
Semua yang kau lihat sempurna, karena Sang Maha sempurna yang telah menciptakannya.
Tak ada satu pun yang kurang, tak ada satu pun yang cacat, kecuali kita yang mengubah nikmat dengan kesalahan yang kita perbuat. Tapi bahkan salah itu pun kebaikan. Dengannya kau mengenal ampunan. Karenanya kau merindu kasih dan sayang.
Karena itu bersyukurlah, hingga kelu lisanmu menggumamkannya. Bersyukurlah, hingga kau tak lagi tahu bagaimana menyampaikannya. Hindarilah menghakimi sesama, karena ia punya penciptanya. Jangan sampai menghujat, hanya karena kau tak sanggup berbuat.
Mengapa kau terlahir dari kami, karena kamilah ujianmu menempuh jalan. Mengapa kau hadir bagi kami, karena kaulah ujian kami menuju kesempurnaan. Mengapa kau punya sesuatu dan yang lain tidak? Mengapa yang lain tidak punya apa yang ada dalam dirimu...
Semua karena Sang Pencipta punya sentuhan khas bagi tiap jiwa.
Karena semua kita dicintainya. Karena semua kita istimewa. Semua kita sempurna...
Kecuali mereka yang menghancurkan keindahan itu, berbuat melampaui batas, merendahkan kehormatan, menghancurkan ikatan. Mereka yang menyia-nyiakan nikmat, melupakan para guru agung, bahkan mengkhianati dan menyakiti mereka.
Kekal bagi mereka siksaan, sempurna atas mereka murka Tuhan.
Hindari mereka, anakku, karena mereka hadir di setiap zaman.
Sampaikan salamku untuk ibumu. Peluk sayang, cinta dan sejuta kesempurnaan rindu."
Sore hari itu, dua orang mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) menjumpai saya. Mereka mewakili Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) di Kampus mereka. Begitu berjumpa, kalimat pertama dari mereka usai salam adalah, “Kami sedang meneliti bagaimana konsep manusia ideal menurut lembaga-lembaga pendidikan Islam. Apa itu manusia sempurna? Ke mana pendidikan itu diarahkan? Manusia seperti apakah yang dicita-citakan?”
Pertanyaan yang sistematis dan runut. Ia tinggal membacakannya. Sepertinya, itu pula yang ia tanyakan pada setiap lembaga yang didatanginya. Saya mencoba memberikan jawaban yang berbeda. Saya mulai dengan definisi saya tentang sempurna.
Menurut Murtadha Muthahhari (w. 1970 M), ada beda antara “tamam” dan “kamal” antara itmam dan ikmal. Ayat kesempurnaan agama pun menyebutkan dua hal ini. “Al-yawma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati, pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu…” baru setelah itu, “Wa radhiitu lakum al-Islaam al-diinan…dan Aku ridha Islam menjadi agamamu.” (QS. Al-Maa’idah [5]:3).
Departemen Agama menerjemahkan “akmaltu” dengan sempurna, dan “atmamtu” dengan cukup. Menurut Muthahhari, tamam artinya lengkap, selesai. Berbeda dengan kamal—yang tanpa batas—tamam ada tolak ukurnya, ada hitungannya. Ibarat mengerjakan rumah, ia selesai sampai atapnya. Atau seorang yang menempuh pendidikan dan beroleh gelar atau ijazahnya. Sedangkan sempurna adalah sebuah proses tak mengenal akhir.
Karena itu, bagi saya tidak ada ukuran definitif tentang manusia ideal yang konkrit. Tujuan pendidikan adalah melejitkan potensi manusia menuju tingkat kesempurnaan setinggi-tingginya. Alih-alih bicara ideal, manusia (dan sistem pendidikan) harus kembali pada obyek utama: diri mereka sendiri.
Filosofi ini berpegang pada ayat al-Qur’an, “wa laqad karramnaa banii Adam…dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam…” (QS. Al-Israa [17]:70).
Manusia (dan seluruh makhluk) pada hakikatnya sempurna, karena Sang Maha sempurna yang menciptakannya. Tidak ada satu pun ciptaanNya yang tidak sempurna. Bagaimana dengan mereka yang terlahir dengan kekurangan? Sempurna. Lengkap dan tidak adalah kacamata manusia menilainya. Manusia lengkap berjari lima setiap tangan, bermata dan berkaki dua. Bagaimana bila kurang? Ia tetap sempurna.
