Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
“I wanna change Bi,” ujar anakku Ali pagi ini. Bangun pagi tadi, rutinitas paginya berbeda. Kami menyebutnya “ritual pagi”. Ia bangun lebih awal, minta dibuatkan kopi (mungkin itu yang ia maksud ‘berubah’), bersih-bersih dan membereskan peralatannya...lalu, katanya… “One thing left…” Satu lagi. Apa itu? Ia berwudhu dan shalat Subuh. Alhamdulillah.
Lalu kami melepasnya pergi. Seperti biasa, ia melambaikan tangan hingga pertigaan. Berangkatlah sekolah Nak, doa ayah dan ibumu senantiasa menyertai.
***
Mengelola sekolah, sesekali saya bertemu dengan para orangtua. Orang-orang luar biasa yang memberikan segalanya bagi anak-anak mereka. Berikut ‘rekap’ permasalahan yang sering kami bincangkan. Murid-murid SD seputar potensi, minat, dan bakat. Murid-murid SMP seputar perubahan interaksi dengan orangtua, dan murid-murid SMA mulai dari permasalahan remaja hingga diskursus filosofis dan masa depan.
Saya bersyukur kepada Allah Ta’ala diperkenankan untuk menikmatinya. Saya banyak belajar dari mereka. Alih-alih mereka berkonsultasi, saya yang justru menyerap ilmu dari mereka. Saya temukan keinginan orangtua dan anak yang berbeda arah, meski satu tujuan. Saya melihat cara-cara mengungkapkan cinta kasih dalam bentuk yang berbeda. Pernah orangtua anak SD datang kepada saya. Ia meminta agar anaknya diberi motivasi untuk lanjut di SMP favorit yang diinginkan orangtuanya. Anaknya memilih sekolah lain, yang lebih dekat dengan rumah. Dan--ini sebenarnya faktor utama--karena ada lapang bola di dekat sekolah itu. Di depan saya, Ibunya bercerita anaknya ingin jadi pemain bola. Ia bisa sebutkan nama-nama pemain yang berhasil. Ketika ibunya bertanya, main bola mungkin sepuluh hingga belasan tahun, lalu setelah itu kamu mau jadi apa? Ia menjawab cepat: pelatih bola! Dan ia sebutkan sederet nama pelatih bola yang sukses.
Ibunya berpaling pada saya, berharap saya akan membantunya. Saya tersenyum, saya bilang: saya setuju dengan putra Ibu. Saya mendukungnya. “Lho, Pak Miftah ini bagaimana?” kata Ibunya sambil tertawa. Ia berharap saya bisa membantunya menggoyahkan niatnya dan memilih sekolah favorit itu. Saya malah mendukungnya lanjut dengan hobinya. Ia pun memilih sekolah dekat lapangan bola itu. And, to my surprise…ia lulus dengan predikat nilai ujian tertinggi di sekolahnya. Hobinya bermain bola ternyata tak menghalanginya untuk berprestasi.
Kita hanya harus lebih lama bersabar. Dan itu barang mahal yang kini langka ditemui. Ibarat bongkah emas, ia perlu dibersihkan dan diproses. Rumah membersihkan, Sekolah memproses dan memoles anak-anak itu. Lalu, ada waktu menunggu…dan saat matang itu tiba, syukur kita pada Tuhan tak terhingga. Semua akan indah pada waktunya, demikian orangtua yang lain berujar pada saya. Ia bersama suaminya datang berbincang setelah anaknya lama tak hadir di sekolah. Bagaimana caranya menumbuhkan motivasi, bagaimana caranya agar anak bisa mandiri, bagaimana caranya meminta mereka tanpa suara harus berubah tinggi…? Dan sederet pertanyaan lainnya. Saya, hingga kini pun tak tahu bagaimana menjawabnya. Yang saya tahu, anak-anak itu dihadirkan Tuhan bagi kita pasti dengan tujuan. Bagi kita dan bagi mereka. Bagi kita: agar kita jadi pribadi yang lebih baik, lebih kuat, lebih tabah dan sabar. Dan bagi mereka: agar mereka memberi warna pada dunia dengan keistimewaan mereka, dengan sentuhan khas Tuhan dalam setiap jiwa mereka. SMP kami beberapa waktu yang lalu menghadirkan ahli menelusuri bakat melalui sidik jari. Berusaha memahami kepribadian khas setiap anak dan potensi yang mereka miliki.
Ya, kehadiran mereka adalah karunia. Dan setiap karunia bertujuan menjadikan kita lebih baik dan mulia. Seorang anak bermain di pekarangan rumput yang rapi. Kata orangtua yang satu, “Awas, rumputnya nanti rusak.” Yang lain menjawabnya, “Kita tidak sedang menumbuhkan rumput, kita sedang menumbuhkan anak-anak.” Seorang sahabat saya memasang papan triplek di setengah rumahnya, agar anak-anaknya bebas mencoret-coretnya. Rumah saya tidak demikian. Saya bawa saja anak saya ke rumah teman itu agar ia bisa ikut mencorat-coret di dindingnya.
Lalu, kehadiran mereka, anak-anak itu. Pasti dengan satu tujuan pula. Di SD, kami mencoba mendata perubahan potensi mereka. Kami berusaha membuka berbagai kegiatan kelas minat dan ekstrakurikuler untuk menyalurkan bakat mereka. Beragam acara digelar hingga Training Center untuk tingkat Kecamatan. Ada pula Sekolah khusus Komputer untuk mereka. Kami membuka dan membuka. Membiarkan mereka mencoba dan mencoba. Hingga satu saat, tampak sentuhan khas Tuhan itu. Pada apa yang mereka curahkan perhatian mereka, pada apa yang membuat mereka sangat bahagia. Hingga datang waktu berbuah itu. Dan menunggu panen raya dari Sang Pemetik Agung untuk itu.
