Kalimat di atas berarti “Bagaimana kesabaranmu?”, atau “Apakah kamu sanggup bersabar?”, atau “Mampukah kamu menanggungnya?” atau “Bersediakah kamu bertahan menghadapinya?”.
Pertama kali, pertanyaan itu ditanyakan kepada Nabi saw ketika Mi’raj, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan tiga hal untuk melihat kayfa shabruk?
Nabi yang mulia menjawabnya: Aku pasrahkan sepenuhnya kepada-Mu, duhai Tuhanku. Aku tidak mampu bersabar kecuali dengan bantuan-Mu. Apa saja yang tiga hal itu?”
“Pertama: kelaparan sambil engkau dahulukan orang-orang yang memerlukan di atas dirimu dan keluargamu.”
“Aku terima, ya Rabb. Aku rido dan aku pasrah. Bukankah dari-Mu juga keberhasilan dan kesabaranku.”
“Kedua: Engkau akan menghadapi pembohongan dan ancaman yang sangat berat. Oleh karena itu maka engkau akan mencurahkan drahmu bagi-Ku, dan engkau akan memerangi orang-orang kafir dengan harta dan dirimu. Engkau bersabar atas apa yang menimpamu dari mereka berupa kecaman dari orang-orang munafik, dan kepedihan dalam peperangan dan luka-luka.”
“Aku terima, ya Rabb. Aku rido dan aku pasrah. Bukankah dari-Mu juga keberhasilan dan kesabaranku.”
“Ketiga: Pembunuhan demi pembunuhan yang akan terjadi pada ahli baitmu. Saudaramu sendiri (Ali bin Abi Thalib) akan menerima dari umat Islam caci-maki, tindakan kekerasan, kecaman, pemboikotan (al-tahriim), kekejian, dan kezaliman, sampai akhirnya terbunuh.”
“Aku terima, ya Rabb. Aku rido dan aku pasrah. Bukankah dari-Mu juga keberhasilan dan kesabaranku.” (Kitab Kaamil al-Ziyaaraat, h.332)
Allah swt bertanya kepada Rasulullah saw apakah Nabi saw sanggup memikul semua bala dan ujian yang akan mengancam missinya, ketika hidupnya dan setelah kematiannya. Ia berkata: Aku terima, ya Rabb. Siap, ya Rabb! Dan kembalilah ia ke bumi untuk menjalani kehidupan dengan membawa pesan Rabbul ‘Alamin.
Semua yang dijanjikan Tuhan itu terjadi. Ia pernah kelaparan dan membagikan makanan kepada orang-orang yang memerlukannya. Ia difitnah, dibohongkan, dikecam, dicaci-maki. Ia disebut pembohong, tukang sihir, bahkan orang gila. Ia memikulnya dengan tegar dan sabar. Ia dilempari dengan batu di Thaif, segera setelah ia ditinggalkan oleh Khadijah, istri yang paling dicintainya, dan Abu Thalib, paman yang mengasuh dan mengayominya.
Pertanyaan “kayfa shabruka” telah dijawabnya dengan seluruh jiwa raganya. Pertanyaan yang sama pernah disampaikan Rasulullah saw kepada saudara terkasihnya, pada soul mate-nya, Ali bin Abi Thalib. Ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang apa yang dimaksud fitnah atau ujian seperti yang termaktub dalam Al-Quran: Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan mengucapkan “kami beriman” tetapi mereka tidak difitnah atau diuji? (QS. Al-'Ankabut [29]:2) Ia bersabda: Hai Ali, sesungguhnya umatku akan diuji sepeninggalku. Ali bertanya: Ya Rasulullah, bukankah engkau sudah berkata pada perang Uhud ketika banyak yang syahid di kalangan umat Islam, tetapi aku tidak diberikan peluang untuk syahid. Rasanya sesak dadaku. Lalu engkau berkata: Berbahjagalah karena syahid berada di masa depanmu. Lalu engkau berkata kepadaku: Kayfa shabruka idzan! (Pada waktu itu bagaimana kesabaranmu?). Aku berkata: Ya Rasul Allah, bukanlah itu tempat bersabar. Itu adalah tempat bergembira dan bersyukur! (Nahj al-Balaghah, khutbah 156)
Allah bertanya kepada Nabi saw apakah ia siap bersabar menerima cobaan karena misi kenabiannya. Nabi saw bertanya kepada Ali apakah ia sanggup bersabar melanjutkan misi pelanjut Rasul Allah saw. Sekarang dengarkan apa kata Ali kepada salah seorang pengikutnya yang setia, Rusyaid al-Hajari.
