Semenjak mahasiswa, saya memang selalu mengikuti tulisan-tulisan beliau. Meskipun jujur saya katakan, saya lebih senang membaca buku-buku kang Jalal yang bertemakan tasawuf. Merasa senang, karena saya berarti diberi kesempatan untuk memberikan saran-saran dalam sebuah proyek besar mendekatkan (taqrib) antara Syiah dan Sunni, sesuai dengan tujuan penelitian disertasi ini sendiri, yaitu mempertemukan dua mazhab besar Islam dalam dialog yang berujung pada persaudaraan Islam sejati (hlm. 17).
Ada beberapa catatan dari saya. Pertama, disertasi yang diringkas menjadi buku ini pasti sudah melalui uji mutu akademik yang dapat dipertanggung-jawabkan. Saya melihat di kata pengantar buku ini, bahwa disertasi ini ini dibimbing dan diuji oleh para Guru Besar yang kompeten di bidangnya. Di antaranya sudah saya kenal. Jadi, rasanya saya cukup percaya kepada teman-teman saya di UIN Makasar yang sudah “membedah”nya terlebih dahulu. Meskipun, tentu saja, saya tidak tahu persis “pergulatan” yang terjadi di sidang tertutup dan terbuka, sidang pertanggung-jawaban ilmiah. Atas dasar itu, saya tidak berusaha menyelam ikut bergulat dengan wacana yang digelar oleh buku ini. Ketika sebuah disertasi berhasil dipertanggung-jawabkan dalam sidang, berarti disertasi tersebut sudah lolos mutu akademik. Ia sudah menjadi sebuah “tesis”, tetapi tesis ini bukan merupakan kebenaran mutlak, sehingga boleh jadi—sebagaimana kelaziman—akan muncul antitesis dan sintesis. Alasan lain saya enggan berkecimpung di dalam perdebatan buku ini, karena komentar—baik pujian maupun kritikan—sudah banyak dilakukan.
Kedua, tema “wasiat nabi” yang menjadi grand sample disertasi ini sesungguhnya bukan tema baru. Tema ini berusia cukup tua setua “perseteruan” antara Syiah dan Sunni itu sendiri. Saya sebenarnya tidak terlalu berminat membicarakan tema ini, sebab ini sama dengan membicarakan persoalan ikhtilaf fiqhi di kalangan para ulama fiqih yang tidak pernah selesai sampai sekarang; sama seperti membicarakan perbedaan antara NU dan Persis, dan lain sebagainya. Ketika diundang dalam bedah buku Kesesatan Sunni Syiah yang ditulis oleh teman saya Babul Ulum, saya katakan “Kenapa kita terus-menerus mengungkit sejarah lama yang memicu perbedaan antara Syiah dan Sunni?” Dalam pandangan saya, semakin terus-menerus hal ini diungkit, semakin runcing pula perbedaan antara Syiah dan Sunni. Harus diingat, ketika Syiah menampilkan riwayat-riwayat pendukung tentang “wasiat Nabi”, maka di sebarang sana menampilkan pula riwayat-riwayat tentang kebalikannya. Keduanya sama-sama mempropagandakan truth claim.Keduanya sama-sama menyandarkan kepada Nabi. Dan itu terjadi dari masa ke masa.
Kalaupun saya ikut tenggelam dalam perdebatan isi buku ini, maka uraian saya tidak akan sehebat pakar-pakar terdahulu, baik yang pro maupun yang kontra, yang pasti sudah mempersiapkan argumentasi-argumentasinya secara matang. Kalau saya terlibat dalam perdebatan, berarti saya mengulang-ulang peristiwa yang sudah dilakukan orang banyak. Dan ini menurut saya tidak produktif. Saya lebih tertarik membahas usaha-usaha mendekatkan (jika tidak bisa menyatukan) antara Sunni dan Syiah.
