Salah satu perkembangan memprihatinkan di masyarakat Islam Indonesia belakangan ini adalah makin kuatnya kecenderungan meninggalkan akhlak ketika menghadapi perbedaan dalam paham keagamaan. Karena itu, Dr. Jalaluddin Rakhmat menulis buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, yang akan diluncurkan pekan ini di Jakarta. Apa isi buku itu dan bagaimana Kang Jalal—sapaan cendikiawan muslim itu—melihat perkembangan masyarakat Indonesia? Berikut perbincangan Burhanuddin dan M. Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (KIUK) dengan beliau, Kamis (29/9) lalu.
0 Comments
Bismillahirrahmanirrahim Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad Ini cerita sesungguhnya. Kawan saya, seorang rekan guru di Soreang, Kabupaten Bandung. Ia berbagi kisah tentang pengalaman anak didiknya di Sekolah Dasar. Alkisah, guru agama masuk ke sebuah kelas. Beliau bercerita tentang kewajiban shalat. Beliau kemudian bertanya: “Siapa di antara anak-anak yang tidak shalat Subuh pagi tadi?”. Anak-anak tidak menjawab. Mereka menahan tangannya. “Ayo, mengapa tidak ada yang menjawab?” Akhirnya, seorang anak dengan malu-malu mengangkat tangannya. “Saya Pak Guru…”. Mendengar jawaban anak itu, Pak Guru Agama dengan seketika meluap amarahnya: “Mengapa kamu tidak shalat Subuh? Bukankah itu wajib bagi kamu? Tahukah kamu akibat dari melalaikan perintah Tuhan!?” Dan seterusnya…anak itu kemudian dihukum gurunya berdiri di depan kelas.
Sore hari, ia pulang dengan wajah tertunduk lesu. Ia ceritakan kisah itu pada ibunya seraya berkata: “Bu, mulai saat ini, saya tidak akan berkata jujur lagi.” Ia belajar sesuatu yang pahit. Kejujurannya mengantarkannya pada kesengsaraan. Ada pertanyaan besar pada sepenggal cerita di atas. Apa yang sebetulnya akan kita ajarkan pada anak-anak kita: menghafal sederet materi atau kesadaran yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya? Yang pertama kita sebut saja ilmu pengetahuan, yang kedua pengembangan kepribadian. Belakangan, kita menyebutnya dengan pendidikan karakter. Istilah pendidikan karakter sebetulnya juga bukan sesuatu yang baru. Kementerian Pendidikan Nasional menjadikannya program utama Kabinet Periode ini. Pak Menteri mengangkatnya menjadi tema utama program 100 hari. Beliau memandang bahwa permasalahan bangsa ini berakar dari pendidikan karakter yang tak terintegrasi. Dahulu orang menyebutnya pendidikan moral. Sempat populer juga istilah budi pekerti. Di luar negeri istilah yang lebih dikenal adalah “Character Education” dan “character building”. Yang kedua masuk ke negeri ini dalam bentuk-bentuk pelatihan motivasi (achievement motivation trainings). Banyak aktivitas dibuat. Games dirumuskan: teamwork, solidaritas, sportivitas, semangat menghadapi tantangan, kerjakeras, disipling menjadi hal-hal yang lumrah dan tujuan dari setiap kegiatan itu. Akan tetapi, dampak dari pelatihan-pelatihan motivasi itu temporal. Dia mengubah, bisa sangat besar, tetapi juga cepat pudarnya. Sekian banyak pelatihan motivasi, tak terhitung nuansa spiritual dimasukkan ke dalamnya, tapi negeri kita masih menempati angka terburuk dalam kemiskinan dan korupsi. Karena itulah, pemerintah beralih pada Pendidikan Karakter. Seperti lazimnya program Pemerintah, mereka bingung mengurai benang kusut pendidikan negeri ini. Pendidikan Karakter sempat dimasukkan dalam bagian yang integral dari kurikulum. Guru-guru bekerja keras untuk itu. Di sisi lain, terlalu banyak pesanan dari kiri dan kanan sehingga semua hal dimasukkan dalam unsur karakter yang penting itu. Semua merasa semua nilai utama. Tak kurang dari 21 nilai dirumuskan sebagai nilai-nilai yang utama itu. Bagaimana mengaplikasikannya? Ia jadi pekerjaan rumah tersendiri. Unesco dan LVEP Tahun 