“Memang ceramah Kang Jalal selalu meresahkan. Boleh jadi itu adalah strategi dakhwahnya, dan tidak berubah hingga hari ini,” ujar Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung, Dedy Djamaluddin Malik, saat berbicara pada “Kajian Kang Jalal” edisi perdana di Aula SMU Muthahhari Jln. Kampus Kiaracondong Bandung, Minggu (30/8/2015). Acara yang mengupas pemikiran cendekiawan Islam itu diluncurkan bertepatan dengan milad ke-67 cendekiawan tersebut.
Dalam catatan Dedy, sepulang dari Iowa University Amerika Seri¬kat pada pertengahan 1980-an, selain menjadi ilmuwan komunikasi, Kang Jalal juga sering diundang ceramah di Masjid Salman ITB. Kehadirannya di tempat itu berkat dukungan Bang Imad, panggilan akrab Imaduddin Abdurrahim, tokoh intelektula muslim yang juga pernah bersekolah di AS. Penetrasi pemikiran Kang Jalal begitu cepat merembes di berbagai kampus. Lahirlah kelompok Jalal yang bercorak pemikiran ‘Islam alternatif’ di kalangan muda terdidik.
“Pemikiran Kang Jalal keluar dari mainstream yang ada. Seringkali mengejutkan dan di luar dugaan. Orang bisa mengalami syok menden¬garnya. Tetapi guncangan-guncangan itu memang dibutuhkan bagi proses pencarian, terutama bagi kalangan yang berpikir,” ujar Dedy yang sempat menjadi mahasiswa Kang Jalal di Fikom Unpad pada tahun 1977. Dedy pula yang pertama kali menerbitkan buku berisi pemikiran Kang Jalal berjudul “Retorika Modern” pada 1982.
Meskipun Kang Jalal tidak diberi ruang yang memadai bagi dakwah¬nya di Kota Bandung, pengaruhnya tidak surut. Bahkan semakin meroket dan mendapatkan tempat di kancah nasional. Dia tumbuh menjadi penulis opini dan buku yang produktif. Karya-karya tulis nya laris manis di pasaran. Kang Jalal menjadi pembicara sekali¬gus penulis yang memiliki daya tarik luar biasa. Buku-buku bermateri keagamaan jauh lebih banyak ketimbang buku tentang komu¬nikasi yang merupakan disiplin ilmunya.
Dalam medan pemikiran Islam di Indonesia, sosoknya kemudian disejajarkan dengan tiga tokoh lainnya seperti Nurcholis Madjid (Cak Nur), Amien Rais dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketiganya memberi kesempatan pada Kang Jalal untuk mengekspresikan pemikirannya. Keempat tokoh itu memiliki mazhab pemikiran sendiri dan kontroversi sendiri di tengah umat Islam. Tetapi dibanding dengan ketiga tokoh tadi, barangkali Kang Jalal yang dinilai lebih kontroversial.
Keakrabannya dengan literatur para pemikir dari Iran dan mazhab Syi’ah, telah menjadikannya sebagai sasaran tembak empuk bagi pihak-pihak yang tidak sependapat dengannya. Dia dituduh sebagai agen Iran yang akan mensyi’ahkan Indonesia. Padahal, kata Dedy, sesungguhnya yang ingin dibangun Kang Jalal adalah jembatan yang menghubungkan berbagai kelompok dalam tubuh umat Islam lewat sikap saling memahami dan tidak berburuk sangka. Kehadiran Syi’ah (Ahlul Bayt) sebagai mazhab adalah kenyataan sejarah sebagaimana empat mazhab besar lainnya yakni Syafi’I, Hanbali, Maliki dan Hanafi.
Kang Jalal sering menyebut mazhab yang dianut dan sedang dikem¬ bangannya sebagai “mazhab ukhuwah” yang non-sektarian. Konsistensi¬nya ditunjukkan dengan karya tulisnya yang concern pada persoalan membangun saling pengertian antar-golongan umat Islam. Kang Jalal tidak pernah menerbitkan buku yang mengulas masalah fikih prak¬tis. Bahkan ditulisnya sebuah buku berjudul “Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih”.
Paling dicerca
Barangkali tidak ada tokoh Islam di Indonesia hari ini yang paling banyak dicerca melalui di media sosial dan di berbagai forum, selain Kang Jalal. Bahasa dengan derajat paling rendah pun sudah biasa dilekatkan kepadanya. “Kalau saya mah mungkin sudah bunuh diri menghadapi cercaan dan hinaan yang terus menerus seperti ini,” ujar Dedy berseloroh.
Tapi tampaknya Kang Jalal tidak peduli dengan semua itu. Karena dia sadar betul jalan dakwah adalah jalan yang sukar dan terjal. Bukan jalan mulus dan nyaman yang mudah dilalui. Jika tidak memiliki mental baja dan konsisten, seseorang yang menempuh jalan tersebut akan berputus asa. Alih-alih menyerah pada serangan-serangan itu, Kang Jalal justru memperkokoh posisinya sebagai tokoh Islam berpengaruh.
Menurut Dedy, pengaruh pemikiran Kang Jalal dalam dataran corak dan elit pemikiran Islam, berada pada corak “jalan tengah” (middle path) di antara “Islam liberal” (Islib) dan “Islam literal” (Islit). Kelompok Islib adalah mereka yang mengenyam pendidikan tinggi ilmu agama secara formal dan mangadaptasikan isu-isu Islam dengan kemoderenan melalui pemanfaatan metodologi ilmu-ilmu sosial Barat.
Sementara kelompok Islit adalah mereka yang tidak memiliki latar belakang dan pendidikan agama keluarga dan menemukan Islam dalam pengajian-pengajian di kampus universitas. Rujukan teologi dan yurisprudensi (fikih) mereka adalah para ulama Timur Tengah seperti Muhammad Abdul Wahab, Hasan Al-Banna, Abdullah bin Baz atau Said Hawwa.
Pemikiran Islam Kang Jalal, kata Dedy, ingin menggabungkan kekurangan Islib dan Islit dengan cara mempertemukan ilmu-ilmu Islam tradisional dengan ilmu-ilmu modern. Kemudian pertemuan kedua tradisi ini disebut “jalan tengah” dan sering dinamakan orang sebagai “Islam alternatif’.
Dr. Jalaluddin Rakhmat yang hadir pada acara itu mengamini pernyataan Dedy. Dia tidak lagi acuh pada persoalan-persoalan ecek-ecek berupa penghinaan dan fitnah yang terus menerus. Dia menga¬ku lebih menaruh perhatian pada masalah-masalah yang lebih besar. Antara lain mengembangkan pemahaman keagamaan yang lebih terbuka. Kini, kata Kang Jalal, harus dikembangkan pemahaman keagamaan dalam tingkatan “Islam madani”, yakni Islam yang menghakimi setiap keyakinan dengan ukuran masing-masing. Tidak terjadi monopoli untuk mengukur kadar seseorang lewat kacamata sendiri. “Misalnya, kita ukur nilai seseorang itu dari amal salehnya, bukan dari mazhabnya. Ada nilai universal di dalamanya,” kata anggota Fraksi PDIP DPR RI ini. (Enton Supriyatna Sind/Harian Umum Galamedia, 31 Agustus 2015)