Abu Bakar al-Syibli (w. 334 H) pernah berjalan bersama para muridnya. Al-Qusyairi di antaranya. Mereka melalui bangkai anjing. Seketika, mereka terdiam, lalu melanjutkan perjalanan. Di majelis, saat sedang mengajar, tiba-tiba al-Syibli terdiam. Ia beranjak dari tempatnya. Bergerak ke arah bangkai anjing itu. Murid-muridnya mengikuti. Kemudian al-Shibli mengambilnya, membawanya ke tempatnya, membersihkannya dan menguburkannya. Murid-muridnya bertanya, ada apa gerangan? Al-Syibli menjawab, “Ketika aku lewat untuk pertama kali dan melihat kondisi bangkai anjing itu, aku merasa jijik. Dan timbul dalam hatiku perasaan bersalah. Siapakah aku yang harus merasa jijik atas ciptaan yang sudah Allah Ta’ala ciptakan begitu sempurna. Untuk menebus itu, aku bersihkan dan aku kuburkan ia. Itu kifarat atas kesalahanku.”
Semua makhluk sempurna. Keliru orang yang berkata “kesempurnaan milik Allah.” Bukankah kita semua milik Allah? Dengan prinsip dasar ini, kehormatan manusia dan makhluk lainnya menjadi begitu sakral dan disucikan. Tidak boleh darahnya ditumpahkan, hartanya dirampas, nama baiknya dicemarkan. Siapa saja berkata buruk tentang sesama, ia sudah berkata buruk tentang Tuhan yang menciptakannya.
Dahulu, bila saya ditanya, kenapa tidak makan babi? Saya akan menjawab, “karena babi kotor, di dalamnya ada cacing pita…dan sebagainya.” Sekarang, tidak lagi. Babi adalah makhluk yang sudah Tuhan ciptakan dengan sempurna. Tak boleh saya bersikap jijik pada makhluk Tuhan mana pun. Bila argumentasi saya demikian, orang akan menyanggah, “Ternyata banyak yang makan babi dan tetap sehat. Banyak yang makan babi dan panjang umur.” Karena itu, jawaban saya kini berbeda. Jawaban saya sederhana: karena kepatuhan pada perintah Tuhan. Titik.
Kita mungkin terbiasa menyematkan kata kotor pada makhluk-makhluk itu, dan anak-anak (didik) kita belajar dari orangtuanya. Siapa kira, ternyata kecoa termasuk di antara makhluk yang paling bersih. Dan sikap menganggap sekelompok makhluk kotor pun dapat berimbas pada mudahnya sikap kita menilai sesama manusia.
Maraknya sikap radikalisme belakangan ini pun dilatari penilaian yang merendahkan ciptaan Tuhan yang sudah sempurna itu. Manakala—sesuai teori genosida—satu kelompok dilabeli, dipersekusi, dizalimi…penghormatan terhadap kemuliaan manusia itu hilang sama sekali. Semua pun barangkali kembali pada permasalahan definisi manusia ideal, yang terkadang untuk meraihnya, ada kesan harus mengalahkan, harus menaklukkan.
Berikut di antara konsep manusia ideal atau sempurna yang dikritik Muthahhari.
Insan Kamil
a. Fisikal dan duniawi
Manusia ideal dalam definisi ini adalah ia yang sukses dalam kehidupan duniawi mereka, dan berhasil mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan atau manfaaat dari alam natural ini. Muthahhari paling tidak setuju dengan ukuran ideal dalam bentuk ini.
b. Metafisikal dan ukhrawi
Jika pada pendapat pertama kesempurnaan manusia didasarkan atas hal-hal yang bersifat real dan material, maka pendapat kedua ini mengungkapkan hal yang sebaliknya. Kesempurnaan manusia dalam hal ini dihubungkan dengan dunia metafisik. Sejauh mana kita di dunia ini, mempersiapkan bekal untuk alam nanti, atau sejauh mana kita berhubungan dengan alam itu. Pendapat ini juga dikritik oleh Muthahhari.
c. Gnostisis
Definisi Manusia Ideal yang satu ini diberikan oleh para 'arif dan sufi. Para sufi memandang kesempurnaan manusia dari sejauh mana mereka mengindera atau memahami hakikat dan realitas sebuah wujud (being), Insan Kamil versi ini, adalah orang yang telah berhasil mengindera hakikat seluruh mawjud yang ada secara universal.
