Dari perbedaan pokok itu, masuklah perbedaan kedua. Mazhab yang satu meyakini ada silsilah pemimpin yang diangkat Nabi. Yang lainnya tidak. Pemimpin berasal dari kehendak umat. Bagi yang pertama, tertutup pintu untuk menjadi yang utama. Tak ada peluang untuk jadi imam. Pemimpin hanya boleh orang-orang pilihan. Lain dari mereka, tidak ada kesempatan sama sekali. Adapun yang kedua, meyakini keadilan Allah Ta'ala. Siapa pun bisa jadi imam. Siapa pun bisa jadi pemimpin. Peluang itu terbuka bagi siapa saja. Pewaris nabi mungkin satu di antara kita: aku, anda, atau dia. Khalifah yang dengan melihatnya kita akan diingatkan pada Tuhan, yang perilakunya mencerminkan seluruh keteladanan, mungkin saja dari keluarga kita, kawan sekamar, atau orang yang kita jumpai di pinggir jalan.
Perbedaan lain menyusul setelah itu. Yang satu mengambil hadis-hadis Nabi Saw dari para pemimpin pilihan itu. Yang lain dari siapa saja, sepanjang ia bersambung pada Nabi Saw. Seluruh aspek peribadatan (bisa) jadi berbeda, karena silsilah periwayatan itu. Yang satu turun temurun mewariskan kepemimpinan dalam sebuah dinasti, garis emas darah biru keturunan Sang Nabi. Yang lainnya, datang silih berganti. Bertukar peran kapan saja, tergantung siapa yang diangkat menjadi raja.
Dan sejarah menjadi saksi perjalanan dua buah yang dihasilkan pohon Islam ini. Semua bersaudara. Mengutip Anies Baswedan, berbeda tak harus bertentangan, "Lawan debat, teman diskusi. Lawan badminton, teman berolahraga."
Namun, ada yang menarik dari sejarah Islam bagaimana dua saudara ini memperlakukan para pemimpin mereka. Yang satu mencintai begitu rupa, hingga dibangunkan kubah emas di atas pusara mereka. Yang lain membiarkan begitu saja, tak terpelihara, terkadang tanpa nisan penanda. Yang satu rela berkorban apa saja, menempuh ribuan mil jauhnya, untuk menyatakan tanda cinta, berdesak-desak di antara sesama perindu dan pemuja. Yang lain tak punya ritual yang sama. Tak ada peziarah. Tak ada pecinta yang menempuh begitu banyak kendala. Tak ada rindu. Yang ada hanya cerita.
Begitu pun berbagai peristiwa. Yang satu mencatat dengan rapi, memperingati setiap hari yang terlewati; dari kelahiran, penobatan, kematian, tragedi dan sukacita, bahagia dan bencana. Yang lain tak terlalu mementingkannya. Yang sudah ya sudahlah. Yang berlalu, ya berlalulah.
Tapi saya melihat yang lain, dan menurut saya, justru jadi perbedaan yang utama.
You see, all this time, we've been talking about ourselves, our actions, our hopes, fears and desires. Have we not been so selfish? Are we not egoistics? Are we not stubborn and arrogant? Don't we think that we can handle everything, that we are on our own. That God has created us in the best way, so that we may face everything all alone…
Ada perbedaan besar dan utama, pada kedua saudara yang insya Allah saling menyayangi sesama, yaitu pada cara kita memandang diri dan dunia. Dan inilah beda yang kedua. Ada mazhab yang mengandalkan sepenuhnya pada kemampuan diri. Yang lainnya menggantungkan keselamatan pada belas kasih dan rasa iba, dari para pemimpin yang penuh cinta.
Di manakah kita berdiri? Adakah kita di pihak yang jumawa, yang yakin amal perbuatan akan membawa kita ke suwarga? Yang tak perlu penyelamat, yang tak yakin akan syafaat? Yang akan datang pada Tuhan sendiri, dan dengan bangga memperlihatkan hasil diri. Yang tak perlu sahabat, yang tak butuh pengingat.
