Sebenarnya, ruang antara dua pasukan itu adalah celah yang memisahkan dua ideologi besar dunia: mazhab kecintaan dan mazhab kebendaan. Mazhab kecintaan adalah mazhab ilahi, yang kepadanya bergantung keadilan dan kasih-sayang. Mazhab kebendaan adalah mazhab yang di atasnya ditegakkan kezaliman dan kebencian. Namun, yang paling menarik dari kedua pasukan ini ialah kenyataan bahwa mereka semua menisbahkan dirinya kepada agama Islam.
Ada ahli sejarah yang menyebutkan bahwa inilah pertarungan antara keluarga Abu Sufyan dan keluarga Nabi saw, atau antara dua kabilah yang saling bermusuhan sejak Abdu Manaf bin Qushay, atau antara dua partai politik besar dalam sejarah Islam masa dulu. Sebut apa saja sekehendakmu. Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Kami dan keluarga Abu Sufyan memang bermusuhan karena Allah. Kami berkata: Allah benar. Mereka berkata: Allah bohong!” [1]
Dr Fuad Jabali[2] melakukan penelitian mendalam tentang dua kelompok sahabat yang berhadapan di Shiffin; persis seperti mereka yang berhadapan di Karbala (nama kemudian dari Kur Babil). Diduga mereka bermusuhan karena fanatisme kabilah, karena letak geografis tempat tinggalnya, atau kepentingan ekonomi. Semua hipotesis itu keliru. Mereka bermusuhan karena perbedaan ideologis: antara orang-orang yang dibesarkan dalam asuhan wahyu dengan orang-orang yang masuk berbondong-bondong setelah berakhirnya wahyu.
Di Karbala, lebih dari 1400 tahun yang lalu, dari pihak pembawa pesan Madinah berdiri sosok indah pelanjut risalah, al-Imam. Ia hadapkan seluruh wajahnya kepada lautan manusia dari Syam. Kali ini mereka diwakili oleh ‘Umar bin Sa’ad, yang mau membunuh cucu Nabi saw karena tergiur jabatan sebagai gubernur.
Dengarkan dialog di antara dua kubu ideologi dunia ini:
Imam Husain mengajak dia untuk meninggalkan Ibnu Ziyad dan bergabung dengan beliau.
Aku takut mereka akan menghancurkan rumahku.
Aku nanti membangunkan bagimu rumah yang bagus.
Aku takut mereka merampas harta-bendaku.
Aku akan gantikan hartamu dengan yang lebih baik dari itu.
Di Kufah aku punya keluarga, Aku takut mereka akan dibunuh Ibn Ziyad.
Ayat Al-Tawbah 24 seakan-akan turun khusus untuk ‘Umar bin Sa’d: Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. Namun ayat ini boleh jadi turun untuk kita –wal ‘iyadzu billah- jika kita lebih mendahulukan kepentingan keluarga dan kelompok kita, rumah yang kita banggakan, harta kekayaan yang kita kumpulkan, perdagangan yang kita jalankan, di atas kecintaan kepada Allah dan RasulNya dan jihad di jalannya.
"Inilah ideologi Ibnu Sa’d, untuk itu ia hidup dan mati: hartanya, rumahnya, keluarganya, dan kelompoknya,” kata Syaikh Jawad Mughniyah. “Adapun agama dan hati nurani, adapun Allah dan RasulNya hanyalah kata-kata yang diulang-ulang selama terpelihara hartanya, rumahnya, anak-anaknya, dan kelompoknya. Ibnu Sa’d memerangi Imam Husain demi kepentingan pribadi dan kecintaan kepada dunia. Semua yang mendahulukan kekayaan dan keluarga di atas ketaatan kepada Allah dan RasulNya, maka ia sedang hidup dengan ideologi Ibnu Sa’ad, walaupun ia menangisi Imam Husain sampai memutih matanya, walaupun ia mengutuk Ibnu Sa’d seribu kali, selama yang mendorongnya untuk bertindak sama dengan yang mendorong Ibnu Sa’ad membunuh Imam Husain.”[3]
Pilihlah jalan hidupmu sekarang. Bergabunglah dengan Ibnu Sa’d. Dahulukan rumahmu, keluargamu, kelompokmu, kalau perlu dengan mengurbankan agamamu. Agama hanya kamu ucapkan ketika kepentingan-kepentingan pribadimu terjaga.
Atau bergabunglah dengan al-Imam al-Husain seperti Ummu Wahab. Ia berkata kepada anaknya: Bangunlah anakku, bela anak putri Nabi saw. Anaknya menjawab: Pasti aku lakukan, ya ummah. Aku takkan pernah gentar. Melejitlah ia ke tengah-tengah musuh. Ia berhasil membunuh sekelompok lawannya. Ia kembali kepada ibunya, dengan nafas terengah-engah. Ya Ummah, aradhiiti, sudah ridokah engkau, ibu. Tidak, sebelum engkau terbunuh di hadapan al-Husain.
Dia menyerbu ke tengah-tengah pasukan musuh, membunuh sekitar 19 orang berkuda dan 12 orang pejalan kaki. Kedua tangannya dipotong, kepalanya dipenggal. Ummu Wahab mengambil tongkat dan membunuh pembunuh anaknya: Biarlah ibuku dan bapakku menjadi tebusanmu. Ia telah berperang demi manusia-manusia suci dari keluarga Rasulullah saw.”
Assalamu’alaika ya aba ‘abdillah, ‘alaika minni salaamullahi abadan ma baqiitu wa baqiyal layli wa al-nahar. Assalamu ala al-Husain, assalamu ‘ala ‘Aliyyibnil Husain, assalamu’ala awlaadil Husain, assalamu ‘ala ashhabil Husain wa rahmatullahi wa barakatuh. Wa la ja’alahullahu akhiral ‘ahdi minni liziyaratihim.....
Asyura, 10 Muharram 1434 H
KH Dr Jalaluddin Rakhmat M.Sc
endnote:
[1] Majma” al-Zawaid 7:239, Musnad al-Bazzar 2:191 h. 571; Waq’ah al-Shiffin 318; Al-Nashaih al-Kafiyah 46.
[2] Fuad Jabali, Sahabat Nabi saw. Bandung: Mizan, dari disertasi tahun 2003, diterbitkan 2010.
[3] Syaikh Muhammad Jawad Mughniyyah, Al-Husayn wa Bathalat al-Karbala. Beirut: Muassasah Dar al-Kitab al-Islami