Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

Hadza Masjid Bahlul

5/7/2020

0 Comments

 
Di antara ‘keuntungan’ jadi Ustad dibanding pelawak adalah materi yang bisa diulang itu. Meski membosankan, asalkan jemaah itu komunitas yang baru, kita bisa selalu melakukannya. Saya punya beberapa tradisi kalau saya diminta datang di tempat yang baru: bercerita tentang Bahlul, atau mengajukan kuis dan bagi-bagi buku.
​
Ini kisah Bahlul yang biasa saya sampaikan di awal pertemuan. Kisah ini dalam berbagai versinya dinisbatkan pada Abu Nawas atau juga Mulla Nasruddin Khoja. Mana yang benar, saya kurang paham. Tapi siapa pun itu, Abu Nawas-kah, Bahlul atau Mulla Khoja, semua adalah guru-guru kehidupan yang mengajarkan kita pada kearifan dengan cara yang “we didn’t see it coming...” seperti kisah berikut ini.
 
Bahlul adalah seorang murid Imam Ja’far Shadiq. Imam keenam dari silsilah keemasan keluarga Nabi. Imam yang juga guru dari imam-imam mazhab setelahnya: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Umat Islam di Indonesia kebanyakan ikut fiqih Imam Syafi’i. Nah, Imam Ja’far Shadiq ini adalah gurunya guru Imam Syafi’i.
 
Tidak ada yang tahu nama asli Bahlul. Sejarah lebih mengenalnya dengan sebutan itu: bahlul. Artinya, orang bodoh. Konon, ia meminta izin pada gurunya untuk berdakwah di tengah-tengah masyarakat seperti layaknya orang bodoh. Terkadang ia dilempari anak-anak, dan dijuluki orang gila. Ketika gurunya bertanya: “Mengapa kamu ingin disebut orang bodoh, orang gila? Mengapa kamu ingin berdakwah dengan cara seperti itu?”
 
Bahlul menjawab: “Karena hanya orang gila yang pembicaraannya didengar orang tanpa melihat dari kelompok mana dia berasal. Karena hanya orang gila yang mengecam penguasa tanpa takut akan dijebloskan ke penjara.”
 
Bahlul memang hidup di saat kekhalifahan dipegang oleh para penumpuk kekayaan. Mereka yang lalim dan mengambil hak tanpa perhitungan. Ia ingin menasihati penguasa. Di saat mulut kritis dibungkam, di saat para pengingat dipenjarakan, bertingkah seperti orang gila, ternyata banyak untungnya juga. Seperti pernah satu saat, seorang kaya mewakafkan sebuah masjid. Masjid itu diberi nama dengan namanya. Agak mirip dengan masjid-masjid di Indonesia. Masjid Bank Indonesia diberi nama “Baitul Ihsan”. Kalau disingkat, jadi BI. Di PT Dirgantara Indonesia, nama masjidnya “Habibur Rahman”. Mengapa? Apakah karena yang membangunnya Pak Habibie? J. Di Taman Mini ada masjid dengan nama surat Al-Qur’an: At-Tin. Apakah karena ada kedekatan dengan Ibu Tien Soeharto? Saya tidak tahu. Yang jelas, di perumahahan warga saya ada masjid Al-Radhiah yang disematkan atas nama Ibu yang mewakafkannya: Ibu Radhiah. Semoga Allah merahmati semua pewakaf itu.
 
Tidak ada  yang salah dengan itu. Tapi Bahlul menunjukkan kepada kita sesuatu yang lainnya. Pada cerita orang kaya yang wakaf itu, direncanakan keesokan harinya ada peresmian. Maka nama masjid yang sudah dipahatkan dengan nama pewakaf itu, ditutup tirai untuk dibuka keesokan harinya. Malamnya, Bahlul menyelinap. Ia bawa cat basah. Ia coret nama orang kaya itu. Dan ia tuliskan dengan namanya. Kini di atas pintu masjid itu tertulis: hadza masjid bahlul. Inilah masjidnya Bahlul. Kemudian ia tutupi kembali dengan rapi.
 