Ataukah kita berdiri di barisan mereka yang putus asa, yang yakin takkan ada keselamatan kecuali karena kasih yang didamba, yang yakin akan celaka, kalaulah tidak rindu yang dicinta. Sungguh, mereka bersimpuh luruh karena diri yang penuh dosa, dan teriak lantang menggema dari dasar jiwa, "Inilah aku yang telah menentang Penguasa segala. Inilah aku yang melawan Raja diraja. Inilah aku yang bermaksiat pada Tuhan Sang Pencipta…" dan tangis penyesalan mengalir deras, seraya berharap suara merdu menenangkan dukanya, tangan halus mengangkat kepalanya, dan peluk hangat membahagiakan gundah batinnya.
Sahabat, kita terlalu sombong bila merasa cukup dengan amal kita. Kita terlalu angkuh bila berharap mengejar pahala. Aku pun dulu begitu. Semua kulakukan untukku, untuk keselamatan dan kebahagiaanku. Amalanku untukku, bukan untukmu. Aku berebut shaf pertama. Pakaian shaleh jadi busana. Kalimat-kalimat suci mengalir dari lisan, dan aku akan marah bila orang mengatakan ibadahku percuma. Aku berharap surga di akhir sana. Wajar kiranya, karena telah kuhabiskan waktu dalam doa.
Tapi kini, keyakinanku luluh. Ibadahku runtuh. Harapku luruh. Aku tak berhak atas seluruh amalan itu. Semua dari Dia dan hanya karenaNya. Maka kehendakNya terjadilah. Bagaimana mungkin akan berhujjah, pada Dia yang mengetahui seluruh kisah? Untuk apa lagi alasan, setelah terbuka seluruh yang disembunyikan?
Kini aku yakin, seyakin-yakinnya, bahwa aku tidak akan masuk surga, dengan amalan yang kubawa. Aku tidak akan selamat, hanya dengan apa yang dicatat oleh para malaikat. Bila Tuhan bertanya satu hal saja, segera hancur seluruh daya: "Bagaimana dahulu kau mensyukuri semua nikmatKu?" Satu kalimat itu, gugur sudah amalku. Tak berdaya lisanku, dan kecelakaan membayang di depanku.
Di sinilah, dua bangunan dalam Islam itu sedikit berbeda. Yang satu menggantungkan diri pada para penyelamat. Yang lainnya, meyakinkan diri cukup dengan amalan yang diperbuat. Kata yang satu, justru karena keadilanNya, diturunkan bagi manusia sebaik-baiknya kekasih dan sahabat. Kata yang lain, each man for himself. Justru karena Tuhan adil, maka kesempatan yang diberikan sama. Celaka atau selamat, semua karena amal yang diperbuat, tanpa bantuan siapa pun, tidak keluarga ataupun kerabat.
Singkat kata, mazhab yang satu pemimpinnya sudah ditentukan setiap zaman, tapi ia membuka kesempatan untuk bergabung dengannya siapa saja. Dan kembali pada Tuhan bersama-sama. Saat itu, tak ada lagi jarak antara pemimpin dan yang mengikutinya. Mereka satu dalam cinta.
Adapun mazhab yang kedua, pemimpin boleh siapa saja, tak ada teladan pilihan Tuhan, dan ketika kelak setiap orang berpulang, masing-masing siap dengan pertanggungjawaban. Pemimpin dengan tugasnya, dan para pengikut dengan kewajibannya. Pemimpin bisa ke surga, sedang pengikutnya ke neraka. Atau sebaliknya, para pengikut yang ke surga, dan sang pemimpin justru diseret ke neraka.