1995, sebuah organisasi kemasyarakatan Internasional Brahma Kumarismemulai proyek internasional LVEP sehubungan dengan ulangtahun PBB ke-50. LVEP adalah singkatan dari Living Values: an Educational Project. Mereka menyederhanakan pendidikan karakter ini ke dalam nilai-nilai moral kehidupan. Sebut saja ia nilai-nilai dasar. Awalnya, proyek ini diberi nama “Sharing our values for a better world.” Proyek ini terfokus pada duabelas nilai-nilai universal. Temanya—yang diambil dari pasal dalam Pembukaan Perjanjian PBB—berbunyi: “To reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person…” Untuk menguatkan kepercayaan pada hak-hak asasi manusia, harga diri, dan kelayakan seorang manusia. Bagi Brahma Kumaris waktu itu, pendidikan karakter cukup menekankan pada tiga hal: hak asasi, harga diri, dan kelayakan seorang manusia. Proyek ini kemudian bermetamorfosis menjadi LVEP: Living values: an educational project. UNESCO mengangkatnya menjadi program internasional. Hingga tahun 2000-an, tercatat LVEP telah diaplikasikan di lebih dari 2000 lokasi yang tersebar di 80 negara. Saya belum tahun Sekolah di Indonesia yang menerapkannya, tapi Sekolah Dasar kami di Bandung, Sekolah Cerdas Muthahhari mencoba untuk mengamalkannya. Inilah urutan nilai yang direkomendasikan oleh LVEP: 1. Kedamaian 2. Penghargaan 3. Cinta 4. Tanggung jawab 5. Kebahagiaan 6. Kerja sama 7. Kejujuran 8. Kerendahan Hati 9. Toleransi 10. Kesederhanaan 11. Persatuan Bagi anak-anak dengan usia yang lebih tinggi, para pendidik di LVEP menambahkan nilai keduabelas: Kebebasan. Yang menarik, LVEP menempatkan Kedamaian sebagai urutan yang pertama. Ada banyak diskusi tentang apakah urutan-urutan ini harus diajarkan bertahap atau dia bisa mulai dari mana saja. Para pendidik di LVEP sepakat, untuk urutan empat hingga 11 bisa diajarkan kapan saja. Tetapi sebaiknya kita mulai dari tiga nilai yang pertama, lebih utama lagi, kita selalu mulai dari kedamaian. Mengapa? Karena langkah pertama untuk melanjut pada nilai-nilai berikutnya adalah damai: berdamai dengan dirinya, berdamai dengan keluarganya, berdamai dengan lingkungan di sekitarnya. Bagaimana LVEP diterapkan oleh orangtua atau lingkungan sekolah? Untuk anak-anak usia dini: tiga – tujuh tahun, ada banyak cara untuk mengeksplorasi nilai-nilai itu. Kegiatan mempelajari konsep baru, berbagi dan berpikir, menciptakan, dan mengajarkan keterampilan sosial ini dikombinasikan dengan permainan, seni, bernyanyi, gerakan, dan imajinasi. Pada banyak bagian, bahkan ada tahapan-tahapan khusus yang bisa kita aplikasikan segera. Misalnya, inilah contoh cara umum menerapkan satu nilai dalam tahapan-tahapan yang berbeda. - Bernyanyi, umumnya anak-anak senang bernyanyi. Bernyanyi membuat mereka mengekspresikan diri mereka lebih kuat. Jika kita orangtua atau guru, janganlah malu untuk bernyanyi. Anak-anak kita bukanlah juri audisi kompetisi vokal dengan sederet syarat pitch control dan harmoni. Mereka belum mengenal fals dan falsetto. Bernyanyilah…untuk anak-anak kita. Lagu bisa yang secara khusus berkaitan dengan tema yang kita ajarkan, atau lagu yang kita gubah untuk menyesuaikan dengan tema. - Latihan menjadi hening. Anak-anak sebetulnya secara alamiah kurang suka dengan keheningan. Apalagi bila diminta untuk menutup mata. Guru atau orangtua bisa menjadikannya sebagai sebuah permainan. Pola seperti ini diperlukan untuk menumbuhkan imajinasi. Salah satu cara praktis mengajarkan anak-anak pendidikan karakter adalah pola pertanyaan: “Mengapa?” Dan bukan “Apa?” Hening juga membantu guru dan orangtua untuk mendinginkan suasana, dan memulai perbincangan dari start yang baru. - Pelajaran, penyampain materi. Baik dengan kegiatan bermain ataupuh diskusi. Di sini kreativitas guru dan orangtua