Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Seorang lelaki tua, berlalu melintas jalan. Subuh dini hari itu, belum banyak yang memulai kegiatan. Langkahnya pasti, pelan-pelan ia ayunkan.
Tabrakan tak dapat dihindarkan. Lelaki tua terpental menghantam trotoar di pinggir jalan. Ia berguling-guling. Tulang-tulang tuanya gemeretakan. Sejenak, ia hilang kesadaran.
Tuan pengemudi terkejut bukan kepalang. Dihampirinya lelaki yang terbaring di tanah lapang itu. Tak hendak ia melarikan diri. Pribadi pengecut bukanlah manusia sejati. Ia sampaikan ampun pada Dia yang menjadi saksi.
Tangannya bergerak cepat. Lelaki tua ia angkat. Pintu mobil yang sejak tadi terbuka, bersiap untuk membaringkan lelaki itu di dalamnya.
Bergegas ia melaju kini. Lebih cepat namun lebih mawas diri. Ke rumah sakit ia menuju. Ke balai kesehatan itu ia melaju.
Sesampainya di sana, dokter jaga menyambutnya. Tindakan terukur dilakukannya, dan sebuah percakapan mengantarkan kesadaran kembali pada lelaki tua yang terbangun penuh tanya.
“Di mana aku?” katanya.
“Di rumah sakit. Kau kecelakaan.” terdengar jawabnya, “Apa yang kaulakukan sepagi ini?” Masih suara dokter melanjutkan jawabannya. Tuan pengemudi mendengarkan di belakangnya.
“Aku hendak membeli roti. Untuk sarapan istriku setiap hari.” Lelaki tua itu menarik nafas panjang, dan terdengar erang kesakitan. “Kau perlu tetap di sini, setidaknya sampai sinar rontgen memetakan apa yang salah dengan tubuhmu.”
“Tidak, aku harus pulang,” katanya menguatkan diri. “Aku harus pulang. Aku harus pulang.” Serunya berulang-ulang.
Ia bangkit. Dokter berusaha menahannya. Tapi tekad itu teramat kuat di hatinya. Dalam kesakitan, langkah pulang ia ayunkan.
Tuan pengemudi menceritakan kejadian. Ia memohon keikhlasan. Lelaki tua memaafkan. Tuan pengemudi menawarkan jasa mengantarkan.
Di jalan, lelaki tua meminta, agar berhenti di toko roti. “Aku selalu membawakan roti untuk istriku, setiap pagi, setiap hari. Tanpa berhenti, tiada kecuali.”
Dengan roti panas di tangan, wajah bahagia menyunggingkan senyuman. Tuan pengemudi mengantar hingga ke ruang makan.
Di sana, perempuan tak kalah tuanya, terbaring di kursi roda. Pandangannya hampa. Tak ada sambutan. Tak ada salam dan sapa. Lelaki tua datang memeluknya. Senyum itu tak pernah lepas dari wajahnya.
“Aku bawakan sarapanmu hari ini.”
Tak terdengar jawaban.
“Keju, mentega atau telur dadar kusiapkan untukmu?”
Masih juga tak terdengar jawaban.
Pemandangan tak lazim itu, tak urung membuat pengemudi bertanya. Namun tak kuasa pula ia katakan. Lelaki tua membaca pikirannya.
“Istriku menderita alzhaimer. Ia sudah tidak mengenaliku lagi. Ia sudah lupa siapa aku. Ia sama sekali tidak tahu diriku.”
Luar biasa. Tetes haru membentuk embun di ujung mata pengemudi. Ia bayangkan
seluruh yang dialami lelaki itu. Setiap pagi buta, bergegas mencari roti, mempersiapkan sarapan pagi, untuk seorang istri yang tidak lagi mengenali dirinya. Ia bayangkan rasa sakit di trotoar itu. Ia bayangkan tekad yang kuat, semangat untuk datang di samping istrinya, yang mengalahkan bahkan perintah dokter untuknya. Ia harus hadir di meja istrinya, setiap hari.
“Tapi mengapa, tuan,” ujarnya menyampaikan tanya. “Mengapa semua ini. Bukankah ia tak mengenali siapa dirimu? Mengapa seluruh jerih payah itu? Ia bahkan tak tahu siapa kamu.”
Dan sebuah jawab terdengar menyesakkan dada.
“Tapi aku tahu siapa dia. Tapi aku mengenalinya.”
Inilah cinta sejati.
***
Ya Allah, Ya Rasulallah. Ampunilah kami. Tak terhitung kiranya kami melupakanmu. Hari-hari kami berlalu, dan kami tak mengingatmu. Dalam tawa kami, dalam riang kami, dalam bahagia kami...tak kami sebut namamu.
Inilah kami, yang terlalu sering melalaikanmu. Tak mampu mengenali sejatinya dirimu. Kegelapan dosa kami tak kuasa menarik cahaya kesucianmu.
Ya Rasulallah,
Adakah engkau datang setiap hari?
Adakah engkau menyapaku setiap pagi?
Adakah engkau menantiku dan menanti?
Adakah engkau mendoakanku tanpa henti?
Adakah harapmu agar jelaga dosa selalu aku kikis dari hati ini?
Pasti. Itu pasti.
Cintamu jauh lebih suci. Jauh lebih sejati. Jauh lebih hakiki. Kau tak pernah tak hadir di sisi.
Ampuni kami Ya Rasulallah. Ampuni kami Ya Rasulallah.
Ampuni kami Ya Rasulallah.
Cintamu pada kami tak pernah berhenti. Satu detik pun. Bagaimana kami menunaikannya? Bagaimana kami kelak menjawabnya.
Ampuni kami Ya Rasulallah...
@miftahrakhmat
Mawlidur Rasul Saw 1439H