Secara fitriah, manusia tidak bisa dipisahkan dari kebersamaan itu. Indahnya paradoks dalam kehidupan adalah ketika ada dua hal terkesan bertentangan yang saling melengkapi kehadiran masing-masing. Ia datang dengan sendirinya. Manakala kita bahagia karena jadi juara pertama, pada saat yang sama kita berempati karena banyak yang lain yang gagal meraihnya. Boleh jadi kita tertawa, tapi sebaris duka dengan segera akan ikut serta.
Bayangkan beberapa orang berdiri, menanti hasil sebuah audisi. Yang akan lolos seorang saja, dan lima orang tampak komat kamit berdoa. Ketika diumumkan, sang juara sontak bersujud, bersyukur pada Tuhan. Tidakkah ia ingat perasaan empat orang di sampingnya?
Makin tinggi seseorang berjalan, makin luas sayapnya membentang. Makin bahagia seseorang, makin 'terjerumus' ia dalam kebersamaan, tanpa sanggup ia lawan. Makin kaya seseorang, makin ia tak membutuhkan, makin ia jadi dermawan.
Ada pertanyaan anakku yang ia peroleh dari buku bacaan. Saya sertakan itu dalam ujian kuliahan. Pertanyaan bonus, bukan sungguhan: "What is greater than God, more evil than the devil. The poor has it. The rich needs it. And if you eat it, you will die. What is it?"
Banyak mahasiswa saya menjawab serius, "Tak mungkin ada hal seperti itu. Tuhan tak punya pembanding. Setan tak bisa ditandingi…dan sebagainya." Exactly, that's the answer: nothing. Nothing is greater than God. Nothing is more evil than the devil. The poor has nothing. The rich needs nothing. And if you eat nothing, you will die.
Ajaib, ketika orang punya segalanya, justru ia tak menikmatinya. Manusia adalah makhluk begitu rupa, sangat besar keinginannya meraih sesuatu, tapi begitu sesuatu itu tercapai, hilang pula makna dari pencariannya sebelumnya.
…
Pernahkah kita melihat seseorang begitu bangga dengan seragam yang dikenakannya? Ia bukan lagi orang yang sama. Ia bagian dari institusi yang lebih besar. Seorang anggota polisi adalah bagian dari keluarga besar Polri. Meski seorang diri, ia bisa memberhentikan mobil berisi puluhan orang sekaligus. Bukan karena lengkingan peluitnya, tapi karena ia personifikasi dari lembaga yang lebih besar darinya. Begitu pula seorang bintara TNI yang merupakan bagian dari keluarga besar militer negeri ini.
Simaklah bagaimana para abdi dalem dengan penuh kebahagiaan berkhidmat di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Konon, ada yang (hanya) memperoleh uang bulanan sepuluh ribu rupiah. Tapi mereka bahagia menerimanya, penuh berkah dan sukacita. Karena mereka menjadi bagian dari sesuatu yang (mereka yakini) lebih besar, raja-raja yang berkhidmat untuk membahagiakan rakyatnya. Almarhum Mbah Maridjan bahkan bertahan di tengah gemuruh debu panas, karena tak ingin meninggalkan amanah yang diembankan kepadanya. Ini bukan masalah pendapatan. Ini perkara kehormatan.
Yü, seorang panglima perang Dinasti Shun yang mendirikan kekaisaran China, lebih dari duaribu tahun lalu, berkhidmat begitu rupa pada rajanya sehingga kisahnya menjadi legenda. Konon, banjir besar melanda negerinya, dan ia ditugaskan raja untuk mengeringkan seluruh negeri itu. Tugas ini, ia lakukan delapan tahun lamanya. Dan selama delapan tahun itu, tak sekalipun ia memasuki rumahnya. Meski berkali-kali melewati, ia tak pernah memasukinya, sampai pekerjaan itu selesai dilakukannya. Kelak, ia mendirikan Dinasti Hsia yang bertahan hingga 300 tahun setelahnya.