dituntut. Percayalah, orangtua adalah makhluk yang secara spontan punya gudang kreativitas tak terbatas, terutama untuk anak-anaknya. - Waktu berkelompok. Saat-saat seperti ini adalah waktu yang baik melaksanakan pembuatan peraturan dengan kolaboratif atau untuk penyelesaian masalah. Apa yang harus disiapkan orangtua? Pertama, ketika berdiskusi dengan anak-anak, tidak ada jawaban “benar” dan “salah”. Terbiasalah menerima dan mengakui jawaban anak-anak itu, seberapa mustahilnya. Intinya bukan pada jawaban tetapi pada menghargai danmendengar pendapat anak-anak. Dari pengalaman, anak-anak terbiasa memberikan jawaban yang “menyimpang” dari standar. Misalnya: bahwa perang adalah bagian dari dunia yang damai, atau “Aku bahagia bila dianggap anak nakal” dan sebagainya. Dalam memberikan respons, mengangguk sudah cukup. Tetapi respons verbal yang menyatakan bahwa orangtua menerima jawaban mereka dan menyatakan kembali isi jawaban adalah metode yang lebih efektif dalam menyatakan penghargaan orangtua. Di sini, saya ingin bercerita tentang “123 Magic”. Menurut Dr. John Gray, penulis bestseller Children are from Heaven, pola respon anak-anak sekarang sudah jauh berbeda dengan anak-anak dahulu. Saya kutip pendapatnya dalam satu wawancara dengan WebMD Live (webmd.com), sebuah situs yang mengkhususkan diri untuk tema-tema keluarga: Much of our frustration as parents comes from not knowing what to do to manage our children. We're at a crisis point in history. All of the old parenting skills we learned by watching our parents parent are not as effective as they used to be. Children today are different, and do not respond to guilt trips, yelling, and the threat of punishment. These are the kinds of control techniques our parents used as a last resort. In previous generations, they worked, but today they don't. The book, Children Are From Heaven, provides a training for parents with new communication skills to make the job of parenting much easier and, at least, much less frustrating. Frustration always arises when what we're doing is not working. Anak-anak sekarang jauh lebih kebal terhadap “rasa bersalah, teriakan, dan ancaman hukuman.” Dan ini bagian yang kedua yang harus disiapkan orangtua: menyampaikan pesan positif. Tentu orangtua adalah role model anak yang paling awal. Bagi orangtua tidak berlaku prinsip larangan riya. Menurut saya, orangtua harus riya. Bagaimana mungkin kita akan mengajarkan bersedekah kalau kita sendiri tidak mencontohkannya (apalagi bila tangan kiri harus tak tahu yang diamalkan tangan kanan)? Dr. Gray menyampaikan Lima Pesan Positif yang dapat dilakukan orangtua. - “It’s okay to be different.” Berbeda itu tidak apa-apa. - “It’s okay to make mistakes.” Sesekali berbuat salah itu biasa. - “It’s okay to have or express negative emotions.” Mau marah, silakan saja. - “It’s okay to want more.” Mau minta lebih? Boleh. Dan… - “It’s okay to say No.” Berkata “Tidak” itu boleh saja. (Kutipan lengkap Wawancara Dr. Gray saya masukkan dalam bagian lampiran makalah ini. Inspiratif!) Lebih jauh Dr. Gray bercerita tentang 123 Magic. Ini adalah pola yang biasanya diterapkan orangtua untuk anak-anaknya. Ketika perintahnya tidak dipatuhi, orangtua akan berkata: “Bapak hitung ya…satu…(di sini biasanya nada suara masih rendah)…dua…(nada suara meninggi) dan….tiga!” Anak biasanya berlari sebelum hitungan tiga. Sekarang, hal seperti itu kurang efektif lagi. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi otoritatif, bukan komunikasi suportif. Menurut Dr. Gray, untuk anak-anak usia sembilan tahun, setelah angka tiga kesan yang muncul adalah hukuman yang akan diberikan orangtua bila anak tak memenuhi keinginannya. 