Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Di perbatasan Yordania menuju Saudi, bus yang saya tumpangi berhenti. Bersama kawan-kawan mahasiswa, kami berangkat umrah ke tanah suci. Rupanya, di dalam bus, ada sepasang suami istri. Mereka membawa seorang bayi, masih merah dibalut kain putih yang bersih. Belakangan kami ketahui, mereka imigran Libanon yang tinggal di Perancis. Awalnya, ibu jabang bayi ingin tawaf ketika hamil di Baitullah. Takdir berkata lain. Bayi itu lahir di perjalanan. Karena satu dan lain hal, hanya surat tanda lahir dari rumah sakit yang jadi dokumen perjalanan. Bayi itu belum disertakan di dalam paspor.
Saat menunggu itu, sekelompok pemuda turun dari bus yang berbeda. Wajah mereka ceria. Sumringah, terlihat sangat berbahagia. Melihat saya, mereka mendekat. “Dari Indonesia?” Tanya mereka setelah salam. Saya mengiyakan. Wajah melayu mudah diterka. Apa lagi bila kita kenakan kopiah atau peci nusantara.
Anak-anak muda itu bergantian memeluk saya, mengucapkan kebahagiaan mereka berjumpa dengan orang dari Indonesia. “Antum min weyn?” Tanya saya dalam Bahasa Arab pasar. “Palestina” kata mereka seketika. Senyum saya melebar. Senang dapat berjumpa dengan orang-orang yang berjuang di jalan Tuhan.
“Tahukah kau,” kata seorang dari mereka kepadaku, “kami bahagia bertemu denganmu karena guru-guru kami selalu mengingatkan kami tentang negerimu. Mereka selalu berkata: belajarlah dari orang Indonesia. Belajarlah dari mereka.”
Saya penasaran. Apa yang mereka pelajari dari kita? Mereka menjelaskan, “Bangsa kami kini terjajah. Tapi kami yakin pasti akan merdeka. Kami baru puluhan tahun dijajah. Kalian merdeka setelah 350 tahun berjuang. Kami baru seperlima pengalaman kalian dulu.” Mereka menyampaikannya dengan raut penuh optimisme, “Kami pasti merdeka. Kalau tidak generasi kami, generasi anak kami. Kalau tidak generasi mereka, kelak cucu dari mereka. Kami pasti merdeka!”
…
Pengalaman berjumpa dengan kawan Palestina itu berkesan bagiku. Singkat, tapi senantiasa teringat. Pertama, mereka datang dari negeri yang menderita, tapi tak sedikit pun tersurat wajah duka. Raut mereka penuh sukacita. Seakan-akan, lahir boleh terkungkung, tapi kekuatan jiwa takkan pernah dapat dibendung. Dan yang kedua, mereka belajar bersabar dari lamanya orang Indonesia beroleh kemerdekaan.
Namun, benarkah kita 350 tahun dijajah Belanda? Sejarahwan Prof. Taufik Abdullah membantahnya. “Bangsa ini terlalu lama larut dalam mitos bahwa Indonesia pernah hidup di bawah kolonialisme Belanda selama 350 tahun. Ini tidak sesuai dengan fakta.” Ujar Prof. Taufik Abdullah dalam sebuah seminar tentang itu.
Ya, waktu 350 tahun dihitung sejak sebuah perusahaan kongsi Belanda VOC mendarat di Banten. Mereka berniat menjalin kerjasama dagang dengan Kerajaan Banten. Mereka bahkan membawa upeti persembahan untuk Sultan Banten. Bagaimana mungkin, begitu menginjakkan kaki dihitung langsung menjajah negeri? Bagaimana dengan perlawanan para raja di nusantara? Bagaimana dengan Aceh dan daerah-daerah lain yang tak pernah dapat benar-benar ditaklukkan?
Tetapi, begitulah cerita. Ia disebarkan untuk mendukung sebuah agenda. 350 tahun bisa menunjukkan sulitnya kita berjuang, atau pada saat yang sama sulitnya penjajah menaklukkan Nusantara. Perbedaan manusia dengan makhluk lainnya adalah bercerita, bukan? Hanya manusia yang bisa bercerita dan menjalani hidup berdasarkan cerita yang ia yakini.
Konon, Belanda berkuasa dengan mengadu domba. Politik memecah belah. Apa semudah itu para raja itu terpengaruh? Ternyata, untuk mengadu domba diperlukan senjata. Dan senjata yang paling ampuh adalah dusta. Berita tak berdasar yang dibuat menyebar begitu rupa. “Kami sudah di sini sejak 350 tehun lalu,” kata Cornelis de Jonge, gubernur jenderal Hindia Belanda sekitar tahun 1930-an. Ia sedang menyusun cerita. Adakah itu sumber kita mengambil angka? Tidakkah ia sedang berdusta? Narasi lainnya yang disusun: konon, negeri-negeri nusantara terbelakang, maka kolonialisme datang untuk membawakan bagi mereka peradaban modern. Konon, kita tinggal di hutan-hutan, tak berpendidikan tak berpengetahuan. Konon, kita ketinggalan zaman. Demikian cerita yang disebarkan. Kita bisa memilih percaya, atau melihat sudut yang lainnya.