d. Filosofis
Pendapat para filosof hampir mirip dengan pendapat para sufi, bedanya yang diambil menjadi kerangka acuan bukanlah hakikat sebuah benda, melainkan seberapa jauh kita mampu mengambil hikmah (sophia, wisdom) dan pelajaran dari seluruh mawjud di alam semesta ini. Bukankah menurut Al-Quran, "Barang siapa yang mengambil hikmah, maka sesungguhnya dia telah mengambil kebaikan yang banyak"
e. Perspektif Hindu
Pandangan lain mengenai kesempunaan manusia, dikemukakan oleh Mahatma Ghandi dalam salah satu bukunya berjudul, Inilah Madzhabku, dalam buku itu Ghandi menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kekuatan perasaannya (affection, feeling), sejauh mana dia bisa mencurahkan perasaannya yang dilandasi oleh rasa kasih dan sayang. Insan Kamil versi ini, adalah seorang manusia yang berhasil mengungkapkan sebanyak-banyaknya perasaan cinta dan kasihnya pada mawjud lain. Agama Hindu adalah agama yang didasarkan atas cinta dan kasih sayang terhadap seluruh mawjud di alam semesta ini.
f. Estetis dan Keindahan
Pendapat ini menerangkan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada keindahan. Keindahan yang dimaksud bukanlah keindahan jasmaniyah, melainkan lebih bersifat ruhiyyah.
g. Kapabilitas dan Kekuatan
Definisi terakhir ini, yang lebih banyak kita temukan di dunia kita sekarang ini, terlebih di dunia Barat. Orang-orang yang berpendapat demikian menganggap bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kekuatan jasmaniyah dan fisikal mereka. Lima pendapat sebelumnya, menganggap bahwa kesempurnaan manusia tidak terletak pada sesuatu yang materialis, tetapi pendapat terakhir ini lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat materialis, demikian pula pendapat yang pertama.
Lalu apa definisi Insan Kamil menurut Muthahhari? Insan Kamil adalah ia yang menyerap dan mengumpulkan sifat-sifat Tuhan sebanyak-banyaknya. Syaikh al-Kabir Muhammad bin Ishaq al-Qunawi (w. 673H) menyebutnya “kawn al-jami’” makhluk penghimpun. Menurut definisi ini, insan kamil—bukan saja ‘manusia sempurna’, tapi manusia yang menyempurna. Makhluk yang senantiasa bergerak menuju kesempurnaan yang tak terbatas. Ini yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Sempurna itu tanpa akhir. Sempurna itu perjalanan tiada henti.
Kesempurnaan manusia ini kemudian meniscayakan keistimewaan. Saya menyebutnya “Sentuhan khas Tuhan bagi setiap jiwa.” Ini luar biasa. Karena keadilan dan kasih sayangNya, tiada satu pun manusia diciptakan sama. Tidak dulu, dan tidak nanti. Semua kita berbeda. Semua kita diberi Tuhan potensi yang luar biasa, dan kemampuan untuk mengembangkannya. Istimewa tidak berarti lebih baik. Istimewa artinya unik, khas, luar biasa.
Sayyidah Fathimah ra putri Rasulullah Saw, misalnya, punya keistimewaan. Ia memiliki sesuatu yang bahkan tidak dimiliki oleh Nabi Saw sendiri. Ialah satu-satunya manusia yang ayahnya nabi, suaminya seorang khalifah, dan putra-putranya adalah teladan suci seperti Al-Hasan dan Al-Husain ra. Keistimewaan tidak berarti lebih baik. Keistimewaan adalah anugerah Tuhan yang indah. Karena keadilanNya. Karena kasih sayangNya.
Prinsip kedua dalam pendidikan, setelah meyakini kesempurnaan dan kemuliaannya, adalah memperlakukan setiap manusia istimewa. Di sini, bahkan konsep multiple intelligences-nya Howard Gardner masih dapat diperluas lebih jauh. Meski sebuah pencapaian yang besar, ia masih terlalu kecil untuk dapat membingkai manusia. Dan takkan pernah ada yang bisa. Semua konsep pendidikan itu harus kembali pada “sentuhan khas Tuhan bagi setiap jiwa.” Pendidikan yang personal adalah pendidikan yang paling sesuai nilai-nilai kemanusiaan. Konsep tarekat menyebutnya “mursyid”. Nabi Saw adalah orang yang paling mengetahui keadaan para sahabatnya. Itulah guru sejati.
Di sinilah dilemanya. Di negeri ini, pendidikan kita banyak dititipi oleh sederet amanah. Bandingkan kurikulum negeri ini dengan negara tetangga atau dengan Amerika dan Jepang. Di kedua negeri itu, kurikulum bergerak dari yang paling ringan ke yang paling berat. Masa SD adalah usia dengan beban pelajaran paling rendah. Anak-anak memanfaatkan masa kecilnya dengan bermain, bergerak, dan berkarya. Di perkuliahan, barulah setumpuk tugas dan sederet buku yang harus dibaca, sehingga hampir tak tersisa waktu untuk cuti atau demonstrasi. Mereka dituntut dengan kurikulum yang berat. Mahasiwa kita, bisa cuti, dan rajin demonstrasi sedangkan anak SD berangkat ke sekolah dengan tas yang dipenuhi buku pelajaran, lembar kerja, buku penunjang dan sebagainya.