Ketiga, bagi saya, epistimologi hadits atau Takhrijul Hadits (atau menilai keabsahan sebuah riwayat) tak ubahnya seperti membuktikan keabsahan sebuah informasi tentang masa lampau. Di sana diperlukan metodologi dan pendekatan tertentu. Metodologi dan pendekatan itu sendiri boleh jadi dipilih berdasarkan asumsi dan postulat tertentu. Asumsi dan postulat itu sendiri bisa jadi dibangun oleh unsur-unsur subyektif, seperti keyakinan, mazhab, dan aliran tertentu. Bagi saya hal seperti ini wajar dan tidak dapat dihindari. Tentu saja dengan catatan penelitiannya itu sendiri harus tetap bersifat ilmiah. Saya melihat hal seperti ini pun terjadi dalam epistimologi hadits Sunni dan Syiah. Bagi para ulama hadits, hadits itu bersifat zhaniyyul-wurud. Inilah relativitas keabsahan hadits yang berbeda dengan al-Qur’an. Relativitas ini memungkinkan terjadinya perbedaan penilaian kualitas sebuah hadits yang disimpulkan oleh person atau mazhab yang berbeda-beda. Berdasarkan teori relativitas ini pula, saya melihat pelabelan kualitas hadits tidaklah bersipat paten, dan bisa berubah jika unsur-unsur yang mengunggulkan atau merendahkannya hilang setelah dilakukan penelitian ulang. Jadi, sekali lagi, perbedaan penilaian terhadap kualitas hadits “wasiat Nabi” menurut saya sangatlah wajar, dan tidak perlu dipersoalkan.
Keempat, bagi saya—sekali lagi—membicarakan proyek taqrib antara Sunni dan Syiah jauh lebih penting daripada membicarakan tema-tema sensitif, seperti tema “Wasiat Nabi”. Tujuan penelitian disertasi ini sungguh mulia, yaitu “mempertemukan dua mazhab besar Islam dalam dialog yang berujung pada persaudaraan Islam sejati”. Sayang—mungkin karena saya belum membaca disertasinya secara utuh—saya belum mendapatkan rumusan konkrit dari upaya taqrib ini. Yang saya temukan justru upaya yang menurut saya justru dikhawatirkan akan menjauhkan dua mazhab besar tersebut. Upaya yang saya maksud adalah penyampaian sample yang tidak netral (baca: tidak seimbang). Upaya “menyerang” tokoh tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir, seperti yang tercantum pada MWC, bisa jadi disalah-pahami sebagai upaya menurunkan kredibilitas ketokohan keduanya yang banyak dirujuk oleh pengikut Sunni. Kedua tokoh itu sudah saya teliti. Ibnu Katsir saya teliti dalam skripsi, sedangkan Al-Thabari saya teliti dalam tesis. Reputasi keilmuan dan integritas periwayatan keduanya amat terkenal di kalangan sunni. Kehandalannya dalam periwayatan tak diragukan banyak ahli. Sama seperti terkenalnya dan diakuinya posisi al-Thabathabai di kalangan Syiah. Tokoh ini saya teliti secara khusus dalam disertasi saya.
Dalam konteks tujuan penulisan disertasi ini, saya setuju dengan Dr. Hamzah Harun al-Rasyid, Lc., M.A.—promotor/penguji disertasi ini, yang meminta pertanggung-jawaban disertasi dalam konteks persatuan umat.
Dalam benak saya, disertasi ini—setelah mengkritisi kelemahan epistimologi hadits Sunni (seharusnya dikemukakan pula kelemahan epistimologi hadits Syiah), akan menawarkan formulasi baru epistimologi hadits baru dalam kerangka persatuan dua mazhab besar. Justru inilah menurut saya yang seharusnya menjadi kontribusi besar dari disertasi ini. Itu sebabnya, penekakanan MWN adalah upaya merumusan epistimologi hadits, bukan pada sample-nya. Dan itu sebabnya, sejatinya judul buku ringkasan disertasi ini adalah tetap seperti judul asli disertasinya, Asal Usul Sunnah Shahabat: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri.