123 Magic tetap efektif, bila menyusul angka 3 itu, orangtua menerapkan “Time out” instead of punishment. Ketiga, yang dapat dilakukan orangtua adalah membantu anak untuk memberikan makna terhadap situasi yang terjadi di sekitar kita. Kadang-kadang kita sudah menetapkan sederet standar nilai untuk anak-anak kita, tetapi ketika berbenturan dengan dunia luar (ambillah contoh ketika bertamu), mungkin anak akan dihadapkan pada orang dewasa yang punya standar nilai yang berbeda. Di sinilah prinsip pesan positif yang pertama dari Dr. Gray menemukan relevansinya. It is okay to be different, tetapi kemudian kita memberikan makna terhadap perbedaan-perbedaan itu. Pendidikan Karakter: Studi di Yayasan Muthahhari Bandung Di sekolah-sekolah kami, pendidikan karakter erat kaitannya dengan kecakapan hidup. Ustad Jalal (Dr. Jalaluddin Rakhmat) merumuskan tujuh kecakapan hidup yang mendasari nilai-nilai moral universal itu. Ada tujuh life skills di lembaga-lembaga kami berikut penekanan porsi pemberiannya, sejak SD hingga SMA. Learning Skills dan Social Skills (SD), Communication Skill dan Coping Skill (SMP), Happiness Skill, Spiritual Skill dan Financial Skill (SMA). Adapun prinsip-prinsip karakter yang dikembangkan menitikberatkan pada empati: kepedulian. Dalam beberapa telaah mutakhir, tumbuhnya empati juga bersinergi dengan peningkatan kemampuan secara akademis. Di SMP dan SMA, penerapannya lebih mudah. Di Sekolah Dasar, kami harus mencari cara lebih luwes lagi. Terutama untuk bentuk pengajaran empati yang bersifat klasikal. Karena makalah ini lebih merujuk pada pendidikan karakter di usia dini, berikut beberapa program kami di Sekolah Cerdas Muthahhari. Tentu sebagai sekolah yang masih muda, semua itu dalam tahap trial and error yang masih perlu diuji. - Studi dan kunjungan pasca hari H. Setiap kali terjadi musibah, hati kita tergetar. Segera kita terdorong untuk membantu. Dampak dari musibah berlangsung lama. Setelah puncak berita memudar, biasanya bantuan pun berkurang. Ambillah contoh Panti Asuhan. Umumnya ramai dikunjungi pada bulan suci Ramadhan, tetapi pada waktu-waktu di luar itu, ketika mereka justru sangat membutuhkan, sedikit yang berkunjung. Kami mengajak anak-anak ke Panti Asuhan pada waktu-waktu sepi kunjungan itu. - Melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan (Project-Based Curriculum). Biasanya dilakukan pada waktu libur sekolah dengan materi yang diintegrasikan dengan kurikulum sesuai tingkatan. - Bermain peran dan beralih posisi. - Menghadirkan sosok dan kisah-kisah inspiratif. - Mengolah permainan-permainan yang disesuaikan dengan keperluan pengenalan nilai-nilai. Demikian beberapa pengalaman yang bisa dibagi. Saya ingin menutup dengan mengutip Milan Kundera, peraih Nobel Sastra: “We are guilty of many errors, but our worst crime is neglecting our children, our fountain of life. It is the time their bones are being formed. To them we cannot say “tomorrow”. Their names are “TODAY”.[] [Makalah ini disampaikan dalam Seminar Pendidikan Seri ke-7 tentang Pendidikan Karakter yang dilaksanakan pada 9 November 2010 di Gedung Bosowa Management Development Institute (BMDI) Makassar; kerjasama Yayasan Amalia Insani dan Quantum Sinergi Makassar] Sore itu, di sebuah restoran hotel berbintang, saya berkumpul dengan sekelompok muslimah. Sambil makan siang, kita merencanakan sebuah seminar internasional di Jakarta. "Subhannalah sekali, yah, kita bisa berkumpul sekarang ini," kata perempuan paling muda di situ, "Insya Allah, kita akan mengundang syaikh kita. Masya Allah, beliau bersedia datang ke Indonesia." Kemudian, perempuan muda itu nyerocos memimpin rapat dengan memasukkan setiap ungkapan bahasa Arab dalam setiap kalimatnya. Saya segera menyela dengan menanyakan apakah ia pengikut Ustadz Fulan. Saya