Di Sekolah Cerdas Muthahhari di Bandung, kami mencoba mengembalikan ‘fitrah’ keistimewaan itu, tanpa kehilangan sentuhan kekinian. Sejak berdiri tahun 2007, anak-anak sudah diperkenalkan pada Ebook, konsep buku elektronik yang bisa mereka baca kapan saja. Ada lembar kerja interaktif dan bank soal digital. Anak-anak tidak lagi membawa buku-buku yang berat. Materi pelajaran pun kami sederhanakan. Beberapa di antaranya digabung dalam sebuah kurikulum khusus yang kami sebut funschooling. Ternyata, ia menjadi favorit para siswa. Ada pula kelas minat ketika mereka bebas memilih pelajaran dan keterampilan yang mereka sukai. Atau jam guru dan jam murid ketika pendapat mereka dihargai dan diapresiasi. Tugas terbesar guru (dan orangtua) adalah menemukan sentuhan khas Tuhan dalam setiap diri anak didik itu.
Dan tantangan terbesar adalah keseragaman. Ketika anak-anak ‘dipaksa’ untuk menguasai sesuatu yang diamanahkan orang dewasa di sekitar mereka. Ambil contoh pelajaran PKn dan Sosial untuk anak kelas III dan IV SD. Mereka sudah diperkenalkan lembaga-lembaga tinggi negara dan fungsinya. Mereka juga harus menghapal tugas komisi-komisi yang ada di DPR. Apa relevansinya bagi mereka? Bukan tidak mungkin ketika mereka dewasa, sudah ada perubahan pada lembaga, komisi, dan sistem yang ada? Lalu, untuk apa mereka menghafal itu semua.
Kembalilah pada fitrah keistimewaan itu. Ajarkan kewarganegaraan dengan penekanan pada penghormatan hak setiap manusia. Pada penghormatan atas perbedaan, atas pendapat, atas agama. Pada penekanan nilai-nilai kebangsaan, persatuaan, persaudaraan. Bukankah itu semua selaras dengan pesan Ilahiah yang universal?
Maka pada anak-anak yang polos itu kita sudah hamparkan mimpi kita, bukan mimpi mereka. Yang terbaik menurut kita, bukan yang terbaik yang ada pada diri mereka. Saya masih saja teringat ucapan penyair Chili Gabriela Mistral, peraih Nobel Sastra itu yang dengan indah diterjemahkan oleh Taufik Ismail.
We are guilty of many errors, but our worst crime is abandoning the children. Neglecting the fountain of life. Many of the things we need can wait. The child cannot. Right now is the time his bones are being formed, his blood is being made, and his senses are being developed. To him we cannot answer ‘tomorrow’. His name is ‘today’.
Banyak kekhilafan dan kesalahan yang kita perbuat. Namun kejahatan kita yang paling nista adalah kejahatan mengabaikan anak-anak kita. Melalaikan mata air hayat kita. Kita bisa menunda berbagai kebutuhan kita. Kebutuhan anak kita tidak bisa ditunda. Pada saat ini, tulang belulangnya sedang dibentuk, darahnya dibuat, dan susunan syarafnya tengah disusun. Kepadanya kita tidak bisa berkata “besok”. Namaya adalah “Kini!”
Apa kesalahan terbesar kita? Melupakan keistimewaan setiap jiwa itu. Memaksa mereka sama. Mendesak mereka untuk mengejar sebaris nilai yang kita sebut dengan persiapan masa depan. Esok. Dan kita melupakan senyum mereka, semangat mereka, dan ketertarikan mereka sebagai pemenuhan terhadap panggilan jiwa yang sudah Tuhan titipkan dalam diri mereka.
Saya tidak tahu kriteria manusia ideal seperti apa. Pendidikan tidak harus ditujukan untuk itu. Bila harus memilih antara sukses dan bahagia, mana yang akan dipilih? Tidak keduanya. Karena ukuran keduanya pun ambigu. Tapi pilihlah anak yang sukacita, yang riang dan penuh kasih, yang memahami diri, menerima alam dan lingkungan di sekitarnya, dan pasrah pada keyakinan akan yang terbaik yang Tuhan anugerahkan pada dirinya.