Untuk tujuan itu, saya menyarankan ada sebuah proyek perumusan epistimologi hadits dalam kerangka persatuan ini. Proyek ini—meskipun susah dan rumit dilakukan—mengevaluasi ulang premis-premis dasar dalam tajrih dan tadil. Pertanyaan dasarnya, bisakah penilaian periwayat hadits didasarkan penilaian obyektif dengan menimbang kredibilitasnya (baik integritas keilmuan atau kejujurannya), bukan didasarkan penilaian subyektif karena ia seorang Sunni atau Syiah?
Kelima, saya—sekali lagi—ingin menegaskan bahwa upaya taqrib atau persatuan antara mazhab Sunni dan Syiah tidak dapat dilakukan dengan mengulang-ulang hal yang tidak produktif, yakni mengungkit-ungkit perbedaan antara keduanya. Dalam pengamatan saya, upaya saling-menyalahkan tidak pernah berhasil mempertemukan dua mazhab yang berseberangan. Mendekatkan atau menyatukan antara keduanya sebaiknya dilakukan dengan membicarakan kesamaan antara keduanya. Dalam konteks ini, sebaiknya disimak pernyataan Dr. Nashir bin Ali al-Qaffari dalam bukunya Mas’alah al-Taqrib bain Ahlissunnah wa al-Syi`ah (juz 1, hlm. 8, diterbitkan oleh Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tawzi`, tahun 1428):
أنه لا خلاف بين أهل السنّة والشيعة في شيء من أصول الإيمان، أو أركان الإسلام أو ماعُلم من الدين بالضرورة ؛ وإنما هو خلاف في بعض المسائل الفلسفية والآراء الكلاميّةالتي لا صلة لها بأصول العقيدة، أو لا خلاف بينهم أصلاً إلا في بعض مسائل الفروع ،والصراع والخلاف بينهما إنما صنعته الأوهام نتيجة العزلة الطويلة بين الطائفتين
Sesungguhnya tidak ada perbedaan sedikit pun antara Ahlissunnah dan Syiah dalam persoalan pokok-pokok agama Islam, rukun Islam, atauprinsip yang sangat fundamental dalam Islam (ma `ulima minad-din bidh-dharuri). Perbedaan antara keduanya hanyalah dalam sebagian wilayah masalah-masalah filsafat dan pandangan-pandangan teologis yang tidak ada kaitan dengan pokok-pokok agama tersebut. Dengan kata lain, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali dalam persoalan-persoalan cabang/bukan pokok. Perseteruan dan perbedaan antara keduanya tiada lain dipicu oleh praduga-praduga yang diakibatkan oleh jeda dialog yang sangat lama.
Di samping membicarakan kesamaan antara Sunni dan Syiah, upaya menyatukan antara keduanya dilakukan dengan kajian tentang keduanya dari sumber aslinya. Di antara kesimpulan yang dibuat oleh al-Qaffari di atas adalah: “Salah satu pemicu perselisihan antara kedua mazhab tersebut adalah penggambaran tentang keduanya yang tidak berdasarkan sumbernya secara langsung.” (juz 2, hlm. 298). Itu sebabnya, kajian Syiah sebaiknya digali langsung dari sumber utamanya seperti Ushul al-Kafi, al-Bihar, Tafsir ibrahim al-Qumy, Tafsir al-`Ayyasy, Tafsir al-Shafi, Tafsir al-Burhan, dan Rijal al-Kasyi. Demikian pula tentang Sunni harus digali dari sumber-sumber seperti kutubus-sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, dan Musnad Ahmad), kitab-kitab biografi para perawi (rijal) seperti Tahdzib-nya al-Dzahabi dan al-Mizzi, dan kitab-kitab tafsir yang mutabarah (seperti Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir,dll.). Wallahu a`lam.