Sekarang, keluarga besar manakah yang kita ingin menjadi bagian di dalamnya? Ini sesuatu yang tak terpisahkan. Boleh jadi, almamater kita jadi kebanggaan kita, jadi jati diri kita. Sedikit saja hinaan, tercoreng kepribadian. Mungkin asosiasi profesi, mungkin gerakan-gerakan sosial, mungkin tokoh-tokoh bangsa, mungkin dinasti dan silsilah yang telah bertahan puluhan tahun lamanya. Kita tak pernah sendirian. Ruh kita akan selalu mencari sandaran dalam perjalanannya, mencari kawan, mencari tempat bergantung, mencari tempat berlindung.
Wajar bila kemudian kita melihat orang membabi buta membela kehormatan orang yang dicintainya. Karena ia bagian darinya. Ia sudah menisbatkan dirinya pada segala sesuatu tentang pujaannya. Pertanyaannya, ke mana kita selayaknya bersandar? Dengan siapa kita sepantasnya bergabung? 'Lembaga' besar apa yang dengan menisbatkan diri kita kepadanya, kita merasa keberadaan kita diakui, kebahagiaan kita dicukupi, dan kerinduan kita terpenuhi.
Barangkali, karena itulah Tuhan menyeru, wa'tashimu bihablillahi jami'an wa laa tafarraqu, "Berpegangteguhlah kalian semua pada tali Allah dan janganlah bercerai berai." Kata 'jami'an' bisa juga diartikan 'dalam jama'ah', bersama-sama, kebersamaan.
Kitab-kitab suci mengisahkan pada kita "lembaga" besar itu. Merekalah orang-orang terpilih yang telah meniti jalan kesucian. Itulah juga mengapa meski berdiri sendirian untuk shalat, kita selalu berdoa dengan menggunakan kata 'kami'.
KepadaMu kami menyembah. KepadaMu kami mohon pertolongan. Tunjuki kami jalan yang lurus, yaitu jalan mereka yang Kauberi nikmat. (Nikmat itu adalah) bahwa Engkau tidak pernah murka pada mereka, tidak pula mereka berada dalam kesesatan.
Begitu pula ketika mengakhiri shalat, kembali kata kami digunakan, "Salam bagi kami dan hamba-hamba Allah yang shalih." Lagi-lagi kebersamaan.
Dalam beberapa riwayat, meski shalat sendirian, tetaplah baca adzan dan iqamah, Tuhan akan kirimkan ribuan malaikat berbaris di belakang kita, bershaf dan bermakmum pada kita.
Dalam fikih mazhab pecinta keluarga Nabi bahkan bila kita sudah bermakmum dalam shalat, pada seorang imam yang kita percayai, kita tidak lagi membaca al-Fatihah dan surat pendek, tidak juga dalam hati. Kita ikut bacaan Imam, bahkan dalam shalat yang tak bersuara sekalipun. Kita sudah menggabungkan diri kita dengan Sang Imam. Lain halnya bila Imam itu kita ketahui orang yang tidak benar, yang memecah persaudaraan kaum Muslimin, yang menjelek-jelekkan orang lain, yang terang-terangan memusuhi sesama kaum Mukminin. Bahkan menurut Al-Quran, tak sah shalat di tempat seperti itu, di masjid yang justru menebar fitnah untuk kaum Muslimin. Tidak sah juga shalat bila masjid itu didirikan di atas tanah rampasan, tanah gusuran, atau tanah paksaan.
Shalat jamaah mengajarkan pada kita kebersamaan. Itulah mengapa shalat wajib paling baik di masjid bagi laki-laki, dan shalat sunnah dilakukan di rumah. Mengapa Nabi Saw meringkas shalat karena mendengar tangis anak kecil? Kebersamaan. Mengapa Nabi Saw kembali ke 'bumi' setelah safar ruhani ke Sidratul Muntaha? Kebersamaan.