Tidakkah kita lihat candi-candi yang megah di tanah air? Bangsa kita telah lama membangunnya. Tahukah kita ada surat menyurat raja-raja nusantara yang ditulis dengan tinta emas. Asli, tinta dari emas. Atau surat-surat yang ditaburkan emas. Surat-surat itu kini disimpan di negeri Inggris dan Belanda. Penggunaan emas itu menunjukkan bukan hanya kekayaan alam yang tersimpan, tetapi juga kemampuan dalam mengolahnya. Google saja “golden letters”, maka kita akan menemukan keterangan tentang itu. Jauh dari bayangan primitif, ternyata bangsa kita sudah maju. Rempah bukan satu-satunya yang mereka kejar. Peradaban dan pengetahuan yang lebih maju yang mereka inginkan. Surat-surat para raja itu menunjukkan kehalusan budi mereka, kesantunan, dan sebuah bahasa politik tingkat tinggi! Naskah-naskah lama Nusantara juga menyimpan khazanah suluk budi pekerti yang tinggi. Luar biasa!
Ada hal lainnya lagi. Konon, Belanda pulalah yang menyebarkan cerita tentang Perang Bubat tak berkesudahan itu. Perang yang memunculkan dikotomi Jawa Sunda. Kisah yang ditulis dalam Pararaton yang kini tersimpan—lagi-lagi—di negeri Belanda. Kisah ini tak ditemukan dalam rujukan sejarah primer lainnya. Atau artefak sejarah yang menguatkannya. Tetapi ia menorehkan luka antara dua suku besar di Indonesia. Tepat sekali, inilah politik adu domba itu. Belakangan, ditengarai juga bahwa pengkhianatan Ken Arok terhadap Tunggul Ametung tidak pernah benar-benar terjadi. Semuanya rekayasa untuk ‘menghilangkan’ perasaan bersalah bila terjadi pengkhianatan. “Memang sudah dari sananya. Dulu saja Ken Arok berkhianat. Kutukan tujuh turunan pengkhianatan akan ditimpakan.”
Walhasil, cerita punya kekuatan yang hebat. Ia bisa mempersatukan, bisa juga menceraiberaikan. Berhati-hatilah terhadap narasi besar yang dimainkan. Terutama, bila ditujukan untuk memecah belah dan mengoyak persatuan. Isu agama akan dimainkan. Isu antarmazhab dikembangkan. Isu antarsuku, golongan, ras dan kepentingan. Berita dusta itu kini kita sebut hoax. Ini dulu senjata ampuh meninabobokan perjuangan anti penjajahan. Belajarlah dari sejarah panjang itu. Belajarlah dari Amir Hamzah. Pahlawan nasional yang dieksekusi kawan. Korban revolusi yang memakan anaknya sendiri. Kerusuhan sosial di zamannya menyebarkan cerita tentang keterlibatannya dengan Belanda. Tuduhan pengkhianatan tak terelakkan. Inilah kekuatan cerita.
Bagaimana dengan negeri kita? Narasi apa yang sebaiknya dijalankan bersama? Bersyukurlah. Kepada anak-anak dan murid-murid sekolahku sering kusampaikan. Ini negeri dengan garis pantai terpanjang di dunia. Ini negeri dengan gugusan pulau terbanyak di dunia. Ini negeri zamrud khatulistiwa, dengan lebih 500-an bahasa. Apa nikmat terbesar Tuhan? Persatuan dan persaudaraan di antara kita.
Bila kemudian disebarkan berita dusta, hoax, fitnah dan sederet kabar tak berdasar lainnya, lihat dengan saksama. Akankah ia meruntuhkan bangunan bangsa? Bangunan yang ditegakkan oleh para pendahulu, oleh para pendiri, dengan susah payah, dengan cucuran keringat dan darah. Mereka berhasil mendirikannya karena tak mudah dihasut oleh ‘cerita’ buatan penjajah.
Marilah bersyukur dengan mawas diri. Mari berterima kasih pada para pahlawan negeri, dengan tetap menjaga persatuan, persaudaraan, kerukunan dan kebersamaan. Apa pun yang dapat merobekkan jalinan kebangsaan itu, pada hakikatnya tidak menghargai jasa para pahlawan itu.
Pilihlah cerita yang mengarah pada persatuan. Tahan berita yang berpotensi mengoyak kerukunan. Hentikan dengan jari kita, sekarang ini juga. Mari ubah setiap kisah dengan perspektif yang menggugah.
Indonesia dijajah 350 tahun? Oh, itu bukan karena kami lemah. Justru karena kami kuat. Belanda dan para penjajah itu memerlukan waktu selama itu untuk menaklukkan kami. Dan mereka gagal melakukannya.
Saya kira begitulah saudara-saudaraku dari Palestina memahaminya. Silakan para ahli sejarah, suguhkan kami kisah-kisah penggugah. Paparkan kami romantika masa lalu yang indah.
Dirgahayu negeriku. Doa dan cinta kami untukmu. Merdeka! Jaya tak kenal masa! ***
@miftahrakhmat
rangkuman ceramah syukuran Kemerdekaan ke-72 Negeri tercinta Republik Indonesia, 18-8-2017.