Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Masih kuingat wajah-wajah itu. Kawan-kawan yang karena satu dan lain hal memilih menetap di luar negeri. Ada yang menikah dengan orang luar, ada yang tak mengurus perpanjangan paspornya, atau karena berbagai kesulitan dan masalah yang mereka hadapi di tanah air. Dan pada setiap mereka kulihat air mata kerinduan. Tetesan air yang mengembang, membentuk butiran kecil. Dan dalam butiran itu membentang kenangan akan tanah air seluruhnya. Akan tanah kelahiran, tanah leluhur, tanah yang menyimpan memori kolektif dari keberadaan mereka. Tanah yang menjadi identitas lahiriah. Tanah yang menjadi ungkap syukur keberadaan jati diri di muka bumi. Saya bayangkan, dalam sunyi terucap satu kata dalam batin mereka: “Indonesia…”
Barangkali itulah yang disebut dengan fitrah. Sesuatu yang alamiah yang Allah Ta’ala hadirkan dalam hidup dan diri kita. Tidak perlu dalil khusus, apalagi tertulis dalam kitab suci tentang mencintai dan membela negara, karena ia fitrah yang sudah semestinya. Sama seperti tidak akan kita temukan ayat kitab suci yang memerintahkan untuk makan bila lapar. Itu sudah seharusnya. It goes without saying. Demikian pula cinta tanah air. Tapi, benarkah?
Bukankah ada pertanyaan tentang kesetiaan pada agama dan kedudukannya dengan kesetiaan pada negara? Bukankah konon ada dikotomi antara kubu agamis dan nasionalis. Perdebatan yang mewarnai sejak pendirian negeri, hingga mungkin saat ini. Perdebatan yang muncul kembali seiring gairah keberagamaan yang tumbuh di seantero negeri, bahkan dunia. Media luar menggambarkannya sebagai musim semi kesadaran religius. Dan tak jarang, kesadaran beragama ini memisahkan akarnya dari negara, dari tanah air dan bangsa.
Itulah mengapa, seakan ada gerakan internasional untuk membuat segala hal terkait dengan agama itu seragam. Konon, ketika agama terancam eksistensinya, ia akan menonjolkan identitasnya. Maka di mana-mana, identitas itu tampil seragam: sejak cara berpakaian, bahasa yang digunakan, hingga simbol-simbol keagamaan lainnya. Pada titik inilah terkadang cinta pada tanah air dan agama dipertentangkan. Pakaian distandardisasikan, tak ada pakaian lokal. Norma-norma diseragamkan, tak ada norma atau kultur lokal. Khusus untuk Islam, karena ia berasal dari jazirah Arabia, maka tidak jarang makna beragama juga adalah dengan upaya untuk mengambil segala hal yang Arab untuk kita ikuti dalam hidup kita. Benarkah demikian?
Mari kita telusuri bagaimana Kitab Suci menempatkan tanah air dalam ayat-ayatnya.
QS. Al-Mumtahana [60]: 8 dan 9, “(8) Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (9) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zhalim.”
Perhatikan bagaimana Al-Qur’an dengan indah menyandingkan “urusan agama” dan “kampung halaman”. Dua kali dalam dua ayat yang berurutan. Seakan menegaskan kehormatan satu di antara yang dua. Maka kita harus berlaku adil dan berbuat baik pada mereka yang tidak memerangi kita dalam urusan agama, dan tidak mengusir kita dari kampung halaman dan rumah kita.
QS. Al-Baqarah [2]: 246, “…Mereka menjawab: Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami…” Lagi-lagi, berperang di jalan Allah karena terusir dari kampung halaman. Membela kampung halaman disifatkan sebagai perjuangan di jalan Allah.
Dalam riwayat mazhab Ahlul Bait as, berikut beberapa dalil tentang cinta tanah air.