Rusyaid adalah di antara sahabat imam Ali yang paling setia. Ia pernah menerima senyuman sang Nabi saw ketika dalam perang Uhud ia menyerahkan pampasan perangnya kepada temannya. Nabi saw menggelarinya Abu Abdillah. Sepeninggal Nabi saw, ia tidak pernah meninggalkan Ali, kekasihnya. Karena kesetiannya kepada keluarga Nabi saw, ia dianugrahai “ilmu ghaib”, kapan seseorang kan menemui ajalnya dan dalam cara seperti apa. Imam Ali mengelarinya Rusyaid al-Balaayaa, dia yang menunjuki cobaan.
Pada suatu hari, bersama sahabatnya, Ali bin Abi Thalib as masuk kebun kurma dan beristirahat di bawahnya. Ia memerintahkan para sahabatnya untuk mengambil kurma yang masih muda, ruthab. Mereka bersama-sama makan kurma. Ketika itu, Rusyaid berkata: Betapa lezatnya ruthab ini, ya Amiral Mukminin! Imam Ali memberikan komentar pada Rusyaid dengan komentar yang mengejutkannya: Ya Rusyaid, kamu bakal disalibkan pada cabang kurma ini.
Kata Rusyaid: Setelah itu aku rajin mengunjungi pohon kurma itu di penghujung hari. Aku menyiramnya dengan air. Imam Ali berkata kepadaku: Hai Rusyaid, kayfa shabruk, siapkah kamu bersabar jika nanti penguasa Bani Umayyah memerintahkan aparatnya untuk mengambil kamu; kamu dipaksa untuk berlepas diri dariku, lalu penguasa memotong kedua tanganmu, kedua kakimu dan lidahmu. Aku bertanya: Apakah akhirnya aku masuk surge? Imam berkata: Wahai Rusyaid, kamu bersamaku di dunia dan di akhirat.
Apa yang dikabarkan Imam Ali terbukti. Ketika Ubaidullah bin Ziyad berkuasa di Kufah, ia memanggil Rusyaid. Dipaksanya melaknat Imam Ali, ia menolak. Ubaidullah bertanya: Apa cerita tuanmu (Ali) tentang cara kematianmu? Rusyaid berkata: Kamu akan menyuruh aku berlepas diri dari Ali, lalu kamu akan memotong kedua tanganku dan kedua kakiku dan lidahku. Ubaidullah berkata: Aku akan buktikan bahwa tuan kamu bohong. Lalu mereka memotong kedua tangan dan kakinya dan membiarkan lidahnya.
Anak perempuan Rusyaid mengumpulkan potongan–potongan tubuhnya dan bersama teman-temannya membawa tubuh Rusyaid ke rumahnya. Belum sampai ke rumahnya, tetangga-tetangga mengerumuninya. Rusyaid berkata: Sahabat-sahabat, bawa tinta dan kertas, catat apa yang telah diajarkan Imam Ali kepadaku. Dengan tubuh yang telah terpotong-potong dan bergelimang darah, dengan fasih ia sampaikan hadis-hadis Imam Ali sa. Penguasa marah. Aparat dikirim untuk memotong lidahnya juga dan mensalibkannya pada cabang kurma yang pernah didengarnya dari kekasihnya, Ali bin Abi Thalib. Ia sabar dan tegar sampai detik terakhir. Ketika lidahnya digunting dan tubuhnya dipakukan di tiang salib ia berkata: Benarlah apa yang dikatakan Amirul Mukminin.
Kayfa shabruka terus berjalan mencatat berbagai musibah kemanusiaan sepanjang sejarah, mencatat para pahlawan kebenaran yang setia kepada misinya; sampai kepada Angkatan 22. Kalian belajar pada saat fitnah bergejolak. Sekolah kalian dikecam, dicaci maki, disesatkan, dianggap sumber kemaksiatan, dan sejenisnya. Di sekitar kalian, orang mendirikan lembaga hanya untuk menyerang kalian, untuk menyebarkan kebencian kepada kalian, untuk mendiskreditkan kalian.
Kaifa shabruka? Kalian tetap bertahan. Kalian tetap tegar dan bersabar. Kalian masih juga mengemakan gelak ria pada saat menghadapi gelombang yang membahana. Kalian berkata seperti Heinrich Heine: Ich grolle nicht, wenn das Herz auch bricht. Aku tidak akan mengeluh, walaupun hati hancur luluh. Kepada mereka yang mencari penghidupan dengan menyebarkan kebencian, kalian tegakkan kehidupan di atas cinta kasih.
Anak-anakku, khusus untuk kalian, dalam Bahasa Bung Karno “yang ditempa dalam kawah Candradimuka- aku hanya akan berkata: Kayfa shabruka! Teruslah berjalan dengan langkah-langkah yang tegap, tegar, dan gagah. Allah, Rasulullah, para Imam, dan semua penjuang kebenaran sepanjang sejarah bersamamu. Berteriaklah seperti Macbeth dalam karya Shakespeare: Come what come may, time and the hour runs through the roughest day!
وما توفيقي إلا بالله، عليه توكلت وإليه أنيب.
KH.Dr.Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI dan Dewan Pembina Yayasan Muthahhari