mengenal ustadnya itu sebagai orang yang sangat saleh. Kesalehan itu ditampakkan dengan banyak memasukkan zikir dalam pembicaraan. Jika Anda datang ke pesantrennya, Anda akan menemukan pengumuman semacam, "Toko 100 meter lagi, insya Allah," "Alhamdulillah, ini ruang makan," atau "Allahu Akbar, ini mushalla." (Kalimatnya tentu saja tidak persis seperti itu. Saya mengubahnya hanya supaya pesantren itu mudah-mudahan tidak teridentifikasi). Ustadnya sendiri memakai pakaian Arab - jubah dan serban. Jika Anda agak dekat dengan beliau, Anda akan mencium minyak kesturi, asli dibeli dari Madinah. Satu botol kecil minyak itu pernah diberikannya kepadaku. Bila saya memakai parfumnya itu, keluarga saya segera mendengus sambil berkata, "Bau Arab!" "Kesalehan" perempuan itu dan ustadznya mengingatkan saya kepada serangan kawan saya yang kejawen: "Aku tidak mau mengikuti kamu, karena agama kamu itu agama Arab. Mungkin lebih baik bagiku ikut Kristen saja." Saya menjelaskan kepadanya bahwa Islam itu agama universal, melintas ruang dan waktu. "Omong kosong," kata dia, "buktinya kamu harus sembahyang dengan bahasa Arab. Dalam Kristen kita membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia, dan sembahyang dengan menggunakan bahasa Indonesia." Untunglah waktu itu dan sampai sekarang, walaupun saya sudah diberi gelar kyai, saya tidak pernah memakai jubah atau serban yang dirancang gaya Arab. Saya tegaskan bahwa bahasa Arab itu hanya dipergunakan untuk membaca Al-Quran dan doa-doa standar dalam salat. Untuk menyampaikan doa sendiri, baik di dalam maupun di luar salat, kita boleh menggunakan bahasa Indonesia. Sambil sedikit menyerang balik, saya juga menyebut kebiasaan orang Katolik untuk menyampaikan doa-doa baku mereka dengan bahasa Latin atau para mahasiswa yang menyanyikan lagu Godiamus Igitur atau kalangan kedokteran yang terus menerus menggunakan bahasa Latin. Sekiranya saya berdebat lagi dengan teman Kejawen itu sekarang, saya mungkin tidak berkutik. Ia akan menyebut perempuan muda itu (maaf, saya berulangkali menyebutnya karena kekaguman saya) dan berbagai contoh Islamisasi yang berbentuk Arabisasi: Protes kepada Gus Dur karena mau mengganti assalamu 'alaikum dengan selamat pagi. Bank Islam yang mengganti istilah-istilah perbankan dari bahasa Inggris ke bahasa Arab. Hotel yang disebut Islami karena memasang kaligrafi Arab di setiap ruangan. Organisasi yang disebut Islami karena menyebut Anggaran dasar dengan Qanun Asasi. Sebuah buku Islam yang dikritik karena tidak ada tulisan Arab di dalamnya. Pesta pernikahan yang memisahkan tamu pria dari tamu perempuan. Lasykar Jihad yang gentayangan dengan jubah putih dan serban. Keharusan berwajah brewok dan berjanggut. Perempuan yang menutup seluruh mukanya (Empat contoh terakhir ini tidak berkaitan dengan penggunaan Bahasa Arab, tetapi merujuk pada kebudayaan Arab). Betulkah kita harus menjadi orang Arab untuk menjadi Muslim yang baik? Betulkah nama apa pun sebaiknya harus diganti dengan nama Arab, bila kita masuk Islam atau naik haji? Inilah pertanyaan yang mengusik Dr. Jeffrey Lang (seorang mualaf yang menulis buku Even Angels Ask tentang pengalamannya sebagai muslim di Amerika, --red.) ketika ia masuk Islam. Ia memutuskan untuk tidak mengganti namanya, seperti Cassius Clay yang menjadi Muhammad Ali. Ia juga tidak melepaskan dasi dan jasnya untuk diganti dengan jubah dan serban seperti Cat Stevens, yang mengganti namanya menjadi Yusuf Islam. Ia juga pernah berusaha menggunakan thank God sebagai pengganti alhamdulillah dalam percakapan ringan di sebuah Islamic Center. Saya akan mengutip satu bagian dari buku Dr. Lang untuk Anda -masih dalam bahasa Inggris. At the Islamic Center one evening, I was greeted by an American