Inilah yang disebut Gibran sebagai bukit cinta. Sebuah bukit yang didaki ribuan orang. Seseorang sampai di puncaknya. Ia pikir, ia akan menemukan kesempurnaan cinta. Ajaib, katanya, satu-satunya yang ia rasakan adalah dorongan besar, keinginan untuk kembali ke lembah, dan berjuang bersama orang-orang yang masih berjuang menuju puncak bukit itu.
Ada yang menarik dari Alquran, kitab suci yang takkan habis dikaji itu. Selain tokoh-tokoh yang dikisahkan, ada juga misteri yang (seolah) disamarkan. Perhatikan bagaimana huruf-huruf muqatha'ah mengunci penafsiran Al-Quran. Tak seorang pun paham makna di balik "Alif laam miim" "Alif laam raa" "Nun" "Shad" "Qaaf" dan sebagainya. Ia menjadi rahasia yang menunggu untuk dipecahkan. Tak mungkin ia tanpa makna. Mengapa tak ada sahabat Nabi Saw yang pernah mempertanyakannya?
Masih ingat perbedaan dua mazhab besar dalam perjalanan? Yang satu bersandar pada keluarga Nabi, manusia-manusia pilihan. Yang lain, pada siapa saja.
Nah, menarik bahwa jumlah keluarga 'kerajaan' itu berputar pada angka-angka tertentu. Ini ciri lain mengidentifikasi mereka. Kebetulan, itu juga nomor punggung jersey bola saya. Angka-angka itu adalah: 5, 7, 12 dan 14. Adakah rahasia di balik angka-angka itu?
Saya pribadi suka angka itu, meski setiap angka sama baiknya. Saya lahir tanggal 7 bulan 5. Bila dijumlahkan, 12. Saya anak kedua dari lima bersaudara. Bila angka lahir saya dikalikan urutan lahir saya, 14. Saya memberikan makna pada angka-angka itu dalam kehidupan saya. Istri saya lahir tanggal 27. Bila 2 dikalikan 7, 14 jumlahnya. Anak saya yang pertama lahir tanggal 2 bulan 6. Hasilnya: 12. Adiknya, tanggal 17 bulan 1, 17. Angka unik berikutnya. Jumlah rakaat shalat dalam sehari. Gabungan dari ibadah yang lima itu.
Tapi ternyata, ada rahasia lain di balik itu. Ia menjadi simbol tak terbantahkan dari konsistensi kitab suci. Ibarat pesan langit yang perlu diuraikan. Ibarat sandi yang perlu dipecahkan. Makin dalam, makin takjub saya, makin hanyut dalam keharuan, makin ingin bergabung dalam kebersamaan.
Keluarga suci yang diselimuti Nabi Saw di rumah Ali, ada lima orang: Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
Al-Fatihah yang menjadi pembuka surat, yang membedakan Al-Quran dengan kitab suci lainnya, berjumlah tujuh ayat. Inilah Al-Kitab yang diawali dengan Rabb al-'Aalamin (Tuhan semesta alam) dan diakhiri dengan Rabb al-Naas (Tuhan manusia).
Jumlah pemimpin yang diwasiatkan Nabi Saw dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim duabelas banyaknya.
Dan bila duabelas ini ditambahkan dengan Sayyidah Fathimah sa dan Rasulullah Saw, gabungan dari 12 pemimpin dan 5 orang suci dalam selimut Nabi, jumlahnya adalah 14, karena tiga orang pemimpin itu masuk juga dalam selimut suci.
Maka ketahuilah rahasia di balik senarai angka-angka. Adakah ia kebetulan saja? Ataukah pesan yang tersimpan sekian lama.
Berikut di antaranya. Bagi yang penasaran lebih jauh, tunggu buku saya berikutnya.
Jumlah huruf muqatha'ah dalam Al-Quran, 14 banyaknya.
Jumlah bentuk penggunaan huruf-huruf itu juga 14 banyaknya.