Demikianlah jawaban ‘panjang’ saya untuk pertanyaan tentang manusia ideal yang hendak dicapai oleh sebuah proses pendidikan. Saya tidak mendefinisikannya. Saya mengembalikan paradigma pada kesempurnaan, kemuliaan, dan keistimewaan setiap jiwa.
Model Sistem Pendidikan di Republik Islam Iran
Dua tahun yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Republik Islam Iran dalam sebuah kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Teheran. Beberapa bulan sebelumnya, saya pun menghadiri serangkaian acara pendidikan di negeri para mullah itu. Saya dan beberapa kawan berkunjung ke Kampus pencetak para guru, bertemu dengan tokoh-tokoh yang pernah menjadi penentu kebijakan pendidikan di negeri itu, dan berkunjung serta belajar pada penerapan beberapa sekolah model di sana. Ini beberapa temuannya.
Pertama, visi pendidikan mereka sederhana: mempersiapkan anak didik untuk menanti kedatangan Imam Mahdi. Mempersiapkan anak didik untuk menjadi tentara dan ksatria Imam terakhir itu. Mazhab Syiah sebagai mayoritas mazhab Islam di Iran memang mempercayai kehadiran juru selamat di akhir zaman. Dan mereka arahkan konsep pendidikan di negeri itu untuk mempersiapkan kehadiran Imam yang dijanjikan itu. Televisi BBC pernah menyajikan wawancara televisi yang menyebutkan konsep ini sebagai konsep takhayul dan mengada-ada.
Apa dampaknya? Mereka menjadikan sekolah dan anak didik itu sebagai ‘persembahan sederhana’. Dalam Al-Qur’an dikisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf as yang datang pada Nabi Yusuf as dan berkata, “Wahai Raja, telah menimpa kami dan bangsa kami kesengsaraan, dan kami datang membawa barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami dan bersedekahlah kepada kami. Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf [12]:88). Atau QS. Al-Mujadalah [58]:12, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.
Menemui Rasulullah Saw, raja dan baginda kekasih Ilahi itu, kita tidak boleh datang dengan tangan kosong. Kita harus datang dengan sedekah dan bidha’ah muzjaah, hadiah sederhana, barang yang tak berharga. Orang-orang Iran menjadikan visi dunia pendidikan mereka sebagai hadiah yang ingin mereka haturkan pada para teladan kekasih hati. Mereka percaya pada hadis, “’Allimuu awladakum hubba Muhammadin wa Ali Muhammad. Ajarkan anak-anakmu kecintaan pada Muhammad dan keluarga Muhammad.” Atau Hadis 3436 Shahih al-Bukhari, melalui riwayat Ibn Umar dari Sahabat Abu Bakar, “Jagalah Muhammad Saw dalam keluarganya.” Hormati dan pelihara keluarga Rasulullah Saw. Ridha Allah Ta’ala bagi para sahabat teladan itu.
Para pembuat kebijakan pendidian di Iran percaya mereka harus mencetak generasi yang akan menjadi pelanjut semangat penantian Al-Mahdi dari keluarga Nabi itu, dan untuk menyebarkan kecintaan pada keluarga Nabi Saw sebagaimana diwasiatkan oleh para sahabat teladan itu.
Kedua, materi pembelajaran semua dibuat berdasarkan contextual teaching learning. Di sekolah-sekolah Muthahhari di Kota Bandung misalnya, materi pembelajaran itu bersifat lokal. Tokoh dalam setiap cerita adalah anak-anak kami. Kasus yang dikisahkan adalah keseharian. Ia dekat dengan pengalaman para peserta didik. Ambil contoh belajar Bahasa Inggris. Tanpa sadar, kita diarahkan pada kebudayaan barat yang berselimutkan globalisasi. Kita—dalam pelajaran Bahasa Inggris itu—diperkenalkan pada Mary alih-alih Maryam, pada Roberts alih-alih Budi. Pada burger daripada nasi uduk. Pada Valentine dan Haloween daripada Lebaran atau tradisi lokal lainnya. Secara sederhana, kunjungi sekolah-sekolah kita. Lihat daftar namanya. Sudah begitu banyak nama (budaya) asing yang mungkin sudah menyisihkan budaya lokal atau agama.