Esok paginya, jamaah dan masyarakat sudah berkumpul. Mereka tak sabar menanti kapan tirai dibuka. Setelah berbagai protokoler dan basa-basi, sampai juga saat yang dinanti. Tirai perlahan-lahan disingkapkan. Mari kita baca bersama: Bismillah dengan ini diresmikan masjid...B..a..h...lul!!???  Serentak sesepuh masjid berteriak: “Mana Bahlul...!? Panggil dan bawa dia kesini!” Pasukan pemuda dengan cepat bergerak. Bahlul diseret. Terdakwa, tertuduh, dan terpidana.
 
“Benar kamu yang mencoret nama masjid ini...” tanya sang sesepuh.
“Benar...” Jawab Bahlul.
“Mengapa kaulakukan itu?” tanya sang sesepuh lagi.
“Izinkan aku bertanya padamu dan pada kalian semuanya...” Bahlul balik hendak bertanya. “Untuk siapakah kalian bangun masjid ini? Untuk Tuhan atau untuk orang kaya?”
Semua serentak menjawab: “Untuk Tuhan...”
 
Kata Bahlul: “Kalau begitu, biar Tuhan yang protes kepadaku. Dia sendiri tidak marah ketika nama masjid ini tadi malam aku ganti. Kenapa kalian marah kepadaku sekarang ini?” dan jamaah pun kebingungan.
 
Bahlul sebenarnya hendak mengajarkan arti keikhlasan. Boleh-boleh saja nama kita disematkan sebagai nama masjid yang kita wakafkan, tapi keikhlasan dan ketulusan, hanya Allah Ta’ala yang tahu. Di antara cara untuk tulus dalam berderma adalah ketika tidak menyebutkan nama kita sama sekali...
 
Demikianlah Bahlul, guru kehidupan. Orang yang sezaman dengannya tahu bahwa ia sebenarnya alim cendekia. Hanya saja ia mengajarkan ilmu dengan cara yang berbeda. Satu hari, masyarakat hendak memintanya memberikan ceramah. Sudah masyhur bahwa Bahlul enggan berkhotbah di mimbar-mimbar. Mereka berkumpul, mengirimkan utusan, memohon agar Bahlul berkenan membagi ilmunya, tidak dengan cara yang biasa dilakukan Bahlul, tapi dengan berdiri di  mimbar kehormatan.
 
Di luar perkiraan, Bahlul mengiyakan. Diumumkanlah kepada khalayak banyak bahwa Bahlul hendak memberikan pencerahan. Semua berduyun-duyun memadati setiap jengkal masjid. Bahlul tiba. Ia naik ke mimbar. Di Timur Tengah, mimbar itu bukanlah seperti podium yang digunakan para ustad di Indonesia. Di sana, mimbar itu mirip anak-anak tangga. Rasulullah kabarnya sering duduk dan berdiri pada anak tangga yang ketiga. Dengan cara ini, hadirin yang datang terlambat, mereka yang duduk di barisan paling belakang, dapat melihat dengan jelas sosok pembawa peringatan.
 
Bahlul perlahan-lahan menaiki anak tangga itu, satu demi satu. Ia berhenti di anak tangga yang ketiga. Ia memandang hadirin. Usai basmalah dan salam, ia membaca iftitahiyyah: biasanya pujian pada Allah Swt dan shalawat atas baginda Rasul dan keluarganya. Kemudian Bahlul berkata: “Amma ba’du, hadirin yang dimuliakan Allah, sudah tahukah Ibu dan Bapak, jamaah sekalian, apa yang hendak saya bicarakan?” Dengan serentak, jamaah menjawab: “Belum...”
 
“Kalau begitu...” kata Bahlul, “untuk apa saya bicara di hadapan orang yang tidak punya persiapan sama sekali. Permisi, saya mau turun. Assalamu’alaikum...” Dan ia pun turun meninggalkan mimbar. Orang-orang berteriak, “Namanya juga Bahlul...harap maklum...” mereka meninggalkan masjid dengan penuh kecewa.
 
