang untuk melahirkan generasi baru yang mengubah peradaban dunia.
Musa lahir dari tengah rakyat yang terusir dari negerinya. Ia berjuang melawan tiran Fir’aun untuk membebaskan bangsa Israel yang tertindas dan budak-budak yang dijadikan batu-batu piramid yang dibangunnya. Isa lahir di palungan di kandang domba, dari keluarga tukang kayu yang baik hati dan sederhana. Isa berjuang membersihkan rumah-rumah ibadat dari para rahib yang menjual agama untuk kepentingan dunia. Ia turun dari bukit dan berkhotbah, “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya kerajaan Allah.”
Nabi Muhammad saw lahir sebagai anak yatim dari keluarga yang hampir-hampir tidak sanggup membayar orang untuk menyusukan anaknya. Seperti Isa yang turun dari bukit, ia membacakan ayat-ayat Allah di depan Ka’bah di tengah-tengah orang-orang kaya yang pongah, “Celakalah pencaci dan pemaki, yang mengumpul-ngumpul harta dan menghitung-hitungnya. Ia mengira hartanya akan mengekalkan dia. Tidak sekali-kali. Ia kan dilemparkan ke neraka… Celakalah orang-orang yang salat, yang memamerkan kesalehannya, dan tidak mau berbagi kekayaan.”
Rasulullah saw berjuang menumbangkan para tiran dan membagikan kekayaan dengan aturan Tuhan. Ketika ia memegang tangan pekerja yang kasar, ia menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka selama-lamanya.” Ketika ia meninggal dunia, putrinya Fathimah menangis dan berkata, “Telah tiada pelindung anak-anak yatim, janda, dan orang-orang miskin!”
21 Juni, 44 tahun yang lalu, rakyat kecil merintih seperti Sayyidah Fathimah, “Hari ini telah tiada pembela rakyat kecil, pembebas orang tertindas, pelanjut perjuangan para Nabi saw. Telah hilang seorang manusia yang melawan kapitalis besar dunia dengan tegar, yang gema suaranya terdengar di seluruh dunia: Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!”
Bung Karno sering dituduh oleh aktivis Islam sebagai pemimpin sekular. Ia tidak dianggap sebagai pemimpin Islam. Dalam politik ia dianggap mewakili nasionalis dan nasionalis dianggap lawan Islam. Dalam serial tulisanku, akan kutunjukkan bahwa Bung Karno adalah Muslim nasionalis yang ideologi Islamnya ditegakkan di atas pembelaan pada orang-orang tertindas, bukan pada jidat yang terkelupas; pada perjuangan para Nabi Ibrahimiyah, yang kesalehannya ditampakkan dalam perkhidmatan pada orang-orang miskin bukan pada kerajinan salat di malam yang dingin.
Pada 24 April 1960, Universitas al-Azhar al-Syarif di Kairo memberikan gelar doctor honoris causa dalam filsafat pada Presiden Soekarno. Prof Dr Mahmud Syaltut, rector Al-Azhar berkata, “ Universitas al-Azhar pada hari ini menyambut Paduka Yang Mulia selaku salah seorang Pemimpin Besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam. Menyambut seorang pejuang yang telah berkecimpung dalam perjuangan untuk membebaskan tanah airnya, rela berkorban demi keluhuran bangsanya, tanpa memperdulikan segala akibat, baik penjara, pengasingan dan pahit getir penderitaan dalam membela bangsa, menegakkan kemerdekaan dan mempertahankan kejayaan hidup.”
Gelar doktor sangat layak diberikan kepadanya oleh lembaga pendidikan Islam yang paling terhormat sepanjang sejarah Islam. Al-Azhar menyebut Bung Karno sebagai Pemimpin Besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam. Ia pemimpin besar umat Islam Indonesia yang mungkin masih dikenang di Mesir, tetapi dilupakan di negerinya sendiri. Mari kita kenang kembali Pemimpin Islam yang besar karena pengabdiannya kepada sesama umat manusia, bukan karena kekhusyukannya dalam berzikir dan berdoa.[]
Dr KH Jalaluddin Rakhmat adalah Ketua Dewan Syura IJABI