Ketiga, mengambil Luqman as sebagai contoh seorang guru dan prioritas pembelajaran di sekolah. Di Sekolah Cerdas Muthahhari di Bandung, ayat-ayat nasihat Luqman pada anaknya ini menjadi dasar pembelajaran PAI sesuai dengan urutan penyebutannya dalam Al-Qur’an: bersyukur pada Allah, berterima kasih pada orangtua, setiap amalan berbuah ganjaran, mendirikan shalat, mengajak kebaikan dan menjauhi keburukan, bersabar, rendah hati, dan menjaga pembicaraan. (QS. Luqman [31]:13)
Keempat, mereka menerapkan konsep guru wali. Secara nasional, guru wali menjadi struktur yang tak terpisahkan dalam pendidikan. Ia bukan wali kelas. Ia bertugas mengawasi, mengamati, membimbing, dan membantu bila ada kesulitan tertentu dalam pelajaran. Ia pula menjadi jembatan antara orangtua dan sekolah. Setiap guru wali memegang sepuluh orang. Dalam beberapa sekolah bahkan lebih sedikit lagi. Ia akan menuliskan rekam jejaknya, memetakan potensinya, dan mengarahkannya manakala ia dihadapkan pada berbagai problema. Ada yang sifatnya tahunan. Berganti setiap tahun ajaran. Tapi ada juga yang terus memanjang hingga menyelesaikan lamanya proses pendidikan dalam satu satuan pendidikan. Misalkan, enam tahun di SD, dan enam tahun di jenjang berikutnya. Konsep guru wali ini, mereka sebut moallem rahnemo, hanya diberlakukan dari SD hingga SMA.
Kelebihan jumlah guru di beberapa sekolah atau provinsi di negeri ini dapat diarahkan pada fungsi guru sebagai pembimbing ini. Ia menjadi mitra, sahabat, guru pelajaran, dan juga guru bimbingan konseling. Ini mungkin satu di antara keistimewaan sistem pendidikan di Iran yang—menurut mereka—diambil dari nilai-nilai ke-Islaman.
Tentu saja untuk menerapkannya di negeri ini diperlukan perubahan paradigma yang mendasar. Seorang guru wali adalah ia yang juga berusaha untuk senantiasa meningkatkan diri mereka secara intelektual dan ruhaniah. Guru adalah mereka yang diberikan Tuhan anugerah untuk dapat mengubah hidup seorang anak manusia. Ini amanah yang sangat besarnya. Tanpa memohonkan perlindungan dan bimbingan Yang Mahakuasa, mustahil dapat menunaikannya. Karena itu, seorang guru wali harus senantiasa menjaga dan memelihara dirinya. Saya mengenal seorang guru SMA Plus Muthahhari di Bandung yang rajin berpuasa Senin-Kamis ketika ia ditugaskan jadi wali kelas. Katanya, saya harus dapat mengendalikan lisan saya ketika berbicara dengan anak-anak. Saya kuatir menyakiti mereka, atau suara saya yang meninggi. Saya berpuasa untuk menjaganya. Maa Syaa Allah!
Bukankah proses pendidikan dalam Islam disebut dengan tazkiyyah. Akar kata ‘zakka’ ini mengandung arti suci dan tumbuh. Hanya dengan mensucikan diri, ia dapat tumbuh. Membimbing peserta didik adalah menjaga mereka untuk memelihara kesucian. Ini tidak mungkin dilakukan seorang guru, tanpa ia menjaga kesucian dirinya. Saya selalu menganjurkan guru sebelum mengajar agar ia membawa dimensi ruhaniah itu dan berdoa untuk anak didik mereka. Nabi Saw pernah mendoakan putra sahabatnya dengan doa: Allahumma jammilhu wa adim jamaalah. Ya Allah, indahkan ia (lahir dan batinnya), dan kekalkan keindahan itu.
Mengikuti Baginda Nabi Saw, setiap guru dan kita semua bisa berdoa yang sama. Atau, menggunakan kata ‘zakaa’ yang juga berarti cerdas, kita berdoa: Allahumma zakkihim wa adim zakaahum. Ya Allah, sucikan, tumbuh kembangkan ke arah yang baik, cerdaskan murid-murid kami itu, dan kekalkan kesucian, tumbuh kembang, dan kecerdasan mereka. Inilah konsep guru wali.
Pendidikan Karakter
Ini cerita sesungguhnya. Kawan saya, seorang rekan guru. Ia berbagi kisah tentang pengalaman anak didiknya. Alkisah, guru agama masuk ke sebuah kelas. Ia bercerita tentang kewajiban shalat. Ia kemudian bertanya: “Siapa di antara anak-anak yang tidak shalat Subuh pagi tadi?” Anak-anak tidak menjawab. Mereka menahan tangannya. “Ayo, mengapa tidak ada yang menjawab?” Akhirnya seorang anak dengan malu-malu mengangkat tangannya, “Saya Pak Guru…” Mendengar jawaban itu, Pak Guru Agama dengan seketika meluap amarahnya: “Mengapa kamu tidak shalat Subuh? Bukankah itu wajib? Tahukah kamu akibat dari melalaikan perintah Tuhan!?” dan seterusnya. Anak itu kemudian dihukum guru berdiri di depan kelas.
