Allahumma shalli 'ala Muhammadin wa Aali Muhammad
Apa yang bisa kutuliskan tentang sesosok manusia bernama ibu? Semua tentangnya telah dituliskan. Simak rangkaian puisi indah. Dengarkan lantunan melodi merdu. Semua tentang ibu.
Maka Ibu, kutuliskan bagimu untaian kata, bukan tentang engkau. Tidak, kau telah diwakili jutaan suara. Izinkan aku berbicara tentang aku, tentang diriku dan kekuranganku memenuhi hakmu.
Akulah anakmu yang durhaka, yang membalas setiap kasihmu hanya dengan mencium telapak tanganmu. Tapi tahukah kau, Ibu, kuhirup aroma tanganmu dalam…dalam ke sanubariku. Bagai aliran listrik yang memenuhi rongga jiwa dan menggerakkan seluruh tubuhku. Setiap kali kumenciummu, tangisku terbentuk di ujung mata. Sayang, tak kutumpahkan untukmu. Aku tak ingin kau berduka. Kau begitu cepat membacaku, begitu pandai menilaiku. Mengetahuiku bagai telapak tanganmu. Mungkin karena sering kubenamkan wajahku di tempat itu. Darimu kubelajar ketulusan, tapi aku berhasil menyembunyikan diriku. Aku berhasil mengenakan topeng penutup mataku. Itu yang kuperoleh dari dunia di sekitarku. Aku bukan lagi aku yang dulu, yang menumpahkan segala rindu, yang menuangkan semua kata…kehidupan telah memisahkan sejatiku darimu.
Aku tahu kau merinduku. Aku tahu kau menanti cerita dariku. Tapi aku bukan lagi aku yang dulu. Aku tak mau membebanimu. Sudah, sudah cukup kau kurepotkan. Kaulah yang menjaga setiap urusanku saat kumengejar mimpiku. Padahal kenyataan adalah bersamamu. Kau yang menunggu setiap kali kumencari anganku, padahal harap itu ada di sampingmu. Aku kejar dunia, padahal surga terbentang di setiap langkahmu. Akulah si bodoh itu, si lemah itu, si tertipu itu.
Ah, andai…andai dapat kuulang waktu. Akan kutempuh jalan itu. Ingin kupijat kaki lelahmu, tapi kau berkata, ''Terima kasih, sudah cukup Nak…'' Tidak, Ibu. Tidak akan pernah cukup. Ingin kubelai lembut kepala itu, tapi kau akan berkata, ''Aku sudah tak sakit kepala lagi.'' Ibu, akulah yang lelah itu. Akulah yang pusing dan kebingungan itu. Memijat dan membelaimu adalah penawar bagi luka batinku.
Pernah satu saat, kuantarkan seorang sahabat. Ia berziarah ke pusara ibunya. Ia tekan tanah yang gembur itu lembut, air matanya mengalir deras. Berulangkali ia benamkan kepalanya. Pada tangisnya terbentang seluruh dirinya. Luruh semua bentengnya. Engkau punya kekuatan itu, Ibu…bahkan saat mengenang di dalam sukma.
Aku tidak tahu dengan apa kurangkai kata. Ratusan pujangga sepanjang masa telah mewakiliku. Aku hanya ingin kau tahu. Kedewasaanku telah memisahkanku darimu. Urusanku hanya menjauhkan aku darimu. Mungkin telah kujelajahi setengah semesta, hanya untuk kembali kepadamu. Buang semua topeng itu Ibu, aku masihlah aku yang dulu yang akan merindu setiap tatapmu.
Bagaimana mungkin aku dapat mengetahui kadarmu Ibu, sedang Sang Mahapencipta menyebutmu tiga kali. Dalam kitab suci engkaulah wasiatNya untukku. ''Dan Kami wasiatkan manusia untuk berbuat baik pada kedua orangtuanya…dan Kami wasiatkan manusia…dan Kami wasiatkan manusia…'' Tahukah engkau Ibu, siapa yang datang setelah wasiat itu? Engkau, Ibu. Bahkan hingga usia kami empatpuluh tahunan, wasiat Sang Mahakasih menekankan betapa kebaikan senantiasa harus kami lakukan kepadamu, untukmu dan karenamu. Sehingga kami dahulukan ridhamu daripada keinginanku. Kami utamakan kebahagiaanmu di atas kebahagiaanku.