Muslim who asked me how things were going. "Very well, thank God. And how are you?" I responded. "Alhamdulillah!" (All praise belongs to God) he answered. "And how are you?" he asked again. "Fine, thank God!" I repeated. He looked dissatisfied and a few seconds later repeated his question, and I repeated my answer. Another few conversation, and then the same question and answer. I realized he would not give up until he received a satisafactory reply. I held on a little longer but finally gave him the answer he wanted: "Alhamdulillah, "I sighed. With an approving look on his face he nodded, "Alhamdulillah." Banyak orang Islam memang merasa belum puas kalau belum menggunakan kata-kata seru --interjections-- dalam bahasa Arab. Dengan jenaka, Dr. Lang menceritakan kawannya, yang tertarik dengan Islam. Supaya diterima penuh dalam masyarakat Islam, kawannya itu sudah menemukan kuncinya: "Pakai tutup kepala timur tengah, pelihara janggut panjang, katakan al hamdu lillah, ma sya Allah, as salamu alaikum, jazakallahu khayran dalam situasi yang tepat." Kawannya yang lain, yang sudah masuk Islam, berkomentar bahwa orang Islam itu tampaknya menduga Tuhan hanya mengerti Bahasa Arab. Kesan bahwa Islam itu agama orang Arab adalah salah satu di antar stereotip yang popular di Barat. Kita menyebutnya setereotip, karena kesan itu terus bertahan walaupun "survei membuktikan" bahwa lebih dari 85 persen umat Islam itu bukan Arab. Karena itu, tidak mengherankan jika para mualaf umumnya, termasuk Dr. Lang dan kawan-kawannya menangkap kesan itu. Delapan tahun setelah masuk Islam, Dr. Lang membawa semua keluarganya pergi hijrah ke Arab Saudi. Ia ingin menikmati Islam dalam lindungan negara Islam, the land of the Prophet! Delapan tahun ia hidup bersama komunitas Islam dalam lingkungan budaya Amerika. Ia tertarik kepada Islam bukan karena perilaku orang Islam di Amerika. "My only Muslim contacts for many years were drug users, adulterers, and gamblers," tulis Dr. Lang. Selama delapan tahun ia telah menyaksikan bagaimana Muslim yang salih saling mendengki, saling memaki, dan saling memfitnah. Dengan sedih ia harus menyaksikan kawannya, seorang Muslim bule juga, yang akhirnya pindah ke agama Budha, karena dalam agama Budha ia menemukan pemeluk agama yang mempraktekkan apa yang diajarkan agamanya. Dengen kecewa ia harus melihat di depan matanya bagaimana orang-orang Islam yang saleh itu menjual --Dr. Lang menggunakan kata "melacurkan"-- agamanya untuk tujuan-tujuan duniawi (Hal yang tidak aneh di negeri kita dan juga di negeri-negeri Islam yang lain). Ia melakukan hijrah ke Saudi bukan untuk menemukan masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Ia tahu keadaan masyarakat Islam seperti yang dipelajarinya dalam pengalaman hidupnya sebagai Muslim. Ia pergi ke negeri Rasulullah untuk menemukan kedamaian dan ketentraman dalam menjalankan ajaran Islam. Ia ingin menjalankan salat berjamaah, salat Jumah, puasa Ramadan dan liburan-liburan Islam bersama saudara-saudaranya kaum muslimin. Tetapi, setahun kemudian, ia terbang kembali, pulang ke kampung halamannya, ke Universitas Kansas. Ia menyadari bahwa "there was no escape for being American." Karena alasan yang tidak bisa dipahaminya, Arab Saudi telah mencekiknya secara ruhaniah: Di negeri yang menyaksikan kebangkitan Nabi Muhammad, yang mengandung dua kota Islam yang paling suci dan Ka'bah yang menjadi arah salat saya, negeri yang didominasi oleh kaum muslimin, dan tanah air bagi kebudayaan yang dipenuhi agama, saya merasa beku secara spiritual, tanpa harapan sama sekali. Di Arab Saudi, Islam berhenti sebagai kekuatan untuk perkembangan kepribadian, dan iman saya segera kehilangan daya hidupnya. Bukan karena negeri itu kekurangan