Pengurus masjid rupanya tak patah arang. Mereka bertekad untuk dapat memaksa Bahlul bicara. Mereka datangi lagi Bahlul, mengundangnya untuk kembali bicara. Bahlul mengiyakan. Maka pengumumanpun diedarkan. Pada jam dan waktu yang sudah ditentukan, masjid jauh lebih padat dari sebelumnya. Mereka penasaran dengan ulah Bahlul yang tak terduga berikutnya. Semua mata tertuju pada Bahlul, bahkan mengikuti langkah demi langkah pendek yang diambilnya. Ia kini di mimbar, memandang pada lautan khalayak di bawahnya. Basmalah dan shalawat, ia baca iftitahiyyah. Ia diam sejenak, menghela nafas dan mengeluarkannya. “Amma ba’du” ujarnya memecah keheningan. “Apa Ibu dan Bapak sudah tahu apa yang akan saya bicarakan hari ini?” Persis seperti peristiwa sebelumnya! Kali ini, jamaah belajar dari kesalahan sebelumnya. Mereka kompak berkata: “Sudah!!!” Kemudian Bahlul dengan tenang berkata: “Kalau begitu, untuk apa saya bicara, di hadapan orang yang sudah tahu. Saya permisi turun. Assalamu’alaikum...” seraya ngeloyor meninggalkan “arena sidang.” Jamaah riuh rendah, mereka merasa ditipu untuk kali yang kedua. Umpatan, makian, gerutuan terdengar silih berganti. Bahlul sudah mengakali mereka lagi.
 
Ajaibnya, para pengurus masjid merasa makin tertantang. Kita sudah gagal dua kali, pikir mereka. Kita tidak boleh gagal kali yang ketiga. Maka kali ini, tekad mereka untuk menghadirkan Bahlul makin bulat, jauh lebih membara dari sebelumnya. Tapi kini, mereka kumpul lebih dahulu. Rapat antara pengurus masjid dan jamaah. Seorang di antara mereka berkata: “Untuk apa kita hadirkan Bahlul lagi? Dia memang tidak berniat untuk bicara?” Yang lain berusaha menenangkan dan berkata: “Mungkin itu cara bagi dia untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan. Mari kita buktikan dengan mengundangnya lagi untuk kali yang ketiga.”
 
“Tapi bagaimana nanti bila ia bertanya hal yang sama?”
“Kita jawab belum, salah. Ia turun. Kita jawab sudah juga salah. Ia turun juga.”
“Bagaimana kalau kita bagi tugas. Sebagian di antara kita menjawab ‘sudah’ sebagian lagi menjawab ‘belum’. Bagaimana? Setuju?”
“Nah, itu dia! Bahlul pasti takluk. Ayo kita lakukan!”
 
Penuhsemangat, mereka mendatangi Bahlul, kembali memintanya untuk hadir di masjid. Pengumuman diedarkan. Kisah dua pertemuan sebelumnya telah membuat seisi kota jadi heboh. Hadirin memadati bahkan setiap ruang yang ada. Penuh sesak, berduyun-duyun. Telah sampai kabar bahwa Bahlul menyanggupi ia akan hadir. Maka pada jam dan waktu yang ditentukan, semua seperti menahan nafasnya. ‘Tugas’ dari panitia telah sampai pada mereka. Mereka harus berbagi tugas seandainya Bahlul bertanya hal yang sama.
 
Di mimbar, bakda basmalah dan salam, Bahlul tersenyum melihat wajah-wajah penuh penasaran itu. Setelah iftitahiyyah, mengalirlah kalimat yang ditunggu-tunggu semua orang: “Apakah Ibu dan Bapak, sudah tahu apa yang akan saya bicarakan...”
 
Riuh rendahlah orang bersahutan: “Sudah!” “Belum” “Sudah...” “Belum....” “Sudah” “Belum!” Mereka ucapkan berkali-kali, silih berganti.
 
Setelah kegaduhan itu berhenti, semua mata tertuju pada Bahlul, semua telinga terpusat padanya. Dengan tenang Bahlul berkata: “Kalau begitu, harap yang sudah tahu memberi tahu yang belum tahu. Saya permisi turun. Assalamu’alaikum...”
 