Aku takkan pernah dapat mempertanggungjawabkan wasiat itu. Karena itulah, aku bergantung padamu Ibu. Pada setiap sentuhan keberkahan dari tangan lembutmu. Izinkan aku menyandingkanmu dalam setiap doaku dengan seorang putri terbaik yang kutahu. Izinkan aku mengantarkan amalku, untuknya dan untukmu. Bila kelak aku dipisahkan darimu, karena ungkap syukurku takkan pernah sebanding dengan kasihmu, aku titipkan engkau pada seorang insan mulia. Perempuan pemurah yang sama sepertimu. Yang mendahulukan kasih ibu dari suami dan anak-anaknya sendiri. Aku titipkan engkau pada seorang manusia, teladan seluruh wanita. Ia seorang istri yang sangat berbakti. Seorang ibu nan teramat berbudi tinggi, dan seorang anak yang tak henti mengabdi. Kehormatan tiga hal itu hanya miliknya seorang. Tak ada siapa pun selainnya. Aku titipkan engkau kepadanya.
Kau tahu Ibu, hanya itu kini harapanku. Setiap kali ada amalku, aku antarkan ia untuknya dan untukmu. Berharap sepenuh alam semesta ini, ia akan menyambutmu, memelukmu, mendekapmu, dan membawamu ke istana surgawi para ibu. Di hadapannya aku akan bersaksi: engkaulah ibu pengasih, hatimu lembut dan jiwamu bersih. Tatapmu menenangkan. Katamu menenteramkan. Kau tak pernah lelah berkhidmat kepadaku. Kau tak pernah henti mengalirkan seluruh kebaikan untukku. Di hadapannya aku akan bersaksi: tak ada sedikitpun kekuranganmu, tak ada secuil pun salahmu. Tak pernah kau menyakitiku. Tak ada satu saat pun kau tak membahagiakanku.
Karena Ibu, aku tahu kau akan bersamanya…teladan kekasih hati itu. Aku bahagia, sangat bahagia menyerahkan seluruh kesaksian itu di hadapannya. Cukup bagiku kebahagiaan, menghadirkan kau kepadanya.
Sedangkan aku, masih harus berkutat dengan noda dan nistaku, dengan kekuranganku memenuhi hakmu. Bagaimana mungkin aku akan bersanding dengannya, sedang baktiku kepadamu tak ada setitik debu pun di samudra sahara kebaikan itu. Bagaimana aku akan sampai ke istananya, sedang ia adalah putri teramat berkhidmat pada ayahnya. Anak-anak yang berbakti akan digabungkan bersamanya. Begitu indahnya ia berkhidmat, sang ayah menggelarinya "ibu untuk ayahnya". Ialah sang ummu abiha.
Aku tidak akan sampai ke sana Ibu. Aku bahkan tidak akan melihat kilau istana itu. Tinggal kasihmu yang kuharapkan. Kausampaikan namaku di hadapannya. Meski aku anak yang durhaka, mohonkan padanya untuk menyebut namaku walau sekali saja.
Kelak, ibunda…tak tahu nanti aku berakhir di mana. Bila datang saat itu, aku bahagia kau bersamanya. Aku bahagia kausebut namaku di hadapannya.
Aku akan selalu merindumu. Menanti saat gugurnya seluruh tirai diri ini. Izinkan aku satu saat, mencium telapak tanganmu, tersungkur di haribaanmu…dan di ujung sana, sang Ibu terbaik, sang anak teramat berbakti itu…sang Ummu Abiha, tersenyum melihat kita...
Aduhai, alangkah indahnya saat itu.
Selamat berulangtahun Ibuku, maafkan aku tak menyeka airmatamu. Ampuni aku, bila aku penyebab tangismu itu.
Wilujeng milangkala Mamah, mugia sehat salawasna, dina kasehatan, kabagjaan, kataatan. Mugi Gusti salawasna nangtayungan.
Dan selamat hari ibu untuk setiap perempuan dan Ibu. Untuk istriku, kakakku, adikku, ibu mertuaku, nenek, uwak, dan bibiku, juga saudara sepupu…dan setiap wanita itu. Semoga Perempuan terbaik itu, senantiasa memandang setiap kasihmu.
Semoga satu saat, kita semua sampai ke istana itu. Rabbighfir warham wa takarram wa tajaawaz 'an maa ta'lam fainnaka ta'lamu maa laa na'lam, innaka anta al-a'azzu al-akram. Rabbighfirlii wa liwalidayya wa liman dakhala baitiya mu'minan wa lil mu'miniina wal mu'minaat. Rabbighfir lanaa yawma yaquumul hisaab.
(Miftah F. Rakhmat, untuk milad Ibunda dan Hari Ibu 2014. Bagi mereka al-Fatihah dan shalawat kita)
@miftahrakhmat