Sore hari, ia pulang ke rumah dengan wajah tertunduk lesu. Ia ceritakan kisah itu pada ibunya sambil berkata, “Bu, mulai saat ini, aku tidak mau jujur lagi.” Ia belajar sesuatu yang pahit. Kejujurannya mengantarkannya pada kesengsaraan.
Isu pendidikan karakter sedang menghangat di negeri ini. Apalagi Pak Jokowi mendeklarasikan revolusi mental sebagai satu di antara janji kampanyenya. Dulu ia disebut dengan banyak hal: pendidikan budi pekerti, pendidikan kepribadian, etika dan sebagainya. Pelatihan motivasi pun menjamur di negeri ini. Para trainer, motivator, banyak tak terkira. Ia pun menjadi satu di antara peluang bisnis yang dengan jeli dimainkan. Tentu semuanya baik. Yang kurang hanya satu saja: fokus.
Pemerintah pada K-14 menyebutkan 18 nilai karakter itu. Sudah berkurang dari KTSP yang merinci hingga 21. Unesco melalui LVEP (Living Values: an Educational Project) menyederhanakannya lagi menjadi hanya 11. Ini sebelas karakter menurut Unesco: kedamaian, penghargaan, cinta, tanggungjawab, kebahagiaan, kerja sama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, dan persatuan. Bagi anak-anak usia yang lebih tinggi, mereka tambahkan yang keduabelas: kebebasan. Saya kerap bertanya pada calon guru mana di antara nilai-nilai itu yang prioritas. Brahma Kumaris, sebuah organisasi kemasyarakatan internasional bahkan hanya menyebut tiga: hak asasi, harga diri, dan kelayakan seorang manusia.
Semuanya baik, tapi mana yang lebih utama? Di sekolah-sekolah Muthahhari yang saya bina, kami hanya mengambil satu saja. Dr. Jalaluddin Rakhmat sebagai pendiri Yayasan hanya meminta satu saja sebagai titik tekan dan sentral dari pendidikan karakter di sekolah: empati. Ia dijabarkan dalam senarai life skill yang diberikan. Ada tujuh life skill dengan porsi pemberian yang bertahap: Learning Skill dan Social Skill (Sekolah Dasar), Communication dan Coping Skill (SMP), Happiness, Spiritual, dan Financial Skill (SMA).
Apa itu empati? Kepedulian. Masalah terbesar bangsa ini dan umat manusia adalah kepedulian. Empati mewakili semangat setiap agama yang pernah diturunkan untuk membimbing manusia. Secara singkat empati adalah kaidah universal untuk: perlakukan dirimu sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Kamaa tadiinu, tudaanu, sabda Baginda Nabi Saw. Love your neighbours as yourself. There is no commandment greater than these, menurut Markus 12:31. Dalam empati ada tenggang rasa, penghormatan akan kemuliaan manusia, keistimewaan mereka. Dalam empati ada kejujuran, ada cinta dan kasih sayang.
Semua berawal dari hal-hal kecil. Bila ada orang menyampaikan sesuatu yang sudah kita ketahui, perkenankan diri kita untuk tetap mendengarkannya. Bila ada orang memberi barang yang sudah kiti miliki, bagaimana kita akan menjawabnya? Cobalah membukakan pintu di tempat umum untuk orang lain, adakah ungkap terima kasih yang akan kita dengar? Kita merasa ‘beruntung’ bisa menyela antrian, tapi kita marah bila antrian kita yang dilanggar. Seringkah kita mengucap syukur di atas penderitaan orang lain. Bahagia karena kesalahan orang lain. Senang karena dijauhkan dari kesulitan yang menimpa orang lain. Apakah kita memotong pembicaraan orang lain, atau mendengarkannya sampai tuntas? Ataukah kita sibuk dengan telepon genggam kita saat mendengarkan orang lain bicara? Kapan terakhir kali kita memandang mata saat berkata?
Di sebuah sekolah Budha di Jakarta, jelang hari Ibu, anak-anak membawa sebongkah batu di perut mereka, membawanya ke mana-mana. Mereka merasakan penderitaan berat seorang Ibu mengandungkan mereka. Ketika tiba hari Ibu, Sekolah mengundang para ibu, mendudukan mereka di tempat terhormat, dan anak-anak itu melepaskan batu di perut mereka, lalu membasuh kaki ibunya dengan penuh penghormatan.