orang-orang saleh dan beragama --sebaliknya, saya banyak berjumpa dengan kaum Muslimin yang ihklas dan taat di sana-- tetapi dalam pandanganku, gerakan Islam di kerajaan Saudi diarahkan menuju masa lalu yang diidealisasikan. Saya tidak bisa menjadi bagian daripadanya; sesuatu pemahaman agama yang didasarkan pada penafsiran Islam, yang secara cepat kehilangan kepercayaanku. Dr. Lang ingin meninggalkan watak keamerikaannya dan menjadi Muslim. Ia gagal. Tetapi ia berhasil menemukan pencerahan baru. No escape for being American. Ia tidak perlu lari dari keamerikaannya. Menjadi Islam tidak berarti harus menanggalkan semua latar belakang budaya kita. Islam tidak pernah datang pada suatu vakum kultural. Karena itu, kita menemukan Islam Arab, Islam Iran, Islam India, Islam Cina, Islam Indonesia. Mengapa tidak boleh ada Islam Amerika? Sebelum Dr. Lang sampai ke situ, di benua Eropa seorang mantan Komunis yang menjadi Muslim, Dr. Roger Garaudy menegaskan bahwa ada hambatan besar bagi kaum muslimin untuk mengembangkan ijtihad: keterikatan kepada masa lalu dan taklid kepada Barat. Yang pertama melihat masa lalu sebagai rujukan ideal. Pemikiran Islam terdahulu, hasil ijtihad orang-orang Islam ratusan tahun yang lalu dianggap begitu sakral sehingga sebagian kaum Muslim dengan bangga menyebut dirinya Salafi (Secara harafiah berarti merujuk kepada yang terdahulu, masa lalu, masa yang sudah lewat. Menurut Kamus, salafa berarti to be over, be past, be bygone, precede, antecede). Karena ratusan tahun pertama sejarah Islam bergabung dengan sejarah Arab, maka Islam masa lalu berjalin berkelindan dengan kearaban. Dari sinilah muncul anggapan bahwa menjadi Muslim adalah menjadi orang Arab. Mereka tidak bisa memisahkan antara kebudayaan Arab dengan ajaran Islam. Islam yang melintas ruang dan waktu sekarang dibatasi pada Ruang Arab dan Waktu yang lalu. Dr. Lang pernah ditegur oleh orang Maroko karena tidak berpakaian yang sesuai dengan Sunnah. Pakaian yang "menyunnah" itu mestilah jalabiyah gaya orang Maroko. Ia mengingatkan kawannya bahwa bahkan pakaian yang dikenakan oleh orang Saudi sekarang tidak sama dengan pakaian Hijaz abad keenam, pada zaman Rasulullah. Saya teringat kepada jenis-jenis busana Muslim sekarang ini. Menurut kawan saya dari Jemaat Tabligh, yang di situ Lang pernah menjadi salah seorang anggotanya, pakaian Islam bagi pria itu adalah pakaian orang India (Pakistan); yakni, kemeja yang memanjang sampai ke atas lutut. Bagi kebanyakan orang Indonesia, busana Muslim untuk salat dan acara keislaman adalah baju koko tanpa kerah. Bagi saudara saya dari Lasykar Jihad, pakaian Islami adalah pakaian orang Arab Selatan. Bagi saudara saya yang lain, yang terpengaruh Syiah, busana Muslim adalah apa yang dipakai oleh para mullah di Iran. Maka sah-sah saja kalau Dr. Jeffrey Lang mengusulkan agar busana Muslim bagi orang Barat ialah pakaian lengkap, dengan jas dan dasi. Tapi, jika kita menerima usulan Lang, tidakkah kita jatuh pada hambatan besar kedua: mengekor Barat? Memang, di samping kaum "fundamentalis" yang mengekor kebudayaan Arab, kita menemukan juga kaum "liberal" yang mengekor Barat. Kelompok ini melihat Barat sebagai puncak peradaban. Mereka kemudian membungkus kebudayaan Barat dengan kemasan Islam. Saya pernah mendengar seorang mubalig --yang sekaligus doktor lulusan Amerika-- bercerita di depan saya bahwa di Amerika Islamnya banyak tetapi Muslimnya sedikit; di Arab Saudi, Muslimnya banyak tapi Islamnya sedikit. Dari pemujaan kepada Barat yang berlebihan tidak jarang sebagian di antara mereka meninggalkan sebagian syariat, yang dianggapnya bukan ajaran Islam. Kelompok kedua ini juga jatuh pada jebakan kelompok pertama: tidak dapat memisahkan antara kebudayaan Arab dan ajaran