Ketika Rasulullah meninggal dunia, Fatimah datang menuntut tanah Fadak yang dihadiahkan Nabi saw kepadanya. Kisah tanah Fadak diceritakan dalam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan sunan At-Turmudzi.
Ia menunut tanah warisan ayahnya. Kemudian Abu Bakar berkata bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan warisan apa-apa, semuanya diperuntukkan untuk kepentingan umat.
Untuk itu Fatimah berkata: bukankah para nabi juga sebelumnya mewariskan kekayaannya kepada keturunannya, bukankah al-Qur’an menyatakan wawaritsa Sulaimaan Daawud, bukankah Sulaiman mewarisi Dawud; bukankah Nabi Zakaria berkata yaritsuunii wayaritsu min aali Ya’quub, “beri aku anak yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya’qub.” Para nabi saling mewariskan di antara sesamanya.
Dan Fatimah menyampaikan tuntutannya itu dalam sebuah pidato yang dicatat sejarah dalam balagatun nisa. Banyak orang menuduh Fatimah matre, dia mencintai dunia, padahal Fatimah sebetulnya tidak mencintai Tanah Fadak itu, yang dia cintai adalah keadilan.
Kalau penguasa sudah berani merampas harta keluarga Nabi, apalagi yang akan menghalangi mereka untuk merampas hak-hak rakyat kecil. Fatimah berdiri bersama suaminya sebagai shautul adaalatil insaaniyyah, suara keadilan manusia.
Sekarang ini ketika kaum perempuan mencari idola untuk dijadikan contoh dalam kehidupan mereka, sebaiknya mereka kembali menengok Sayyidah Fatimah, seorang perempuan yang ahli ibadah, yang setia kepada suaminya. Pada saat yang sama, dia berjuang bersama suaminya untuk menegakkan keadilan.
Dr KH Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura IJABI
(Ditulis ulang dari youtube oleh A. Safri Bachtiar)