Jumlah kata imam, pemimpin, orang baik, orang takwa, orang terpilih, bintang, penerus, penerima wasiat dalam Al-Quran, masing-masing ada 12 jumlahnya.
Al-Fatihah disebut sebagai "Tujuh yang berpasangan" dan tujuh yang berpasangan artinya 14. Jumlah kata pada ayat shalawat pada Nabi Saw ada 14 banyaknya. Jumlah kata pada ayat berikutnya 14 juga. Lalu 12 setelahnya. Apa ketiga ayat itu. Pertama, kewajiban bershalawat dan pasrah sepenuhnya pada titah Nabi Saw. Kedua, bahwa orang yang tidak taat pada Nabi telah menyakiti Allah dan RasulNya. Ketiga, peringatan agar orang tidak menuduh sesuatu pada sesamanya, karena ia bisa memikul kerugian dan dosa yang amat besarnya.
Tahukah kita bila Al-Quran ada penafsirnya? Pembandingnya, yang senantiasa menyertainya, yang takkan pernah terpisahkan darinya selama-lamanya.
Maka kata gabungan "Hadza al-Quran" Al-Quran ini, ada 14 jumlahnya. Kata "Qur'anan, Qur'anin, Qur'anun" juga 14 banyaknya. Lebih menarik lagi, ayat-ayat yang bercerita tentang ketaatan pada Allah dan RasulNya, juga 14 jumlahnya.
Kemudian kata benda yang dinisbatkan pada Allah, dan didahului dengan huruf "ba" yang menunjukkan "dengan" atau sesuatu perantaraan, seperti "bi 'ahdillah, binashrillah, bifadhlillah, bi idznillah…dan seterusnya," juga 14 banyaknya.
Lalu kita bicara tentang 'kebenaran'. Ayat-ayat yang berkisah tentang "kebenaran dari Tuhan" al-haqqu min rabbika, atau rabbihim, atau rabbikum…lagi-lagi, 14 juga bilangannya.
Atau maukah kita melihat ayat-ayat yang bercerita tentang "Kitabun minallah" kitab dari Tuhanmu. Berapa kali kah ia disebut dalam Al-Quran? Benar, 14 banyaknya.
Atau mungkin kata "Mawla" yang kita cari, junjungan artinya. Benar, lagi-lagi ada 14 juga.
Atau barangkali kata "maha tinggi Dia" Ta'ala, fata'ala, wa ta'ala…14 juga.
Simak pula bagaimana dalam mazhab pecinta keluarga Nabi Saw, kata 'Karbala' takkan pernah hilang dari ingatan. Karena ia merujuk pada sebuah peristiwa kesempurnaan cinta dan pengorbanan. Ia terjadi pada tanggal 10. Karena itu disebut Asyura. Bila bulan lahirku dikali urutan hadirku, 10 pula hasilnya. Karbala terdiri dari dua kata, karbun dan bala. Berapa jumlah kata karb dan bala dalam Al-Quran bila digabungkan jadi satu? 10. Mengingatkan peristiwa di tanggal sepuluh itu.
Mungkinkah semua kebetulan saja tanpa makna? Ataukah Al-Quran tengah mengisahkan kepada kita, sebaik-baiknya sahabat dalam perjalanan, sebaik-baiknya kekasih dalam kebersamaan…
Kata "subhana" yang artinya mahasuci 14 juga bilangannya. Al-Fatihah bahkan mengisahkan yang lebih banyak lagi dari itu.
Mahasuci Engkau Tuhanku, perkenankan aku mengenali teladan itu. Izinkan aku mencintai mereka sepenuh hati. Biarlah aku jadi abdi di istana mereka. Biarkan aku mengusap jejak kaki sahara mereka. Berikan aku kesempatan bergantung pada kibas selendang mereka. Sungguh, aku tak ingin berpaling. Aku takkan pernah berpaling…
Miftah F.Rakhmat, Ketua Yayasan Muthahhari Bandung