Dan kaumnya Bahlul tidak pernah berhasil memintanya untuk bicara. Namanya juga...Bahlul! J
 
@miftahrakhmat
0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.”
    ​
    ​ 
    (HR Al-Hakim dan Al-Thabrani)
    ​


    Picture

    Tema

    All
    Abu Nawas
    Adam
    Agama
    Ahlulbait
    Akal
    Akhlak
    Albirr
    Al-Husayn
    Ali Bin Abi Thalib
    Ali Bin Abu Thalib
    Al-Mizan
    Alquran
    Amal
    Anak
    Arafah
    Arbain Walk
    Asep Salahudin
    Asyura
    Babul
    Bahasa
    Bahjah
    Bahlul
    Bangsa
    Barzakh
    Berkah
    Bicara
    Bidadari
    Bubur Suro
    Bukhari
    Buku
    Bulan Suci
    Cerita
    Cinta
    Covid 19
    Covid-19
    Depresi
    Doa
    Dogma
    Dosa
    Dua Belas Imam
    Dunia
    Emas
    Empati
    Epistemologi
    Fatwa
    Fidyah
    Fikih
    Filsafat
    Fitrah
    Gaya Menulis
    Gender
    Gereja
    Ghuraba
    Globalisasi
    Guru
    Hadiah
    Hadis
    Haji
    Happy Birthday
    Hari Anak Nasional
    Hasan
    Hasan Bashri
    Hermeneutika
    Hitler
    Husain
    Ibadah
    Identitas Arab Itu Ilusi
    Ideologi
    Idul Fitri
    Ihsan
    IJABI
    Ilmu
    Ilmu Kalam
    Imam
    Imam Ali
    Imam Ali Zainal Abidin
    Imam Husain
    Imam Mahdi
    Iman
    Imsak
    Indonesia
    Islam
    Islam Ilmiah
    Islam Madani
    Isra Mikraj
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Jihad
    Jiwa
    Jumat
    Kafir
    Kajian
    Kaki
    Kang Jalal
    Karbala
    Keadilan
    Kebahagiaan
    Kebangkitan Nasional
    Keluarga
    Kemanusiaan
    Kematian
    Kesehatan
    Khadijah
    Khalifah
    Khotbah Nabi
    Khutbah
    Kisah Sufi
    Kitab
    Kitab Sulaim
    Konflik
    Kurban Kolektif
    Lembah Abu Thalib
    Madrasah
    Makanan
    Malaikat
    Manasik
    Manusia
    Maqtal
    Marhaban
    Marjaiyyah
    Marxisme
    Masjid
    Mawla
    Mazhab
    Media
    Miftah
    Mohammad Hussain Fadhullah
    Mubaligh
    Muhammad Babul Ulum
    Muharram
    Mujtahid
    Mukmin
    Munggahan
    Murid
    Muslim
    Muslimin
    Musuh
    Muthahhari
    Myanmar
    Nabi
    Najaf
    Nano Warno
    Negara
    Neurotheology
    Nikah
    Nilai Islam
    Nusantara
    Orangtua
    Otak
    Palestina
    Pancasila
    Pandemi
    Pendidikan
    Penyintas
    Perampok
    Pernikahan
    Pesantren
    Politik
    Post Truth
    Pseudosufisme
    Puasa
    Pulang
    Qanaah
    Racun
    Rakhnie
    Ramadhan
    Rasulullah
    Revisionis
    Rezeki
    Rindu
    Rumah
    Rumah Tangga
    Sahabat
    Sahur
    Saqifah
    Sastra
    Saudara
    Sayyidah Aminah
    Sayyidah Fatimah
    Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah
    Sejarah
    Sekolah
    Shahibah
    Shalat
    Shalawat
    Sidang Itsbat
    Silaturahmi
    Silsilah
    Sosial
    Spiritual
    Suami
    Suci
    Sufi
    Sunnah
    Sunni
    Surga
    Syahadah
    Syawal
    Syiah
    Tafsir
    Tajil
    Takfirisme
    Taklid
    Tanah
    Tarawih
    Tasawuf
    Tauhid
    Tsaqalayn
    Tuhan
    Ukhuwah
    Ulama
    Umat
    Umrah
    Waktu
    Waliyyul Amri
    Wasiat
    Wiladah
    Yatim
    Zawjah
    Ziarah

    Arsip

    April 2024
    March 2024
    November 2023
    October 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    July 2022
    June 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    September 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    May 2020
    March 2020
    January 2020
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    September 2018
    July 2018
    May 2018
    February 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.