Tadi malam, ayah saya berkisah tentang tujuan, setelah ia mendapat pesan dan salam dari seorang kawan yang baru pulang berziarah. Ayah saya berkisah tentang Nick Vujific, tentang Progeria Jim...silakan google nama-nama itu dan kisahnya. Saya ceritakan tentang mereka di kelas Life Skill SMP kami. Menginspirasi. Hidup dengan tujuan memang menjadikannya berarti. Seorang ayah mundur dari pekerjaannya. Katanya, saya tidak ingin kehilangan momen lagi bersama anak-anak. Ia jadikan tujuan sisa hidupnya untuk hadir bersama anak-anaknya.
Dan saya teringat seorang guru saya. Ia sebetulnya tidak terlalu mengenal saya. Wajar, karena ada ratusan santri setiap tahunnya. Malam lalu, kawan saya yang pulang ziarah itu sowan ke madrasah. Dan ia bertemu guru kami. Lalu guru saya menyebut nama ayah saya dan saya. Saya terharu. Ia masih ingat saya. Setahun sebelumnya, saya diundang Kampus untuk memberikan materi dalam sebuah focus group discussion tentang Indonesia. Saya merasa bangga. Seorang alumni hadir sebagai tamu pembicara. Ampuni Ya Allah, masih ada keakuan itu. Dan setelah shalat jamaah, saya bertemu guru saya itu. Saya cium tangannya. Ia masih seperti dulu. Ia membawa fotokopian hadis-hadis singkat dari para teladan suci lalu menempelkannya di dinding-dinding madrasah. Ia lakukan itu puluhan tahun lamanya! Ia sebarkan kalimat-kalimat pembimbing jiwa itu. Saya kira, itu tujuan hidupnya. Ketika melihat saya, ia berikan kertas-kertas itu, meminta saya untuk membantu menempelkannya. Ya Allah…mungkin bagi orang itu amalan sederhana. Tapi saya melihat sebuah tujuan dan keistiqamahan dalam menjalankannya.
Kisah yang lain, tentang seorang penjaga madrasah di Jombang. Ia pensiunan militer. Ia membaktikan sisa hidupnya di madrasah. Ustadz Muhammad Tamim, guru tahfidz di sekolah-sekolah kami yang mengisahkannya. Katakanlah, ia pensiun dari militer itu pada usia 56 tahun. Yang menakjubkan, karena ia berkhidmat di Madrasah Al-Qur’an, maka ia pun mulai menghafalkan Al-Qur’an…di usia 56 tahun itu! Dua minggu yang lalu, Ustadz Tamim mengabarkan pada saya, setelah hampir 11 tahun ia menghafal Al-Qur’an, kemarin ia diwisuda! Ya Allah, saya ingin menangis mendengarnya. Ia kini menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Ia tak ingin kembali pada Tuhan, tanpa hafalan Al-Qur’an di jiwanya. Tujuan itu telah mengubah dirinya, menggerakkan tulang belulangnya, memperkuat urat dan syarafnya. Ia menjadi manusia yang berbeda. Sebuah tujuan mengubah segalanya.
Bahaya memang hidup tanpa tujuan. Dan menderita memang, orang yang belum dapat menentukan tujuan. Ada yang hidup ingin jadi orang besar, ingin jadi orang hebat. Ada yang hidup ingin membantu orang jadi orang besar, membantu orang jadi orang hebat. Ada yang hidup ingin jadi pahlawan. Ada yang hidup ingin jadi mereka yang bertepuk tangan di pinggir jalan untuk para pahlawan itu. Ada yang hidup ingin jadi tuan, jadi majikan, bahagia bila dimuliakan. Dan ada yang hidup ingin dipenuhi dengan perkhidmatan, dengan memberikan penghormatan. Manakah yang lebih utama dari keduanya?
Bila setiap kehadiran ada tujuan, marilah bercermin dari tujuan diciptakannya seluruh alam. Dari tujuan dihadirkannya Baginda Nabi Saw untuk semesta. Rahmat tak terbatas dari wajah kasih Tuhan yang teramat luas. Tanpa kehadiran Baginda Saw, takkan diciptakan segala. Takkan ada dunia. Takkan ada semesta. Takkan pernah ada aku dan kau. Takkan pernah ada kita.
Dan Baginda Nabi Saw beroleh karunia teramat besarnya. Kehadiran seorang putri dari seluruh pernikahannya. Penyambung silsilah sejak manusia pertama hingga keturunan akhir zamannya. Tanpa dia, takkan ada para pembimbing jalan utama itu. Tanpa dia, takkan ada para penerang jalan keabadian itu. Sepertinya, itulah tujuan dihadirkannya bagi manusia. Bukan hanya membahagiakan Sang Nabi Saw, tetapi membahagiakan seluruh umat manusia. Karena sang Nabi teramat mencintai semuanya. Siapakah dia? Dialah Siti Fatimah Azzahra salaamullah ‘alaiha. Putri terkasih Baginda Nabi Saw. Dalam sebagian riwayat, bahkan putri semata wayangnya.
Lalu, apakah kini tujuan hidup kita? Adakah membahagiakan Baginda Nabi Muhammad Saw jadi prioritas utamanya? Bagaimanakah caranya?
@miftahrakhmat