Islam. Agar tidak jatuh kepada jebakan-jebakan itu, Dr. Lang menganjurkan agar kita tetap mengembangkan sikap kritis. Ia menulis, "The most effective way to counter either danger is not to discourage questioning and criticism, but, on the contrary, the Muslim community should encourage both. We are most prone to error when we refuse to be self-critical." Kita harus selau bertanya dan mempertanyakan. Even Angels Ask, bahkan malaikat pun bertanya! Lihatlah, bagaimana malaikat yang sangat dekat dengan Tuhan "berani" mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menujuk khalifah di muka bumi: Apakah Engkau akan jadikan di sana makhluk yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah (QS. Al-Baqarah; 30). Pertanyaan malaikat inilah yang sangat mengesankan Dr. Jeffrey Lang. Ini juga yang membawanya kepada Islam. Jika ia ditanya mengapa masuk Islam, jawabannya singkat saja: Al-Quran. Bacalah Al-Quran dengan terus bertanya. Pada Bab 2 dari buku Even Angels Ask, Dr. Lang menunjukkan bagaimana setiap pertanyaan yang mengusik dia dijawab oleh rangkaian ayat-ayat Al-Quran satu demi satu. Membaca Al-Quran menjadi dialog ruhani yang menyejukkan. Pada akhir bukunya, Dr. Lang menyarankan agar Islam Amerika harus menciptakan iklim intelektual yang mendukung penelitian kritis. Ia menyaksikan pada masyarakat Muslim di Amerika ada keengganan untuk menerima kritik satu sama lain. Mereka cenderung saling menuduh dengan tuduhan kafir atau bid'ah. Di antara sesama Muslim disebarkan desas-desus dan fitnah, berita dusta, dan pergunjingan. Seorang mualaf baru kawan Lang pernah berkata kepadanya bahwa hiburan favorit orang Islam adalah bergunjing dan menyebarkan fitnah. Membaca buku ini dari awal sampai akhir adalah mengikuti perjalananan spiritual bukan saja seorang Muslim Amerika tetapi juga perjalanan intelektual Muslim di mana pun, ketika ia dihadapkan pada kegelisahan karena benturan Islam konseptual dengan Islam aktual. Dr. Lang menulis buku ini untuk anaknya. Ia sudah menjawab beberapa pertanyaan yang mengganggunya. Ia ingin agar anaknya melanjutkan penelitian kritis ini dengan berpijak pada hasil kajian kritisnya. Apa saja yang sudah ia pertanyakan dan sudah ia temukan jawabannya? Secara singkat, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Betulkah menjadi Muslim berarti menjadi Arab? Betulkah setiap Muslim harus berjuang mendirikan negara Islam, kalau perlu dengan menghancurkan negara Amerika? Betulkah Islam agama yang misoginis --yang membenci perempuan? Bagaimanakah strategi dakwah Islam di Barat, agar kita menarik non-Muslim ke pangkuan Islam dan sekaligus mempertahankan putra-putra Islam dalam pangkuan Islam? Seluruh buku ini menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sangat menakjubkan. Ia menulis dengan sangat persuasif. Ia meyakinkan kita tidak saja dengan argumentasi yang logis dan tidak terbantahkan, bukan hanya dengan dalil akli dan nakli. Ia juga menyentuh emosi kita dengan kisah-kisah yang terkadang jenaka, terkadang mengharukan. Seperti Dr. Murad Hofmann, muslim Jerman yang menulis Islam als Alternative, saya juga ingin menggaris-bawahi anjuran Lang agar kita tidak bersandar secara membuta pada masa lalu kita, tidak mendogmakan pendapat, kecuali kalau kita ingin jatuh pada atrofi dan kehancuran. Dengan latar belakang budaya kita masing-masing, marilah kita kembangkan Islam yang kontekstual, Islam yang tumbuh subur pada tanah mana pun. Bukan hanya Islam Arab, tetapi juga Islam Amerika, Islam India, dan tentu saja Islam Indonesia. [] (Sebuah pengantar Dr KH Jalaluddin Rakhmat untuk buku Bahkan Malaikat pun Bertanya) |
Rasulullah saw bersabda:“Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.” Tema
All
Arsip
January 2023
|