Imam Ali as: “Umiratil buldan bihubbil awthan.” Negeri akan dimakmurkan dengan kecintaan pada tanah air. (Bihar al-Anwar, 75:45)
Masih dari Imam Ali as: “Min karamil mar’i bukaa`uhu ‘ala ma madha min zamanihi wa haninihi ilaa awthaanihi.” Di antara kemuliaan seseorang adalah tangisannya akan apa yang lepas dari umurnya, dan kecintaannya pada tanah airnya. (Bihar al-Anwar, 7:264)
Terjemahan saya ‘kecintaan’ sebenarnya kurang tepat. Imam Ali as menggunakan kata ‘hanin’. Satu di antara kesulitan menerjemahan Bahasa Arab adalah kandungan makna yang tidak dapat diwakili oleh satu pilihan terjemahan kata. Seperti hanin misalnya. Dalam Bahasa Arab ia berarti kerinduan yang besar, rasa kasih dan sayang yang kuat, serta perasaan kedekatan yang sulit digambarkan. Berikut ini terjemahan Bahasa Inggris untuk hanna, hanin: to long, yearn, to feel tenderness, affection, to feel compassion, to blossom. Hanin juga diterjemahkan dengan love, cinta.
Maka seseorang dikatakan mulia menurut Imam Ali as manakala ia melihat zamannya dan menangis karena usia tidak digunakan semestinya untuk mengisinya. Juga pada saat ia melihat tanah airnya, dan menangis karena tidak mendarmabaktikan diri untuknya. Kecintaan pada tanah air akan membuatnya berusaha berkhidmat sebaik-baiknya untuk negerinya.
Dan tentu saja, riwayat yang terkenal, “Hubbul wathan minal Iman.” Atau rujuk Kitab Safinat al-Bihar pada entri wathan, tanah air. Maka kita akan menemukan riwayat-riwayat semisal. Pada kata wathan, yang kita terjemahkan sebagai tanah air, bukan hanya ada tanah dan air. Pada kata wathan juga terkandung makna: orang-orangnya, budayanya, adat istiadatnya.
Karenanya, membangun negeri adalah bagian dari pengamalan ajaran agama. Beragama yang baik adalah berwarganegara yang baik. Demikian pula beragama yang baik adalah berwarganegara yang baik. Mengganggu orang dalam urusan agama, mengusirnya dari tanah kelahiran mereka bukan saja mencederai kecintaan pada tanah air, tapi juga bertentangan dengan ajaran agama. Biarlah setiap bunga tumbuh merekah di tanah air bernama Indonesia ini. Sungguh, di antara karunia yang besar dari negeri ini adalah dikenalkannya kita pada kemajemukan, pada keragaman, dan pada ideologi untuk mempertahankan keragaman itu dalam kesatuan: *Bhinneka Tunggal Ika*.
Kalimat sakti itu sebetulnya perwujudan dari ajaran tasawuf yang cukup dalam. Al-katsratu fil wahdah wal wahdatu fil katsrat. Biarlah itu jadi pembahasan di lain waktu. Intinya adalah, bangsa ini dianugerahi Allah Ta’ala kekayaan kemajemukan ciptaan makhlukNya. Dari berbagai suku, ras, bahasa dan agama. Dan bahwa ia dengan seluruh perbedaannya tetap bisa rukun, damai dan bersatu. Sungguh sebuah nikmat yang luar biasa.
Marilah berterima kasih pada para pendiri negeri. Mereka yang telah memformulasikan perekat teramat kuat untuk menjaga karunia yang besar ini. Maka menjaganya adalah bagian dari syukur nikmat. Berbakti dan mengabdi untuk negeri adalah bagian dari pengamalan keimanan yang kuat. Sungguh, dengan tantangan zaman yang kita lihat sekarang ini, perekat teramat kuat itu wajib kita pelihara. Dalam kaidah Ushul Fiqh, pengantar pada yang wajib hukumnya adalah wajib juga. Syukur nikmat adalah wajib. Pengantar pada syukur nikmat itu adalah wajib juga. Persatuan bangsa ini dalam keragaman adalah sebuah nikmat teramat besarnya. Wajib kita jaga, wajib kita pelihara. Maka menjaga perekat persatuan itu adalah sebuah kewajiban juga.
Tahukah kita apa perekat itu? Ideologi bangsa yang bernama Pancasila. Dengannya kita diantarkan pada berbagai nikmat Tuhan: kerukunan, persaudaraan, toleransi dan persatuan. Tak boleh ada yang menggunjingkan, merendahkan, menjatuhkan orang karena perbedaannya dengan kita. Tidak boleh ada kesenjangan, kesewenang-wenangan dan laku kezaliman. Tidakkah itu juga selaras dengan ajaran agama?
Mari jaga perekat itu, sebagai ungkap syukur nikmat kita. Selamat hari lahir Pancasila.
Kita Indonesia. Kita Pancasila.
@miftahrakhmat