Untuk membuktikan tesis tersebut, kita punya cara yang berbeda dengan kajian Islam gaya barat yang sedang naik daun yang disebut dengan metode revisionis, apalagi metode yang umum dipakai dunia Islam. Itu mah, metode jadul. Ndak up to date. Sori narsis dikit.
Saya jelaskan dulu apa itu metode revisionis secara umum. Metode ini melihat Islam secara keseluruhan secara deskriptif. Pendekatannya melalui narasi budaya (cultural narrative) yang memandang Islam sebagai satu keutuhan sejak zaman Nabi sampai zaman now.
Dalam pandangan Barat, episode Islam yang sekarang adalah lanjutan dari episode di masa nabi sebagai satu kesatuan yang utuh. Sedangkan wajah Islam yang tampak sekarang ini adalah wajah yang dipermak oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan (penguasa kelima Dinasti Umayyah di Damaskus, Suriah, berkuasa tahun 685-705 M). Pandangan ini didasarkan pada ideologi umum umat Islam.
Sedangkan Islam ilmiah, melihatnya secara berbeda. Justru karena Islam yang sekarang ini, menurut madzhab revisionis, diformulasi pada masa abdul Malik bin Marwan, yang menjadikan agama Islam yang sekarang berbeda dan sudah menyimpang jauh dari Islam yang ada dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Tahukah anda siapakah Abdul Malik bin Marwan bin Hakam? Dia, bapak dan keturunannya, adalah orang yang pernah dikutuk oleh Nabi. Khalifah ini datang dari keluarga yang seluruh hidupnya diabadikan untuk memusuhi Nabi. Mungkinkah seorang yang demikian mau melanjutkan misi Nabi?
Sekali lagi, orang waras pasti akan sepakat dengan Islam ilmiah. Mengapa ia dapat berkuasa dan berhasil mewarnai gambar Islam yang sekarang? Kaum revisionis sampai detik ini tidak mampu menemukan jawabannya. Karena itu, kajian Islam gaya barat ini kita kesampingkan. Karena tidak mampu mengungkapkan what really happen di balik semua yang terjadi. Karena itu, kajian kita bisa juga disebut sebagai post-revisionis.
Dalam satu lain hal kita memakai teori ilmu sosial yang lazim dipakai oleh madzhab revisionis. Tapi berbeda dengan mereka yang hanya bersikap deskriptif. Di sini kita akan mengaitkannya dengan realitas keislaman yang berbasis pada konflik internasional di dunia politik. Bahwa konflik yang terjadi di antara umat Islam pasca nabi bukan hanya konflik yang terjadi antar kabilah/klan arab saja. Ada invisble hand yang sengaja membuat konflik tersebut tidak akan pernah reda hingga jaman now, kecuali umat Islam ikut petunjuk yang benar dari nabi.
Sesuai teori analogi kita terdahulu, lihatlah apa yang menimpa umat Islam jaman now. Cara memperbaikinya dengan melihat, mendiagnosa apa yang terjadi pada umat Islam jaman old. Dan kemudian baru mengobatinya.
Sebagai pengantar NGAIIL lebih baik kalau Anda baca dulu buku Kontroversi Islam Awal antara madzhab tradisionalis dan revisionis karangan Mun'im Sirry. Almuawiyat adalah jawaban yang tidak ditemukan oleh para pengkaji Islam madzhab revisionis. Dan karena itu, untuk gaya-gayaan aja sih NGAIIL bisa disebut sebagai kajian Islam post-revisionis. Keren, kan.
Why Post-Revisionis?
Akan saya jelaskan mengapa saya sebut post-revisionis. Sebelum itu simak dulu apa yang dimaksud dengan madzhab Islam revisionis. Pada awal abad 19an muncul kecenderungan baru dalam ranah studi Islam yang marak di barat; Amerika dan Eropa.
Sebuah gaya baru yang mempertanyakan sumber sumber tradisional yang dipakai oleh mayoritas sarjana Islam. Yang dimaksud di sini adalah kitab-kitab hadis seperti sahih Bukhari muslim dll dan tarikh seperti Sirah Ibnu Hisyam, Tarikh Thabari dll, yang umumnya diandalkan umat Islam dalam menafsir kitab suci.
Menurut mereka bahwa sumber-sumber tersebut, selain bermasalah juga kontradiktif antara satu dengan yang lainnya dalam melaporkan satu peristiwa. Apa saja contoh dari hadis-hadis yang bermasalah itu, silahkan rujuk ke buku Almuawiyat. Laporan-laporan tersebut yang kemudian hari disebut dengan hadis, tidak lebih dari imajinasi para pembuatnya yang dibuat belakangan. Tepatnya satu abad setelah peristiwa yang direkamnya dan tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.
So, sumber-sumber tersebut tidak memenuhi syarat kritik-historis, karena salah satu undang-undang dasar yang harus dipatuhi oleh sejarawan adalah menggunakan sumber yang sejaman dengan kejadian. Dan sumber tradisional Islam yang saya sebut di atas tdak lolos dari kaidah dasar ini. Maka argumentasi tesis yang dibangun dari sumber yang bermasalah menghasilkan pandangan/argumentasi yang juga bermasalah. Di mana letak masalahnya? Silahkan baca lagi Almuawiyat. Di situ banyak contoh kasusnya.
Berangkat dari logika dasar yang sepert itu mereka mencoba merevisi pandangan tradisional umat Islam yang didasarkan pada sumber-sumber yang bermasalah tadi. Dan oleh karena itu, mereka disebut sebagai sarjana/madzhab revisionis.
Kalau sumber tradisional Islam bermasalah; adakah sumber lain? Mereka menjawab; tidak ada. Oleh karena itu, kemudian mereka merujuk pada sumber di luar Islam. Sumber Kristiani maupun Yahudi. Setelah merujuk kepada tradisi di luar Islam apakah mereka menemukan apa yang mereka cari; the real history dan bukan salvation history? Inilah problem madzhab revisionis.
Alih-alih menemukan what really happened, mereka (khususnya yang Ekstrim) karena madzhab ini tidak tunggal, malah bermain akrobat pemikiran dengan mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya tidak bermasalah. Seperti meragukan sosok Muhammad yang disebutnya sebagai tokoh fiktif. Dan bahwa Islam lahir bukan di Hijaz, tapi di Arab Utara (Iraq, suriah) argumen yang didasarkan pada iklim polemis yang ditunjukkan oleh Alquran. Apa maksudnya? Nanti pada waktunya akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan iklim polemis. Mereka mempermasalahkan sesuatu yang sudah taken for granted.
Itulah salah satu problem mendasar Islam revisionis. Mereka tidak menemukan sumber tradisional yang ditulis sezaman dengan peristiwa yang dilaporkan. Dan Islam Ilmiah mampu menemukan sumber yang tidak ditemukan oleh Islam revisionis. Hal ini berarti kajian Islam ilmiah selangkah lebih maju dari para sarjana revisionis barat. Jika madzhab revisionis hadir merevisi pandangan sarjana Islam tradisional. Islam ilmiah hadir merevisi keduanya; tradisional plus revisionis. Islam ilmiah adalah revisi terhada revisi Islam revisionis. Dan oleh karena itu bisa juga disebut sebagai post-revisionis. Keren, kan.***
Muhammad Babul Ulum adalah Doktor bidang Hadis lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta