Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad
Timbangan menuntut hak itu akan sangat berat dilewati. Bekal apa pun, tergerus habis oleh mereka yang ingin merebutnya dari kita. Bayangkan satu hari, ketika lari suami dari istrinya, anak dari ayahnya, seorang dari saudaranya. ”Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” [Juz 30 | Abasa (80) | Ayat: 37] Semua mencari keselamatan untuk dirinya sendiri. Bayangkan hari seperti itu.
Di antara ayat terakhir yang turun pada Baginda Nabi Saw di Madinah adalah ”Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” [Juz 23 | Az-Zumar (39) | Ayat: 30] Kabarnya, setelah ayat ini Baginda Nabi Saw terlihat tampak murung. Mungkin bukan karena akhir hayat suci telah mendekat. Adakah karena lanjutan ayat itu? Kemudian sesungguhnya kamu (sekalian) pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Tuhanmu. [Juz 23 | Az-Zumar (39) | Ayat: 31]
Baginda Nabi akan wafat, kita semua akan mati. Siapakah kamu (sekalian) yang dimaksud akan berbantah-bantahan? Nabi Saw dan kita semua. Baginda Nabi Saw dan kita akan berbantah-bantahan? Bagaimana maksudnya?
Semua makhluk akan saling menuntut hak. Suami dituntut istri, anak dituntut ayah, guru pada murid, tetangga pada sesama. Tak ada yang akan selamat. Terlalu banyak hak itu. Seperti tetangga, sabda Baginda Nabi Saw: tidak henti-hentinya malaikat Jibril as menyampaikan kepadaku akan (hak) tetangga, sehingga aku kira ia punya hak dalam warisan. Tentang orangtua: tak boleh seorang anak memandang kedua orangtuanya dengan tatapan tidak suka, walau mereka berbuat kesalahan. Tentang guru, tentang pemberi ilmu...tentang mereka yang mengalirkan nikmat untuk kita. Ah, terlalu banyak. Teramat banyak. Dan bila kita tak mampu menunaikannya, seluruh amalan kita berguguran diambil yang punya haknya.
Lalu, bagaimana menunaikan hak Baginda Nabi Saw? Bagaimana bila Baginda Nabi Saw kelak menuntut kita...? Luruh sudah seluruh amalan. Bekal tak tersisa. Yang ada hanya kumpulan dosa.
Bagaimana bila Baginda Nabi Saw bertanya: bagaimana cintamu pada keluargaku? Bukankah Al-Quran mengingatkan: "Aku tidak minta upah apa pun, kecuali kecintaan kalian pada al-qurba?" Al-Qurba itu keluarga Nabi Saw. Bagaimana bila Al-Quran kelak menuntut kita? Keduanya wasiat terakhir Sang Nabi yang mulia.
Sungguh, takkan tersisa dari amalan barang sedikit pun. Mendadak timbangan itu menjadi ringan. Tiba-tiba bekal terbang berhamburan.
Dalam doa ziarah pada al-Ma’shumin as, setiap kali mengucapkan salam, selalu ada kalimat: ’arifan bi haqqihi, yang mengetahui (dan menunaikan) haknya. Ziarah adalah hak para Imam itu. Bagaimana mungkin mampu menunaikan hak itu?
Di Padang Karbala, 50 tahun setelah wafat Baginda Saw, keluarga suci Rasulullah Saw mengingatkan umat akan agama yang sejati. Pengorbanan mereka menyelamatkan agama untuk sampai pada kita. Lalu, bagaimana kita menunaikan hak para pahlawan Islam itu?
Bagaimana mungkin menunaikan hak atas tangisan Hazrat Sukainah dan Ruqayyah? Bagaimana mungkin menunaikan hak tetes darah suci Ali Asghar dan saudaranya? Bagaimana mungkin menunaikan hak pandangan perpisahan terakhir Sayyidah Zainab sa pada abangnya?
Bagaimana mungkin menunaikan hak kedua tangan Hazrat Abbas yang terkulai untuk Mawlanya? Bagaimana mungkin menunaikan hak setiap tusukan tombak, tikaman pedang, dan hantaman belati pada tubuh Sayyidus Syuhada?
Bagaimana mungkin menunaikan hak setiap langkah kaki para tawanan di Karbala?
Ya Allah...bekal apa lagi yang kumiliki? Sekiranya seumur hidupku kuhabiskan berjalan kaki berziarah ke pusara mereka, takkan pernah sanggup aku untuk menunaikan haknya.
Lalu dengan apa lagi? Dengan apa lagi kubawa wajahku di hadapan Baginda, bila kelak Sang Teladan Kekasih hati menuntut tanya dan jawabku.
Aku tidak punya apa-apa Mawla. Inilah orang miskinmu, pemintamu, pengemismu di hadapanmu.
Yang kuharapkan perkenanmu. Yang kuharapkan maaf dan kerelaanmu. Mohon kiranya tidak kauperlakukan kami dengan perilaku kami. Perlakukan kami dengan teladanmu.
Itu saja harapku. Sejumput sinar untuk menemani hari-hari panjang menjemput saat pengadilanku. Saat aku tak bisa lagi berkata-kata. Saat yang bersaksi hanya tetesan air mata.
Hanya tetesan air mata. Itu yang kubawa, wahai Mawla. Hanya tetesan air mata.
Catatan ketiga Arbain Walk 2017
@miftahrakhmat