Di SMA Plus Muthahhari di Bandung digelar rutin kegiatan Spiritual Workcamp. Selama empat hari para siswa tinggal bersama orangtua asuh mereka di sebuah desa binaan. Bekerja sebagaimana mereka bekerja. Hidup sebagaimana mereka hidup. Banyak kisah penggugah yang muncul dari interaksi seperti ini. Atau ketika anak-anak SMP Bahtera Muthahhari mengunjungi anak-anak penderita penyakit kanker, anak-anak jalanan, dan sebagainya.
Empati. Ketiadaan nilai yang satu ini akan mengantarkan manusia pada kemudahan melegitimasi kesalahannya. Pada pembenaran atas tindak buruk yang dilakukannya. Sebuah tesis di kota Bandung meneliti pengaruh pemikiran radikalisme di antara anak-anak sekolah menengah. 75% di antaranya sudah cenderung ke arah radikalisme. Kepada mereka diajarkan ‘pembenaran’ saat menghakimi orang lain yang beda pendapat dengan alasan amar makruf nahi munkar, jihad, dakwah dan sebagainya. Bagaimana bila yang berbeda pendapat itu orangtua kita, kakek kita, keluarga kita? Kehilangan empati akan mengabaikannya.
Ketiadaan empati juga akan mengakibatkan orang mengambil jalan pintas. Jalur-jalur khusus yang dibuat untuk pelayanan ekstra dan lebih cepat. Masalah di keseharian anak-anak seperti bullying, mencontek, kekerasan dan tawuran juga berakar dari hal yang sama.
Pendidikan wajib mengembalikan empati pada prioritas pendidikan karakter. Ini dasar dari pendidikan Islami. Mendefinisikan manusia ideal, sulit. Mencarinya mudah. Belajarlah dari para teladan kekasih hati itu. Dari para nabi dan rasul. Di atas segalanya, dari manusia dan makhluk terbaik pilihan Tuhan: Baginda Nabi besar Muhammad Saw.
Bukankah Al-Quran dengan indah menyifatkan Sang Nabi itu dalam sebuah surat yang istimewa: Al-Taubah. Surat yang tidak diawali dengan basmalah itu ditafsirkan para ahli dengan beragam. Konon, karena isinya keras. Ada juga yang menyebutkan karena di dalamnya ada teguran, dan sebagainya. Al-Taubah menjadi satu-satunya surat yang tidak diawali dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang.
Tapi simak bagaimana Al-Quran menutup surat itu. Dua ayat terakhir, ia berkisah tentang Sang Nabi pilihan. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (kebahagiaan, keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. Al-Taubah [9]:128). Nabi Saw adalah ia yang berat hatinya melihat kita menderita. Yang sangat ingin kita berbahagia. Yang amat pengasih dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Empati.
Ajaibnya, ayat ini jarang menjadi teladan untuk memperkenalkan Baginda Nabi Saw. Empat sifat Baginda Nabi dalam kurikulum: fathonah, amanah, shiddiq, dan tabligh kita peroleh dari hadits. Semuanya berlandaskan pada ayat Al-Quran ini. Maka apalagi kriteria manusia ideal, yang untuk itu kita arahkan sistem pendidikan kita, selain sifat Baginda Nabi Saw ini. Ia manusia yang ideal. Tidak ada ayat Al-Quran yang menjelaskan Nabi Saw begitu rinci untuk kita teladani seperti ayat ini.
Pendidikan Islami adalah pendidikan yang menekankan empati. Itulah mata air pendidikan Nabawi. Pendidikan Islami adalah pendidikan yang berteladankan Sang Nabi suci. Cukup definisi manusia ideal itu dengan kasih sayangnya yang luas untuk sesama. Ke sanalah biduk pendidikan selayaknya diarahkan.[]
Miftah F. Rakhmat, Direktur Pendidikan dan Ketua Yayasan Muthahhari, Bandung.
Rujukan:
- Perfect Man, Murtadha Muthahhari, Bonyad Be’that Teheran, 1996.
- Takamul-e Ijtima'iye Insan, Intisharat-e Shadra, Qum, 1367 HS (1989 M)
- Allimu awlaadakum hubba Muhammadin wa Ali Muhammad, Fadhli Furati, Al-Balagh, Beirut 2001.
- internet as quoted
(Tulisan di atas dimuat dalam Jurnal Maarif, Maarif Institute, Vol. 10, no. 1, 2015)