Aku tahu nenekku ketakutan, tapi ia juga tidak begitu saja dapat meninggalkan cara salat yang lama. Tampaknya, ia stress banget. Ketika ia meninggal dunia, ia mungkin masih bergelut dengan pendapat cucunya yang cerdas dan pintar agama.
Waktu itu memang aku lagi bersemangat untuk “memuhammadiyahkan” semua keluargaku yang “NU”. Aku bukan hanya berdebat dengan nenekku. Pada satu majlis pengajian, aku diturunkan dari mimbar oleh pamanku, Kiai yang punya pesantren dan majlis taklim di kampungku. Pada waktu jumatan, aku bikin ribut karena duduk seorang diri ketika semua orang salat qabla Jumat.
Di kampung, aku berdebat dengan sesama umat Islam. Di kampus, aku mengajak kawan-kawanku yang beragama Kristen berdiskusi tentang agama. Pada semua perdebatan itu, aku selalu merasa menang. Aku tambah yakin bahwa pemahamanku tentang agama Islam adalah yang paling benar. Dibandingkan dengan agama-agama lainnya, jelas hanya agama Islam yang membawa kita ke surga. Nonmuslim, betapa pun baik akhlaknya, betapa pun banyak kebaikannya, akan dilempar ke neraka.
Berangkatlah aku ke Amerika, ke negeri orang “kafir”. Para dosenku di sana ternyata lebih ramah, lebih rendah hati, dan lebih senang membantu mahasiswanya ketimbang dosen-dosenku yang Muslim. Teman sekamarku orang Amerika dari Utah, beragama Mormon. Ia tidak minum minuman keras, bahkan teh dan kopi. Ia banyak makan buah-buahan. Di kamarnya, ia menempelkan tulisan besar –Keep morally clean.
Dalam pergaulan, ia memperlakukan teman lain jenisnya lebih sopan ketimbang kawan-kawan muslimku. Ketika aku belanja di pasar, pedagangnya lebih jujur dari pedagang Muslim yang aku kenal. Pada suatu hari, di tempat parkir aku melihat tempelan kertas di kaca mobil kawanku; bertuliskan “aku menabrak mobilmu. Hubungi aku pada telpon sekian”. Kami memeriksa body mobil dan kami melihat goresan kecil di sudut belakangnya. Luar biasa! Setelah aku sering menyaksikan tabrak lari di tanah air.
Betulkah Tuhan akan memasukkan mereka semua ke neraka, hanya karena mereka tidak masuk Islam? Benarkah semua orang kafir itu jahat? Ketika kawan-kawan Kristenku mengundang aku untuk menghadiri perayaan Natal, dengan tanpa keraguan sedikit pun aku mendatangi undangan itu. Pada acara makan-makan, dengan cermat mereka menunjukkan kepadaku mana daging babi, mana minuman beralkohol dan sebagainya. Mereka tampaknya senang karena kehadiranku. Di tengah-tengah pesta Natal itu aku sudah menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Tuhan yang Maha Pengasih pasti akan memperlakukan semua penyembahNya dengan timbangan keadilan, bukan berdasarkan agama dan keyakinan.
Bukankah Al-Quran menyebutkan: Siapa saja – artinya, apapun agamanya- yang berbuat baik, walaupun sebesar debu, ia akan melihatnya. Dan siapa saja yang berbuat buruk, walaupun sebesar debu, ia akan melihatnya? Bukankah Al-Quran juga yang mengatakan: Semua orang mempunyai derajat sesuai dengan amalnya? Bukan karena mazhabnya, agamanya, atau aliran pemikirannya. Di sisi Tuhan, ukuran kemuliaan kita adalah amal kita.
Pada suatu musim gugur di Basel, Swiss, aku mewakili umat Islam untuk ikut serta dalam konferensi antar agama. Semua agama berbicara tentang missi yang sama - menghilangkan penderitaan umat manusia, apa pun agamanya. Aku menyampaikan makalah pandangan Islam tentang menolong: Ethiek des Hilfens in Islam.
Aku membawakan hadis Qudsi tentang Tuhan yang menuntut hambaNya pada hari kiamat: Dahulu aku lapar, kenapa kamu tidak memberimu makan. Dahulu aku sakit, kenapa kamu tidak menjengukku. Dan seterusnya. Hamba Allah menjawab: Bagaimana mungkin aku memberimu makan, padahal Engkau Rabbul ‘Alamin? Tuhan kemudian berkata: Dahulu ada hambaku yang lapar. Jika kalian memberinya makan, kalian akan menemukan Aku di situ.
Para peserta memberikan komentar bahwa cerita yang sama ada dalam agama mereka. Pendeta Kristen menyebut satu ayat dalam Matius. Pendeta Budha mengutip ucapan Budha. Dan begitu seterusnya. Pada 11 September 2002, di sebuah kapel kecil di tempat konferensi, kami berkumpul menyanyikan lagu duka untuk mereka yang menjadi korban peristiwa itu –baik pada waktunya maupun sesudahnya. Seorang katolik dari Amerika Latin mengantarkan bunga kecil ke depan peti mati di depan kami seraya berkata: Untuk korban kekerasan ketika Panama diserbu tentara Amerika. Aku pun berdiri dan menyimpan bunga kecil seraya bergumam keras: Untuk semua orang tak bersalah –khususnya jutaan orang Islam di Afghanistan- yang meninggal sesudah dan karena peristiwa 11 September.
Kami menyanyikan doa-doa kami. Aku mengusap mukaku, yang basah dengan air mata. Dengan menggunakan kata-kata kawanku yang beragama Katolik: Kita semua adalah sejawat di alam semesta. Dengan menggunakan kata-kata Imam Khomeini: Musuh kita sama, yakni kezaliman, siapa pun pelakunya. Dan ini kata-kataku sendiri: Tugas kita sebagai pemeluk agama bukanlah mempertahankan betapa benarnya agama kita. Tugas kita -sama seperti Rasulullah saw- ialah menyebarkan kasih di seluruh alam, rahmatan lil ‘alamin.
Imam Khomeini sedang menjalankan tugas yang mulia itu, ketika di musim dingin yang sejuk ia mengunjungi tetangga-tetangganya di Chaple le Chateau. Dengan jubah yang menyapu butir-butir salju di bawah kakinya, ia membungkuk di depan tetangga-tetangganya yang beragama Kristen, mengucapkan selamat hari Natal. Aku terharu ketika memandang gambar Imam Khomeini di depanku, ketika mengetik tulisan ini.
Mungkin aku terharu karena foto itu mengingatkanku pada pluralisme yang dipraktekkan Imam Khomeini. Mungkin juga karena aku teringat nenekku tercinta yang meninggal dengan membawa virus eksklusivisme yang aku suntikkan kepadanya. Mungkin juga aku teringat kepada pertengkaranku dengan tetangga sesama Islam tentang qabla jumat, tahlillan, dan talqin mayit. Atau mungkin karena aku menyesal betapa kerasnya aku memfatwakan haramnya mengucapkan hari Natal pada jamaahku.
Dr KH JALALUDDIN RAKHMAT adalah Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia